kebudayaan betawi – Silat Beksi Perkembangan dan Penyebarannya. Sebagaimana halnya dengan seni bela diri yang berasal dari berbagai daerah bahkan mancanegara dan mengalami penyebaran pengaruh dan pelestariannya di Indonesia yang meregenerasi, Silat Beksi atau maen pukulan Beksi pun mengalami perkembangan dan regenerasi walaupun diakui tak sepesat perkembangan ilmu beladiri mancanegara seperti Karate, Tae Kwon Do, Kung Fu atau seni beladiri lokal seperti Merpati Putih, Pagar Nusa, Tarung Drajat, Cikalong, Cimande dan lain sebagainya.
Tetapi pada zamannya, terutama sejak kemunculannya pada pertengahan abad 19 itu, secara perlahan Silat Beksi/maen pukulan Beksi menyebar keseluruh wilayah Batavia dan daerah sekitarnya serta mengalami perkembangan jurus dan variasi gerakan. Perkembangan dan penyebaran seni bela diri Beksi tak lepas dari peran dan jasa empat murid utama Ki Iban (Ki Jdan) yakni, Ki Ceng Ok (seorang peranakan Cina) dari kampung Dadap, Ki Tempang dan Ki Muna dari Kampung Rawa Lumpang, dan Ki Dalang Ji’ah dari Teluk Naga.
Dari sekian murid utamanya ini, yang paling terkemuka adalah Ki Ceng Ok yang memiliki paling banyak murid. Banyak pemuda Betawi dari berbagai daerah yang berguru kepadanya, seperti dari Kebayoran, Pasar Minggu, Parung, Kranggan, Cibarusah, Muaragembong, Pondok Benda, Cabang Bungin dan lain-lain. Dari Ki Ceng Oklah silat Beksi menyebar ke Jakarta. Dengan tangan dingin para murid Ki Ceng Ok, seperti Ki Marhali, Ki Buang, Ki Haji Gojali dan lainnya, tradisi silat Beksi dapat kita temui saat ini.
Untuk generasi pelestari silat Beksi sekarang, yang merupakan generasi kedelapan sejak Ki Iban menemukan aliran silat ini, mengenal tiga tokoh guru besar yang pada umumnya merupakan turunan murid-murid dari Ki Marhali. Empat tokoh guru besar silat Beksi yang dikenal oleh generasi Beksi saat ini adalah, Ki Hasbullah, dan Ki Noer, Ki Gozali, dan Ki Simin. Panggilan akrab ketiganya adalah Kong Hasbullah, Kong Simin dan Kong Noer.[1] Keempatnya adalah tokoh Beksi berasal dari kampung Petukangan, Pesanggerahan – Cipulir, Kebayoran Lama. Sementara itu murid Ki Ceng Ok yang lain yaitu Ki Buang mengembangkan Beksi didaerah Tangerang Utara. H. Atang yang merupakan narasumber asal-usul Beksi ini merupakan murid dari Ki Buang (generasi kedua Beksi setelah angkatan Ki Ceng Ok dan kawan-kawan). Jadi dalam hal ini H. Atang merupakan bagian dari generasi ketiga ilmu silat Beksi. Sementara itu murid Ki Jidan (Ki Iban) yang lain (saudara seperguruan Ki Ceng ok) yakni Ki Tempang dan Ki Muna kurang begitu jelas regenerasi keilmuannya, yang pasti penyebaran murid-murid dari kedua murid Ki Jidan (Ki Iban) ini berada di daerah pesisir dari Mauk hingga Pasar Ikan (Muara Karang). Sementara itu Ki Dalang Ji’ah adalah murid Ki Jidan (Ki Iban) yang merupakan tokoh perlawanan rakyat Tangerang terhadap kolonial Belanda. Bersama muridnya yang terkenal, yaitu seorang perempuan bernama Nyi Mas Melati. Mereka berdua (Ki Dalang Ji’ah dan Nyi Mas Melati) memimpin pemberontakan lokal terhadap penjajah Belanda di daerah Tangerang. Menurut keterangan dari H. Atang, pernah dalam satu ketika Nyi Mas Melati memimpin sekitar 40 orang pejuang bersenjatakan golok melawan serdadu Belanda yang bersenjata modern (senjata api) di sekitar areal Gedung Balaikota Tangerang saat ini. Dalam pertempuran tersebut Nyi Mas Melati tak terkalahkan, karena kepiawaiannya bersilat dan memainkan golok bertuahnya yang bernama “Si Denok”. Saat ini Ki Dalang Ji’ah dimakamkan di areal Taman Makam Pahlawan Tangerang dan nama Nyi Mas Melati diabadikan sebagai nama Gedung Dharmawanita dan menjadi nama salah satu jalan di sekitar gedung tersebut.
