maen pukulan
maen pukulan/Foto LKB

Maen Pukulan Beksi Asal-Usul Silat Khas Betawi

Maen Pukulan Beksi Asal-Usul Silat Khas Betawi

Penulis  : H. Irwan Sjafi’ie
              : Yahya Andi Saputra

kebudayaan betawi – Maen Pukulan Beksi Silat Khas Betawi Asal-Usul dan Perkembanganya. Maen pukulan Beksi atau silat Beksi lahir dari kemampuan orang-orang terpilih yang tiada henti-hentinya melatih kepekaan indrawi, mengolah kelebihan atau kelenturan anatomi tubuh, dan belajar dari sebanyak-banyaknya pertanda alam yang ada di sekitar mereka. Pertanda alam yang dimaksud adalah kehidupan alamiah berupa gerak debur ombak samudera, riak aliran sungai, hembusan angin sepoi-sepoi, rintik atau curah hujan, petir, kilat, geledek, gempa bumi, gunung meletus, atau memperhatikan pola gerak dunia fauna. Tidak sedikit dunia binatang mengilhami gerak atau jurus maen pukulan, apakah gerak macam, harimau, merak, naga, kelabang, monyet, cangcorang, dan sebagainya.

Maen Pukulan Beksi ada dua versi,  yang jika diamati secara seksama saling melengkapi.

Versi Pertama

maen pukulan Berdasarkan penuturan salah seorang tokoh maen pukulan Beksi, H. Atang (berumur 84 tahun) yang berasal dari kampung Rawajati, Kosambi, Tangerang[1].

Lahirnya maen pukulan Beksi mirip seperti dongeng. Maen pukulan Beksi mulai muncul dalam kancah dunia persilatan Betawi pada masa kurun waktu  pertengahan  abad 19 atau pada kisaran tahun 1850 – 1860-an. Pada masa itu daerah Jakarta Raya dan sekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok) berada dalam pengaruh kekuasaan para tuan-tuan tanah. Tuan-tuan tanah ini diberi kepercayaan oleh pemerintah kolonial Belanda di Batavia untuk memungut pajak dan upeti dari rakyat untuk membiayai roda pemerintahan kolonial Belanda di karesidenan  Jakarta dan sekitarnya.

maen pukulan, Salah seorang Tuan Tanah yang terkemuka dan terkaya di wilayah Tangerang  adalah Gow Hok Boen yang berdomisili di Kampung Kosambi. Tokoh Tuan Tanah ini secara kebetulan  menyukai  ilmu bela diri. Seperti lazimnya peranakan Cina, maka bela diri yang dikuasai sang Tuan Tanah adalah dari jenis Kun Tao dan Kung Fu. Gow Hok Boen dikenal pula dalam sejarah lokal Tangerang dengan sebutan Tuan Tanah Kedaung.  Sebagaimana layaknya para Tuan Tanah di masa itu, dalam rangka memudahkan tugas untuk menarik upeti dari rakyat  maka  sang Tuan Tanah Kedaung tak lupa pula untuk memelihara  para jagoan atau tukang pukul sebagai  centeng.[2]  Dari  sekian banyak  centeng yang dipeliharanya, ada satu yang  amat menonjol dan merupakan kepala dari jajaran centengnya. Kepala centeng Gow Hok Boen ini bernama Ki Kenong. Jagoan yang satu ini terkenal akan kehebatan ilmu bela dirinya yang dicampur dengan keahlian ilmu sihir.  Dengan  satu spesifikasi kedigjayaannya yaitu  dapat mengeluarkan bunga-bunga api dari kibasan pukulan tangannya. Kedigjayaan model itu menjadikan “senjata pamungkas” Ki Kenong hingga ia tak terkalahkan oleh para jago sekitar wilayah Tangerang pada saat itu.

Sebagai seorang yang  menggemari seni bela diri, Gow Hok Boen  merasa tertarik untuk mencari  jagoan yang lebih hebat dari kepala centengnya, Ki Kenong.  Maka dibuatlah semacam sayembara yang diadakan setiap malam Minggu  di  tanah lapang dekat rumahnya. Tujuan sayembara itu adalah mencari jagoan yang dapat mengalahkan Ki Kenong. Ki Kenong dalam pengamatan Gow Hok Boen akhir-akhir ini terlah berbuat curang. Jika Ki Kenong dapat dijatuhkan, maka orang yang dapat menjatuhkan Ki Kenong akan diangkat menjadi centeng kepercayaannya. Maka sejak itu, setiap malam Minggu ramailah daerah Kosambi  dengan para jagoan  yang bertarung untuk mengalahkan Ki Kenong.  Satu demi satu para jagoan  dari berbagai pelosok datang dan mengadu nasib  dengan  bertanding olah-kanuragan dengan Ki Kenong.  Namun dari sekian banyak jago yang bertanding belum satupun yang mampu menjatuhkan atau mengalahkan Ki  Kenong yang demikian sakti itu. Meski Ki Kenong nyata-nyata tidak terkalahkan, Gow Hok Boen tetap saja melaksanakan sayembara karena penasaran dengan kesaktian Ki Kenong.

maen pukulan, Singkat cerita, di tengah keramaian  adu-jago setiap minggu itu, terdapat  seorang  pedagang  singkong rebus yang dicacah/dipotong-potong kecil diaurkan parutan kelapa (mungkin singkong urap). Pak tua pedagang singkong urap ini bernama Pak Iban atau Pak Jidan berasal dari Kampung Teluk Naga.  Setiap malam Minggu Pak Jidan tidak pernah absen hadir dikeramaian tersebut  guna menjajakan dagangannya. Pak Jidan ini mengambil  singkong sebagai bahan dagangannya dari tanaman singkong liar yang tumbuh di hutan sekitar tempat tinggalnya. Suatu ketika ia mendapatkan  satu pohon singkong yang tak pernah habis diambilnya. Diambil sekeranjang tidak habis. Diambil dua keranjang tidak habis. Diambil empat, lima bahkan sepuluh keranjang dan seterusnya tidak juga habis-habisnya sampai beberapa hari. Pak Jidan  merasa heran dengan keanehan tersebut, namun ia tak ambil pusing.

Di suatu sore, tatkala Pak Jidan tengah beristirahat dirumahnya, muncul seorang pemuda dan mengucapkan salam kepadanya untuk kemudian bertamu. Pak Jidan menjawab salam dan mempersilahkan pemuda yang tak diundang itu masuk. Setelah saling basa-basi, pemuda itu memulai pembicaraan pokoknya.

“Hai, Pak Tua, beberapa bulan terakhir ini saya selalu kemalingan. Singkong yang saya tanam di dalam hutan dicuri orang. Setelah saya selidiki dengan cermat ternyata Pak Tualah pencurinya. Coba terangkan kenapa Pak Tua sampai hati menjadi maling dan mencuri singkong saya?” Kata sang pemuda.

“Maaf, anak muda. Saya merasa selama ini saya tidak menjadi maling. Sepengetahuan saya singkong yang ada di hutan itu adalah singkong liar, tidak ada yang menanam atau tidak ada pemiliknya”. Jawab Pak Jidan dengan perasaan heran dan sedikit takut.

“Pak Tua salah duga. Sayalah yang macul tanah di hutan itu dengan susah payah dan saya tanami singkong. Coba Pak Tua pikir, kenapa di hutan ada singkong yang enak dimakan tapi tidak ada yang menanamnya? Apa Pak Tua pikir singkong liar enak dimakan?” Gertak anak muda.

Pak Jidan glagapan tidak bisa menjawab apalagi berargumentasi.

“Untuk apa Pak Tua mencuri singkong saya?” Tanya anak muda sambil melotot.

