kebudayaan betawi – Pesona Ancol sebagai tempat hiburan sudah dimulai sejak lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sebelum penduduk asli menikmati Ancol, itu adalah tempat orang Belanda yang kaya menghabiskan liburan mereka.
Dari segi lokasi, Ancol memang strategis. Selain itu, suasana damai dan banyaknya vila mewah menjadi daya tarik tersendiri bagi Ancol. Secara historis, keberadaan kawasan Ancol dapat dilihat pada naskah kuno Sunda abad ke-15, Carita Parahiyangan.
Pesona Ancol – Naskah tersebut menggambarkan bahwa Ancol sebelumnya disebutkan sebagai lokasi medan perang, di samping Kalapa (Sunda Kalapa), Tanjung, Wahanten (Banten), dan lokasi lainnya pada masa pemerintahan Raja Sunda, Prabu Surawisesa (1521-1535).
Sedangkan untuk nama Ancol, Rachmat Ruchiat menceritakan dalam buku Asal Usul Nama Tempat di Jakarta (2018) bahwa nama Ancol berarti negeri rendah, berperang. Ada alasannya, dulu, saat laut sedang pasang, air payau Sungai Ancol bisa membelok ke daratan dan membanjiri daratan di sekitarnya dan membuatnya terasa asin.
Oleh karena itu, pada masa VOC, Belanda menyebut daerah ini sebagai zoutelande atau tanah asin. Nama benteng tersebut juga diberikan berupa kanal yang dibangun di kawasan Ancol pada tahun 1656.
“Sebelum kanal dibangun untuk menghubungkan kota Batavia, pemerintah VOC membuat kanal Ancol yang masih bisa dilayari dengan perahu. Kemudian dibangun juga jalan yang sejajar dengan kanal. Dianggap strategis dalam pertahanan kota Batavia, di Ancol dibangun jalan dan kanal”, tulis Rachmat Ruchiat.
Pesona Ancol – Setelah Jayakarta dikuasai oleh Kemitraan Dagang Belanda, VOC pada tahun 1619, Jayakarta melahirkan nama Batavia. Di tangan VOC, Ancol menjadi benteng setelah serangan pertama Kerajaan Mataram ke Batavia pada tahun 1628. Detail penyerangan itu sudah kita bahas sebelumnya di artikel “Kisah Serangan Kompeni Mataram dengan Kotoran di Balik Julukan ‘Kota Batavia’ Untuk mencapainya, VOC mulai memperkuat pertahanannya dengan membangun serangkaian benteng.
Karena benteng yang tersisa hanya Kasteel Batavia dan pulau Onrust, maka Belanda mulai mempercepat pembangunan benteng baru. Beberapa di antaranya adalah Benteng Jacatra, Benteng Rijswijk, Benteng Noordwijk, Benteng Vijfhoek, Benteng Angke dan Benteng Antjol. Pembangunan benteng baru menyelamatkan Belanda dari Mataram, menghasilkan kemenangan.
Setelah itu, tanah di sekitar Benteng Antjol dikuasai oleh seorang pejabat VOC, Jeremias van Riemsdijk, sebelum menjadi gubernur jenderal VOC pada tahun 1775. Yeremia membangun rumah liburan berbentuk vila mewah. Sebagian darinya membuka lahan milik Yeremia untuk dijadikan lahan pertanian dan sebagian rawa-rawa diubah menjadi lahan produktif.
Pesona Ancol – Tidak hanya itu. Pemilik tanah juga menjadikan kanal antara Kasteel Batavia dan Benteng Antjol sebagai jalur lalu lintas angkutan barang. Yeremia juga mendatangkan budak dari berbagai tempat agar usahanya berhasil dalam membuka lahan pertanian. Upaya itu dilakukan untuk menambah pundi-pundi penghasilan lain selain menjadi perwira VOC.
Ajaibnya, keputusan Yeremia untuk membuat vila mewah diikuti oleh orang kaya lainnya, termasuk Gubernur VOC Adriaan Valckenier (1737-1741). Sejak saat itu Ancol menjadi tempat rekreasi khusus warga Belanda akhir pekan ini. Belakangan, semua itu menjadi dasar Ancol disebut sebagai “taman impian”.