Pasca pemberontakan G 30 S PKI tahun 1966 kondisi kehidupan bermasyarakat masih labil. Trauma politik yang berdarah-darah ketika itu tidak mudah dilupakan begitu saja. Masyarakat masih saling curiga-mencurigai. Bahkan di antara sesama teman belum seratus persen blak-blakan, sebab kuatir teman sepermainannya adalah kader partai komunis. Itulah sebabnya di antara tokoh Beksi ada yang mengambil inisiatif untuk menyatukan kesamaan persepsi bagaimana seharusnya menghadapi perubahan zaman pasca G 30 S PKI. Adalah Dimroh (keponakan Kong Nur) memaparkan pendapatnya bahwa betapa baiknya jika murid-murid Kong Nur, Kong Jali, Kong Has, dan Kong Simin membentuk satu organisasi agar tidak terpengaruh provokasi selain mempererat tali silaturrahim. Maka sepakatlah tokoh-tokoh Beksi pada waktu itu membentuk organisasi yang diberi nama PS BKI (Persatuan Seni Silat Beksi Indonesia).
Dimroh mengharap PS BKI dapat berkiprah selain menjadi organisasi yang dapat mengayomi masyarakat tapi juga dapat menyebarkan Beksi ke seluruh penjuru Jakarta. Namun rupanya PS BKI tidak dapat bergerak lebih maju. Hal ini karena sumber daya manusia atau pemikir dan pemimpin roda organisasi masih lemah. Itu sebabnya PS BKI hanya berjalan di tempat untuk akhirnya vakum dan tidak terdengar lagi namanya.
Obsesi Dimroh menyatukan seluruh orang Beksi atau semua aliran maen pukulan Betawi masih belum pudar. Tahun 1981Dimroh mengumpulkan tokoh-tokoh Beksi, Kotek, dan Ronce untuk silaturrahim dan membicarakan masa depan maen pukulan Betawi. Hasil kongkrit silaturrahim itu dibentuknya organisasi silat dengan nama PS BKRI (Persatuan Seni Silat Beksi, Kotek, dan Ronce Indonesia). Dari rapat ke rapat dan dari pertemuan ke pertemuan, PS BKRI tidak juga maju-maju. Namanya dikenal terbatas pada lingkup walikota saja, yaitu walikota Jakarta Barat. Lagi-lagi kelemahannya terletak pada sumber daya manusia yang belum mampu mengantisipasi bagaimana seharus dan sebaiknya menangani organisasi. Dengan kata lain PS BKRI tidak bisa berkembang dan akhirnya dilupakan.
Di era kontemporer sekarang ini, perkembangan Beksi sudah mulai ditata sebagaimana layaknya organisasi seni beladiri modern. Penyebaran Beksi yang sporadis dan teknis pembelajaran yang terkesan spontanitas diorganisir sedemikian rupa menjadi suatu perguruan silat yang memang terstruktur dan teratur. Saat ini Beksi sebagai seni silat tradisional Betawi dan aliran ilmu silat yang cukup tua yang berada di wilayah Jakarta dan sekitarnya di pimpin oleh H. Agus A. Asenie, H. Nuorzaman Ishak, H. Machtum dan jajarannya yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda Betawi. [yahya Andi Saputra]
[1] Engkong adalah sebutan orang Betawi untuk panggilan terhadap kakek.