“Maaf, anak muda, saya benar-benar tidak tahu kalau singkong itu milik engkau. Saya ini cuman seorang pedagang manakan kecil-kcilan. Saya terpaksa mengambil singkong itu untuk dijual dan hasil jualannya untuk menghidupi keluarga saya yang miskin. Sekali lagi maafkan saya, Den, maafkan …”. Jawab Pak Jidan sambil menyeka keringatnya karena takut.

Mendengar jawaban yang jujur dan melihat raut muka Pak Jidan yang ketakutan, sang pemuda tak diundang itu merasa kasihan.

“Baiklah, Pak Tua saya maafkan. Tapi jangan sekali lagi Pak Tua mencuri singkong saya”. Kata si pemuda.

“Baik, Den. Saya tidak akan mengulangi perbuatan saya”. Jawab Pak Jidan.

“Pak Tua, saya sudah tahu kalau Bapak orang miskin. Saya ingin menolong Bapak. Apakah bapak mau?” Tanya sang pemuda misterius itu.

“Dengan Aden mao maapin saya, saya sudah sangat berterima kasih. Sekarang Aden mao menolong saya, rasanya saya sudah kehabisan rasa terima kasih”. Jawab Pak Jidan.

“Jangan bicara begitu, Pak Tua. Bukankah kita hidup harus saling tolong-menolong. Mengka itu saya berniat menolong Pak Tua”. Kata si permuda tersenyum.

“Saya, sih, terserah Aden saja”. Jawab Pak Jidan pasrah.

“Sekarang bukalah pakaian Pak Tua”. Perintah Si pemuda.

“Untuk apa, Den. Umur saya kan udah 60 tahun. Nanti saya masuk angin, Den”. Jawab Pak Jidan ragu-ragu.

“Pokoknya Pak Tua turus saja perintah saya. Saya mau kasih wasiat. Saya jamin tidak akan terjadi apa-apa”.  Kata si pemuda.

“Baik, Den”. Maka Pak Jidan membuka bajunya. Ternyata si pemuda mengajarkan jurus-jurus maen pukulan. Ada delapan jurus ilmu maen pukulan yang diajarkan langsung oleh si pemuda tersebut. Pak Jidan dengan mudah menyerap jurus-jurus yang diajarkan. Kepada Pak Jidan diberitahukan bahwa masih ada tiga atau empat jurus lagi yang belum diajarkan kepadanya.

“Tugas saya hanya mengajarkan delapan jurus saja, jurus lain akan ada yang mengajarkannya lagi kepada Bapak. Dan sebagai tambahan saya berikan kemenyan putih”. Kata si pemuda selesai mengajarkan delapan jurus itu.

“Kemenyan putih, Den. Untuk apa?” Tanya Pak Jidan keheranan.

“Kalau Bapak memerlukan tenaga saya, bakar saja kemenyan putih ini sambil membaca mantera-matera. Nanti saya akan datang untuk membantu Bapak”. Jawab si pemuda.

“Bagaimana manteranya, Den?” Tanya Pak Jidan.

Maka si pemuda membaca mantera dan menyuruh Pak Jidan mengikuti. Mantera tersebut  berbahasa Sunda yang berbunyi  sebagai berikut :

Asian kaula Si Macan  putih,
Macan putih  mangka asih
Odeng engang tiwuan,
Sireupeun siteuweul  tengah
Biwirku wesi letahu waja
Nunggah geugeuh dibeungeut kaula,
Si Macan  anakan
Tungkul kairud tanggah kupari basah,
Anggrek kamaya ngaraning pamor
Beurpes, Beurpes, Beurpes, Ku bayu sia  sorangan
Laa ila ha illallah  Muhammadarrasullullah.

“Nah, jangan lupa, Pak. Amalkan dengan yakin dan sepenuh hati”. Kata si pemuda. Ditambahkan oleh si pemuda, jika telah mengamalkan mantera ini dan puasa salama 40 hari niscaya bukan hanya mahir main pukulan tapi juga kebal dari semua senjata tajam.

