KH. Noer Ali

KH Noer Ali Yang Sulit Di Tangkap Belanda

kebudayaan betawi – KH Noer Ali. Kampung Ujung Malang (sekarang Ujung Harapan)yang berlokasi di Bekasi Jawa Barat, layak berbangga karena telah melahirkan pahlawan nasional yang patut dibanggakan. KH Noor Ali lahir di sana pada tahun 1914, tanpa ada yang mengetahui tanggal pasti kelahiran Noor Ali karena orang jarang mencatat peristiwa secara tertulis. bahwa KH Noor Ali lahir dari seorang Ibu bernama rahim Hj. Maimuna binti Turbin, menikah dengan pemuda petani Anwar bin Layu, lahirlah seorang anak yang diberi Nama Noor ali yang hidup dikalangan kelas menengah di desanya.

Sebagaimana telah di paparkan dalam Biografi KH Noer Ali yang ditulis Ali Anwar, masa dewasa Noer Ali tumbuh menjadi seorang yang sangat kritis serta peka terhadap lingkungan agama dan sosial, karena kemauan keras untuk menuntut ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan suport dana dari seorang ayahnya yang didapat hasil  meminjam uang dari majikan ayahnya yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Noer Ali belajar di Mekah Selama enam tahun (1934-1940).

Semangat kebangsaannya tumbuh ketika di Mekah, ia merasa dihina oleh pelajar asing yang mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia. Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang kalau ada kemauan!”.

KH Noer Ali pun menghimpun para pelajar Indonesia khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang dijajah. Ia diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah (1937).

KH Noer Ali pada 1940 kembali ke Bekasi dan mendirikan pesantren di Ujung Malang. Pesantren At-Taqwa yang didirikannya telah memiliki berbagai cabang di beberapa wilayah di Bekasi, berupa sekolah mulai tingkat madrasah, hingga perguruan tinggi), dan memiliki total santri kurang lebih 800 orang putra dan 750 orang putri.

Munawaroh, salah satu kemenakan Noer Ali mengatakan, keluaga Noer Ali cukup disegani di wilayah Ujung Harapan. Para pemegang kekuasaan dan pegambil kebijakan di Pesantren At-Taqwa pun, semuanya merupakan kerabat Noer Ali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ia pun menceritakan riwayat kepahlawanan tokoh At Taqwa itu yang berjuang lewat dakwahnya yang tak mengenal waktu dan jarak. Kondisi Pesantren At-Taqwa sendiri dari segi bangunan bisa dibilang sangat sederhana. Tapi jangan ditanya soal hasil didikannya. Sistem yang telah dibuat Noer Ali sejak pertama kali mendirikan pesantren ini masih terus dipertahankan.

Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, K.H Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali.

KH. Noer Ali Bertemu
Menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta/Foto: A3Channel

Peranan pentingnya muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947.  KH. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. KH. Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di pepohonan.

Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera itu terkejut karena ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya. Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan karena tidak berhasil menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang kemudian bergabung KH Noer Ali  dengan MPHS.

Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang melintang antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung ke kampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah KH. Noer Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga yang menyebutnya sebagai “Belut Putih” karena sulit ditangkap musuh.

Sebagai kiai yang memiliki karomah, Noer Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat mental anak buahnya. Ada wirid-wirid yang harus diamalkan, namun kadang-kadang anak buahnya ini tidak taat.

Tahun 1948 Residen Jakarta Raya mengangkat KH. Noer Ali sebagai Koordinator Kabupaten Jatinegara. Ketika terjadi Perjanjian Renville, semua pasukan Republik harus hijrah ke Yogyakarta atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui Leuwiliang, Bogor. Di Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI di Pandeglang. Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun bersama pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian Roem-Royen.

Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan 1946-1949, KH Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu delegasi Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh A.H. Nasution, yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu.  Kemudian dimulailah perjuangan KH. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan melalui pendidikan maupun melalui jalur politik.

Pemikiran KH Noer Ali untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah dimulai sejak ia mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah merdeka, peluang lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta. Selanjutnya Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa.

kiai lagi ngajar
Ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi/Foto: A3Channel

Di lapangan politik, peran KH Noer Ali memang menonjol. Saat Negara RIS kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950, Noer

Ali diangkat sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara. Tahun 1956, ia diangkat menjadi anggota Dewan Konstituante dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat.

Demikianlah perjalanan hidup karir dari KH Noer Ali dan beliau di angkat menjadi pahlawan Nasional pada 9 November 2006. Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.

[Rudy_Albdr]

Sumber Bacaan

  • Biografi K.H yang ditulis Ali Anwar

 

Check Also

H. BOKIR : MAESTRO TOPENG BETAWI (Bagian 1)

H. BOKIR : MAESTRO TOPENG BETAWI (Bagian 1)

H. BOKIR : MAESTRO TOPENG BETAWI (Bagian 1)-Tidak dapat dipungkiri, H. Bokir bin Jihun Kelahiran …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *