kebudayaan betawi – Entong Gendut Mengangkat Keris: Petani Melawan Polisi dan Ketidakadilan. Tidak bisa dipungkiri peran vitalnya petani dalam kehidupan. Dalam gambar paling sederhana saja. Berkat mereka, berbagai makanan dapat disajikan di meja makan. Bagi negara agraris seperti Indonesia, peran petani sangat besar dalam mengiringi perjalanan bangsa. Entong Gendut mengisi masa kemerdekaan. Perjuangannya melawan ketidakadilan menjadi inspirasi yang tercatat dalam sejarah hingga saat ini.
Meski tidak setenar kisah Si Jampang, Si Pitung, atau kisah Murtado, pahlawan Betawi di balik julukan Persija ‘Macan Kemayoran’, Entong Gendut memainkan peran penting. Sejarawan menggambarkannya sebagai salah satu pembela kaum tani yang paling terkenal. Kisah perlawanan petani Condet terhadap penjajah di Batavia pada tahun 1916 menjadi saksinya.
Sartono Kartodirdjo. Sejarawan dan penulis sejarah Indonesia menceritakan peran Entong Gendut dalam berbagai gerakan protes petani di pulau Jawa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dalam buku Protest Movements in Rural Java (1973), Sartono menggambarkan keserakahan para tuan tanah yang saat itu didominasi oleh orang Eropa.
Keserakahan terstruktur. Kompeni, melalui peraturan Gubernur tahun 1912, melegitimasi perilaku sewenang-wenang tuan tanah Eropa terhadap petani. Peraturan tersebut memberikan ruang bagi tuan tanah untuk menindak petani yang lalai membayar pajak melalui pengadilan.
Tak tanggung-tanggung, jumlah gugatan melalui pengadilan pun begitu banyak. Pada tahun 1913 saja pengadilan menangani dua ribu kasus kegagalan petani membayar pajak kepada pemilik tanah. Selanjutnya ada lima ratus kasus pada tahun 1914 dan tiga ratus kasus pada tahun 1915.
Eksekusi pengadilan juga membawa kebencian dari bumiputra. Para petani sering bangkrut oleh eksekusi pengadilan. Selain itu, banyak harta milik petani disita, dijual, atau dibakar oleh pengadilan. Lebih keji lagi, tuan tanah yang hanya memikirkan keuntungan juga memanfaatkan kesempatan untuk menambah pungutan pajak.
Entong Gendut yang terkenal sebagai jagoan Betawi berang. Goenawan Mohamad menceritakan dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Entong Gendut (1979), kemarahan Entong Gendut meledak ketika pengadilan di Meester Cornelis (Jatinegara) ‘memperas’ seorang petani bernama Taba melalui pengadilan.
Taba adalah seorang petani dari Batu Ampar (Condet). Pada tanggal 14 Mei 1914, Taba diperintahkan oleh pengadilan untuk membayar 7,20 gulden, ditambah biaya pengadilan. Pengadilan juga memberikan tenggat waktu hingga 15 Maret 1916 untuk membayar perkara tersebut. Jika Anda tidak mampu membayar, pihak berwenang akan menyita barang-barang Taba dan menjualnya. Situasi kemudian memanas. Warga sekitar dan tetangga Taba pun marah. Mereka bersatu dalam kemarahan dan segera merencanakan untuk melawan.
“Mereka berkumpul di Kebon Jaimin di utara ketika pihak berwenang datang untuk melaksanakan hukuman. Tujuan sidang adalah untuk menghindari nasib buruk yang sudah menimpa kepala Taba. Dan Entong Gendut ada di sana. Namun, orang-orang itu gagal. Padahal kami sudah berteriak, mengutuk dan berdoa,” kata Goenawan Mohamad.
Pertarungan belum berakhir
Entong Gendut Mengangkat Keris; Itu tidak berhenti di situ. Seperti yang ditulis Iim Imanudin dalam majalah Perlawanan PeTani di Tanah Partikel Tanjoeng Oost Batavia pada tahun 1916 (2015), penduduk Batu Ampar mulai bergabung dengan perkumpulan pencak silat. Dengan keahlian bela diri mereka, mereka berniat untuk mencegah pejabat pemerintah mengekspor harta petani dari berbagai keputusan pengadilan negeri.
Laporan yang sampai ke pemerintah menunjukkan bahwa Entong Gendut, Maliki dan Modin dari Batu Ampar menjalankan perkumpulan tersebut. Selanjutnya, wazir dan dua prajurit ditunjuk. Keanggotaan dalam perkumpulan terus bertambah menjadi sekitar 400 anggota. Bahkan rencananya akan merekrut hingga seribu pengikut,” tulis Iim Imanudin.
Banyaknya petani yang tergabung dalam paguyuban membuat Entong Gendut semakin percaya diri untuk mengambil langkah kedua. Pada kampanye lanjutan 5 April 1916, pamor Entong Gendut sebagai pemimpin kaum tani pembela semakin populer. Rumah pedesaan Gedong Villa Nova milik Lady Rollinson Van Der Passe di perkebunan Cililitan menjadi incaran selanjutnya.
Perbuatan yang sudah dilakukan melalui perlawanan fisik, dimulai dengan perusakan kendaraan milik Tuan Tanah Tandjong Oost, DC Ament menghentikan pembuatan topeng di pelataran gedung,” kata GJ Nawi dalam buku Maen Punch: Pencak Silat Khas Betawi (2016).
Pemerintah kolonial Belanda terpaksa turun tangan karena kelompok Entong Gendut dipandang sebagai pengganggu. Setelah itu, Entong Gendut menjadi orang paling dicari di Belanda, hingga Wedana Meester Cornelis juga mengerahkan satuan polisi untuk mengepung rumah Entong Gendut di Batu Ampar.
Entong Gendut pun tampak rela menunggu kedatangan Wedana. Dengan menggenggam keris, Entong Gendut berteriak keras: Aye gedruk tanah maka ini tanah bakal jadi laut!
Segera setelah percakapan, puluhan anggota Entong Gendut bersenjata muncul. Di sanalah dia memproklamirkan dirinya sebagai raja. Mereka juga menyatakan tidak akan tunduk pada siapapun, bahkan hukum kolonial sekalipun.
Wedena Meester Cornelis kembali mengunjungi rumah Entong Gendut. Kali ini, rombongan Entong Gendut berhasil menawan wedana tersebut. Namun, ia harus ditebus dengan tewasnya Entong Gendut oleh peluru pasukan Belanda. Entong Gendut dibunuh pada 10 April 1916.
Bagi orang Belanda, Entong yang gendut adalah pembuat onar. Namun bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Betawi, Entong Gendut adalah pahlawan yang setia dan siap berjuang untuk kaum tani. Sepeninggal Entong Gendut, syair yang dikenang masyarakat Betawi secara turun temurun. Sebuah puisi yang menggambarkan pertarungan Entong Gemuk.
Ular kadut mati di kobak
Burung betet makanin laron
Entong Gendut mati ditembak
Orang Condet pada buron.
Sumber Bacaan : Detha A.T/Y.Mahabarata