Pak Jidan mengangguk-angguk. Ia  mengingat kembali mantera yang baru saja diberikan pemuda itu. Sejurus ada tanda keraguan di wajahnya, apakah benar mantera ini dapat berguna bagi keluarganya yang miskin. Tapi kemudian Pak Jidan bertekad untuk mengamalkan mantera itu. Ia merasa yakin bahawa bacaan mantera itu akan ada manfaatnya.

Setelah  memberikan  mantera yang sebenarnya  merupakan  ajian kedigjayaan itu berikut delapan jurus silat, sang pemuda misterius itupun  pamit. Tatkala membalikkan badan terlihat keanehan di tubuh sang tamu, yaitu  dibalik jubah putihnya tersembul ekor harimau dan punggungnya terlihat  loreng-loreng  seperti lorengnya macan.  Pak Jidan amat terkejut, namun ia memaklumi dan menyadari kalau dirinya baru saja dikunjungi dan diajrkan jurus maen pukulan oleh Ki Belang  (siluman macan putih).

Pak Jidan masih masygul dan terparangah. Istrinya heran melihat raut wajah Pak Jidan dan beratanya, “Wahai, sumaiku, gerangan apakah yang terjadi pada dirimu sehingga wajahmu sangat pias seperti orang kesambet?”

“Nggak, nggak ngapa-ngapa. Engkali cuman masuk angin. Nanti juga ilang sendiri.” Jawab Pak Jidan seolah-olah tak ada peristiwa yang terjadi.

Esoknya, tepat  pada malam Minggu, Pak Jidan kembali berdagang seperti biasa di keramaian adu-jago yang rutin diselenggarakan  oleh Tuan Tanah Kedaung. Malam Minggu ini sayembara sudah berlangsung lebih-kurang dua bulan. Rupanya dagangan Pak Jidan tak selaris seperti biasanya. Bahkan sekitar 10 – 20 bungkus dagangannya diambil  para jagoan (preman, kini) tanpa dibayar. Pendapatan yang merosot  ditambah tingkah  sok jago beberapa pemuda yang mengambil  dagangannya membuat Pak Jidan kesal dan tak kuasa menahan amarah.  Di puncak kekesalannya itu, ia menendang salah satu keranjang dagangannya.  Diluar dugaan tendangan Pak Jidan demikian kuat, seakan ada kekuatan gaib yang menyertainya. Tendangan itu mengakibatkan  keranjang dagangannya tersebut melayang jauh dan jatuh di arena para jago yang sedang bertanding. Beberapa jagoan dan penonton terkena keranjang yang melayang tersebut. Dengan rasa dongkol setengah heran mereka menanyakan siapa pemilik keranjang tersebut. Orang-orang menunjuk Pak Jidan.

Insiden itu diketahui pula  oleh sang Tuan Tanah, Gow Hok Boen yang terkagum-kagum melihat fenomena “keranjang melayang”.

“Siapa yang telah berbuat tidak sopan di depan saya. Bawa orang itu ke hadapan saya!” Perintah  Tuan Tanah.  Pak Jidan diseret tiga orang anak buah Tuan Tanah.

“Janganlah kowe berlaku tidak sopan. Ini arena sayembara yang terhormat. Kalu memang kowe punya jurus, cobalah kasih liat kepada orang-orang di sini, jangan cuman beraninya di belakang”. Lanjut tuan Tanah.

Dengan  ragu-ragu Pak Jidan mendatangi  Tuan Tanah Kedaung, dan berkata , “Maafkan saya tuan. Sebenarnya saya sangat kesal kepada penonton yang mengambil dagangan saya dan tidak membayar. Saya tiada kuat menahan rasa marah dan keranjang dagangan saya sendiri yang saya tendang”.

“Saya tidak mao tahu, pokoknya kowe harus tunjukin jurus yang kowe punya dan hadepin saya punya centeng Ki Kenong. Ki Kenong, majulah engkau!”. Tuan Tanah memanggil centengnya.