“Ternyata Ancol telah menjadi tempat rekreasi selama tiga abad, terutama bagi orang Belanda akhir pekan ini. Letakkan sejumlah noni-noni Belanda dengan budak di bawah payung dan nikmati pantai Ancol. Diantaranya adalah mereka yang menggunakan teleskop,” Alwi Shahab tulis dalam buku Saat Belanda Penuh, Batavia lahir (2013).
Sempat dilupakan dan menjadi sarang monyet
Sejarah Ancol sebagai tempat rekreasi juga dicatat oleh perwira artileri VOC Johannes Rach (1720-1783) dalam sebuah lukisan yang menggambarkan keadaan Pantai Ancol pada tahun 1772. Saat itu, daerah itu bernama Slingerland. Namun, kejayaan Slingerland sebagai tempat kesenangan harus berakhir. Banyaknya wabah yang menjangkiti penduduk Batavia menjadi alasan utamanya.
Akibatnya, di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda, Herman Willem Daendels (1808-1811), semua bangunan, termasuk Kasteel Batavia dan beberapa vila mewah, dihancurkan.
Pesona Ancol – Ancol di Oud Batavia (Batavia Lama) dihancurkan. Dengan sisa-sisa bangunan yang tersisa, pusat pemerintahan Daendels didirikan dan dipindahkan dari Oud Batavia (Batavia Lama) ke Nieuw Batavia (Batavia Baru) di Weltevreden, atau dikenal sebagai daerah sekitar lapangan Banteng. Akibatnya, Ancol cukup lama menjadi kawasan terabaikan.
Kawasan Ancol dibiarkan lama tidak berpenghuni dan menjadi semak belukar. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1950. Karena tidak ada kehidupan, Ancol dikenal sebagai sarang kera. Oleh karena itu, ketika kendaraan mulai melewati jembatan Ancol, mereka harus sangat berhati-hati. Bukan karena hantu dari Jembatan Ancol, tapi karena monyet-monyet itu sering bertebaran di luar hutan.
Meski begitu, Ancol tetap dikunjungi untuk bersenang-senang, tapi tidak seramai dulu. Salah satu orang yang merasakan nikmatnya mengunjungi Ancol di tahun 1950-an adalah Firman Lubis. Melalui bukunya, Jakarta 1950-1970 (2018), Firman menuliskan pengalamannya jalan-jalan ke Ancol bersama teman-temannya untuk memancing. Perusahaan mengatakan, dulu Ancol ditumbuhi semak belukar, bakau, pohon kelapa, dan ratusan pohon palem.
Konon karena kesepian Ancol, rumor bahwa buaya masih hidup di rawa-rawa Ancol pada awal 1950-an cukup populer di kalangan warga ibu kota. Namun, penguasa daerah ini bukanlah buaya. Hal ini dikarenakan banyaknya kera yang seolah-olah menjadi penguasa Ancol.
Banyak kera kini berkeliaran bebas di rel kereta di ujung Jalan Gunung Sahari, di depan pintu masuk Taman Ria Ancol. Dikenal sebagai monyet Ancol, ia termasuk dalam spesies yang disebut Macacus. Monyet-monyet ini sering meringkuk di sekitar rel kereta api di pertigaan ujung Jalan Gunung Sahari dan Jalan Ancol. ”
Perusahaan juga menambahkan bahwa mereka yang bepergian ke Ancol sering memperhatikan perilaku monyet. Ada yang memberi kacang dan ada pula yang memberi makan lagi untuk menghibur diri dan mengamati tingkah laku kera Ancol.
“Saat itu kera Ancol cukup terkenal di kalangan masyarakat Jakarta, sehingga masyarakat di Jakarta umumnya menggunakannya untuk mengutuk seseorang yang tidak mereka sukai atau dianggap bertingkah aneh sambil berkata: kamu monyet! Ancol, kamu!” tutup Firman. [Rudy_Albdr]
Sumber Bacaan : Detha A.T/Y. Mahabarata