“Tapi, Tuan, …”

“Nggak pake tapi-tapian. Pokoknya kowe harus melawan Ki Kenong, atawa kowe punya kaki saya patain”. Bentak Tuan Tanah dengan marah.

Kontan Pak Jiban terkejut, mengingat bahwa ia hanyalah seorang pedagang kecil yang tak mengerti ilmu bela diri. Namun keraguan itu perlahan sirna, ketika dilihatnya dukungan rakyat yang menonton  begitu besar terhadap dirinya.[3] Seketika itu pula ia teringat akan ajian atau mantera yang diberikan oleh Ki Belang. Akhirnya ia menyanggupi permintaan Gow Hok Boen.

“Baiklah, Tuan. Saya akan mencoba apa yang saya bisa. Tapi sebelumnya izinkan saya ke belakang, saya mao membasuh muka terlebih dahulu”. Begitu kata Pak Jidan seraya meminta waktu sebentar untuk kebelakang menyepikan diri.  Di tempat yang sunyi di belakang  rumah besar sang Tuan Tanah, Pak Jidan membakar kemenyan putih dan berkonsentrasi merapal mantera untuk memanggil Ki Belang. Komunikasi supranatural pun terjadi, dan intinya Ki Belang menyanggupi permohonan Pak Jidan untuk membantunya menghadapi Ki Kenong.

Alkisah, bertarunglah Pak Jidan menghadapi Ki Kenong.  Berbagai jurus di keluarkan oleh Ki Kenong  dalam menghadapi Pak Jidan. Pak Jidan sebenarnya hanya berdiri saja tanpa melakukan apa-apa. Namun dalam penglihatan awam (para penonton), tampak Pak Jidan berkelebat kesana-kemari  menimpali serangan jurus demi jurus yang dikeluarkan Ki Kenong, sebagaimana layaknya orang yang bertarung. Rupanya dalam pertandingan fisik itu, Ki Belang hadir dan meladeni Ki Kenong.  Hingga suatu saat, Ki Kenong terdesak oleh  “perlawanan”  Pak Jidan, dan sejurus kemudian mengeluarkan ajian pamungkasnya yaitu “Pukulan Tangan Berapi” yang merupakan jurus andalan Ki Kenong. Berkali-kali semburan bunga api dari kepalan Ki Kenong menghantam Pak Jidan, namun jangankan luka terbakar, tubuh Pak Jidan tersentuh pun tidak oleh serangan pukulan maut tersebut.  Malah pada satu ketika, pukulan maut Pak Jidan yang  disebut jurus baroneng, merupakan metamorfosa Ki Belang,  membuat  roboh Ki Kenong. Ki Kenong dapat dikalahkan.

Melihat hal ini sang Tuan Tanah dan  rakyat yang menonton terkejut dan terkagum-kagum sambil bertepuk tangan. Tuan Tanah buru-buru menyambut Pak Jidan dan bertanya.

“Pak Tua, siapakah nama Bapak?”

“Nama saya Jidan, Tuan.” Jawab Pak Jidan.

“Pak Jidan, saya mengagumi jurus yang Bapak gunakan. Sepanjang pengetahuan saya belum ada seorangpun yang mengeluarkan jurus seperti itu. Maka saat ini juga saya angkat Bapak sebagai kepala centeng saya menggantikan Ki Kenong!”. Mendengar pengumuman pengangkatan itu, penonton kembali bertepuk tangan riuh rendah. Pak Jidan hanya terbengong-bengong merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“Tapi saya pengen tahu, apa nama aliran atau jurus yang Bapak gunakan dalam mengalahkan Ki Kenong tadi?” Tanya Tuan Tanah.

“Maaf, Tuan. Saya sendiri belon tahu apa nama jurus itu. Orang yang mengajarkan saya nggak ngasih tahu. Sedengen saya baru belajar sekali-kalinya”. Jawab Pak Jidan dengan lugu dan  jujur.

Tuan Tanah alias Gow Hok Boen menunduk seolah-seolah berpikir.

“Kalau begitu, berdasarkan gerakan yang saya saksikan tadi, jurus Bapak saya beri nama Beksi. Bek artinya pertahanan dan Si artinya empat arah mata angin. Beksi artinya pertahan dengan cara pengoncian empat arah mata angin : depan, belakang, samping kanan, dan samping kiri.  Atau bisa pula berarti orang atau jurus yang bisa diandalkan untuk menjaga keamanan kampung”. Kata Gow Hok Boen.

Akhirnya  oleh sang Tuan Tanah aliran silat yang ditampilkan Pak Jidan  di beri nama Beksi. Maka terkenallah Pak Jidan dengan sebutan Ki Jidan yang menguasai ilmu silat maen pukulan Beksi  ke segenap pelosok Tangerang dan di kemudian hari ke seantero  Batavia dan daerah sekitarnya.

Nama  ilmu  silat yang diberikan Goh Hok Boen itu disesuaikan dengan kedudukan Pak Jidan sebagai  pengawal atau penjaga keamanan di kampung tersebut  dan tampilan jurus silat Pak Jidan  yang bergerak  dengan langkah empat penjuru mata angin dalam memberikan serangan/pertahanan diri. Sejak itulah aliran silat Pak Jidan di kenal dengan  nama maen pukulan Beksi.

  1. Versi Kedua

Versi kedua diceritakan oleh H. Mahtum,[4] lahir di Kampung Rawa Lindung, Petukangan, 14 November 1945.

Alkisah, menurut cerita dari mulut ke mulut, di sebuah kampung di bagian timur Tangerang, hiduplah seorang laki-laki yang mahir ilmu bela diri. Lelaki itu bernama Raja Bulu dan sudah berumur sekitar 65 tahun. Raja Bulu hanya hidup bersama seorang anak lelakinya yang berusia sekitar 20 tahun karena istrinya  sudah lama meninggal dunia. Anak lelaki Raja Bulu yang semata wayang itu ternyata tidak bisa bicara alias gagu.

Kehidupan soaial ekonomi Raja Bulu sedang-sedang saja, artinya tidak miskin dan tidak juga kaya. Sebagai seorang yang ahli bela diri atau maen pukulan, tentu saja pekerjaan Raja Bulu mengajar ilmu maen pukulan ke kampung-kampung sekitar Tangerang. Kemana saja Raja Bulu pergi mengajar, anaknya yang gagu selalu diajak. Di tempat-tempat latihan, si anak hanya nonton saja murid-murid bapaknya berlatih. Dia (si anak) sendiri tidak pernah mau ikut belajar maen pukulan.

Suatu malam ketika Raja Bulu tidak melatih murid-muridnya, ia ngobrol ngalor-ngidul dengan anaknya. Kongko ngalor-ngidul itu akhirnya membicarakan pula jurus-jurus maen pukulan.

“Wahai, anakku semata wayang. Kalau orang-orang pada berebutan mao ikut belajar maen pukulan kepada ayah, kenapa kiranya engkau tidak tertarik untuk ikut belajar?” Tanya Raja Bulu kepada anaknya.

Meskipun gagu si anak mengerti omongan bapaknya dan dia menjawab dengan bahasa isyarat. Raja Bulu mengerti bahasa isyarat anaknya, karena sejak kecil mereka berkomunikasi seperti itu. Raja Bulu berbicara dengan bahasa lisan, anaknya menjawab dengan bahasa isyarat.

“Ayah yang tercinta. Meski saya tidak belajar maen pukulan Beksi kepada Ayah, kalau saya sambut sama Ayah, saya belum tentu kalah”. Begitu jawab anak Raja Bulu. Melihat jawaban anaknya, Raja Bulu kaget dengan ekspresi tidak percaya. Meski begitu Raja Bulu sangat heran karena anaknya menjawab dengan serius dan yakin.

Singkat cerita Raja Bulu bersedia menerima tantangan anaknya yang tidak pernah belajar itu. Terkandung maksud dalam hati Raja Bulu ingin menggembirakan anaknya sekaligus ingin mencoba kebenaran kata-kata anaknya. Mulailah mereka sambut. Awalnya Raja Bulu tidak terlalu serius mengeluarkan jurus-jurusnya. Ternyata anaknya memang benar-benar mampu bertahan, menangkis, dan menyerang dengan amat baik. Bahkan jurus-jurus yang diperagakan anaknya tidak diketahui jenis jurus apa, karena sangat berbeda dengan jurus-jurusnya sendiri.

Sambut anak – bapak itu berjalan alot. Dari jurus satu ke jurus dua ke jurus tiga ke jurus empat ke jurus lima dan seterusnya. Pendek cerita Raja Bulu akhirnya keteter menahan serangan demi serangan yang dilancarkan oleh anaknya.  Bahkan hampir saja sebuah jurus cakar merobek perut Raja Bulu, karena baju yang pakainya tercabik-cabik. Merasa keteter Raja Bulu menghentikan perkelahian. Dalam hati Raja Bulu ada perasaan takjub dan kagum sekaligus heran karena ternyata anaknya amat kuat, lincah dan mahir maen pukulan.

“Wahai anakku, sepengetahuanku engkau tidak pernah belajar maen pukulan. Ternyata engkau jauh lebih unggul dari ayah. Tentu saja ayah sangat kagum dan bangga kepadamu. Ayah mau tanya, sebenarnya kamu belajar dimana?” Demikian tanya Raja Bulu kepada anaknya dengan napas yang masih ngos-ngosan.

“Maafkan saya, Ayah. Saya tidak pernah memberitahukan kalau selama ini saya belajar maen pukulan. Saya belajar hampir tiap hari mulai tengah malam di dalam hutan”. Jawab si anak. Mendengar jawaban anaknya, Raja Bulu makin heran.

“Jadi kamu selama ini belajar di hutan?” Tanya Raja Bulu.

“Benar sekali, Ayah”. Jawab si anak.

“Kepada siapa kamu belajar?” Tanya Raja Bulu lagi.

“Kepada siluman macan putih, Ayah Kalau tadi ayah perhatikan dengan seksama, ada jurus-jurus yang sangat dahsyat berupa gerakan-gerakan cakar dan lompatan macan. Itulah tandanya”. Jawab si anak.

Raja Bulu terbelalak hampir jatoh duduk. Beberapa saat kemudian Raja Bulu berkata, “Wahai, anakku. Engkau memang anakku yang tiada mengecewakan. Aku sangat bangga padamu meski engkau tak bisa bicara, tapi engkau mau belajar sendiri apa yang menurut engkau baik. Sebenarnya sejak engkau kecil aku dapat melihat pertumbuhan tulang-tulang badanamu amat bagus jika diolah menjadi seorang yang mahir ilmu bela diri. Kini ternyata engkau telah memenuhi keinginanku yaitu menjadi anak yang mahir memainkan ilmu bela diri. Tapi aku bingung kepada siapa aku bertanya soal nama jurus-jurus yang engkau perlihatkan tadi?”

“Siluman macan putih itupun tidak meberitahu apa nama jurus-jurus itu, Ayah. Jika Ayah punya pemikiran, saya rasa tiada salah kalau Ayah yang memberi nama jurus-jurus itu”. Kata si anak.

Raja Bulu menengadah ke langit kemudian berkeliling seolah-olah mencari inspirasi. Sebagi seorang yang mahir ilmu silat, terntu tidak ada kesulitan bagi Raja Bulu untuk mengingat semua jurus anaknya tadi. Beberapa gerak atau jurus-jurus yang dikeluarkan anaknya dicoba reka ulang. Bebera saat kemudian dia manarik napas dan berkata, “Anakku, aku ingin jurus-jurusmu itu nantinya dikenal dan dipelajari orang banyak, berdasarkan pola gerak yang sangat jelas, jurus-jurusmu itu seperti gerak segi empat atau jurus empat arah yaitu depan, belakang, kiri dan kanan”. Demikian hasil analisa Raja Bulu atas jurus-jurus anaknya.

“Lalu apa namanya, Ayah?” Tanya si anak seakan tidak sabar.

“Aku namakan jurus-jurusmu itu sebagai jurus-jurus Beksi!” Jawab Raja Bulu mantap.

“Aku setuju, Ayah. Kedengarannya nama yang bagus dan memancarkan kekuatan dari nama itu”. Jawab si anak. Maka menurut cerita, mulai saat itu Raja Bulu meninggalkan semua ilmu bela diri yang dimilikinya. Ia mulai menggali dan belajar dengan serius kepada anaknya sendiri. Raja Bulu mendapatkan pula mantera atau ajian untuk mengundang atau mempercepat kehadiran siluman macan putih. Ajian itu sebagai berikut :

Ini kunciku ummiku,
Uliting Nabi ummi ulung Rosulullah,
Hurosining Allah,
Nabi payungku,
Jibroil tetepken aku,
Muhammad tutupku Allah,
Allah kunciku : …………
Laa ila haillallah Muhammadarrosulullah,
Pet – empret : (gedig tanah tiga kali)
 
Maung pundung,
Datengnya ampun,
Bumi rapet,
Braja sirep.
Gajah putih nyebrang lautan
Datengnya tunduk menyembah di kaki aku.
La ilahailla anta subhanaka inni kuntum minazzhalimiin,
Kul inkuntum tuhibbunallaha fattabiuuni yuhbibkumullah,
Wayaghfirulakum zunuubakum,
Wallahu ghafuururrahiem.

Akhirnya Raja Bulu benar-benar menguasai jurus-jurus Beksi bahkan sudah melakukan puasa untuk mendapatkan jurus pamungkas maen pukulan Beksi. Mulailah Raja Bulu mengajarkan Beksi kepada semu muridnya.

Demikian versi kedua asal-muasal maen pukulan Beksi. Jika dilakukan penggalian atau wawancara kepada tokoh-tokoh Maen Pukulan Beksi lainnya, mungkin akan lahir versi-versi lain. Seperti telah diuraikan pada bagian pendahuluan, bahwa maen pukulan termasuk salah satu folklore yang hidup di masyarakat Betawi. Di dalam folklore, apakah itu jenis legenda atau apapun yang menceritkan sesuatu kejadian atau kesenian, memang senantiasa berbau dongeng karena cerita itu lahir tanpa ada yang mengarang atau anonim. Meskipun berawal dari dongeng, tapi dalam realitas kehidupan masyarakat, dongeng itu menjadi kenyataan. Ini dapat kita temui misalnya dalam maen pukulan, seperti Beksi.

____________________________________________________________________

  • [1] Wawancara dengan H. Atang, tokoh maen pukulan Beksi pada 6 Mei 2001
  • [2] Centeng  secara harfiah berarti penjaga malam, namun dalam budaya Betawi centeng  berfungsi tak sekedar penjaga tetapi sekaligus pengawal pribadi atau toekang poekoel dalam bahasa Betawi.
  • [3] Pak Iban dianggap simbol perlawanan rakyat kecil terhadap kesewenangan dan kejayaan tuan tanah dan para centengnya saat itu.
  • [4] Wawancara dengan H. Machtum, 29 Agustus 2001
Pencarian Berdasarkan Kata KunciTuliskan Kembali kisah asal usul beladiri maen pukulan berdasar kisah haji atang lenong dengan bahasamu sendiri!

Check Also

Silat Beksi

Silat Beksi Betawi film Dokumenter

Silat Beksi Sejarah dan Perkembangannya kebudayaan betawi  – Silat Beksi awalnya diciptakan oleh Lie Tjeng …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *