Oleh: Majayus Irone*
kebudayaan betawi – Seni Topeng Betawi Dalam Medium Kaca. “Hidup segan mati tak mau”, barangkali pepatah ini yang kini mewakili pemikiran dikepala kita ketika mendengar kata “seni topeng” serta rasa miris yang terus menyeruak dalam relung hati seniman dan panjak seni topeng secara umum, apalagi dimusim pandemic Covid 19 saat ini dimana semua tempat hiburan, hotel, mall dan café tutup total. Kemana lagi pegiat seni, panjak topeng mencari kehidupan, khususnya Seni Topeng Betawi. Bagaimana tidak, digemerlap dan riuh rendahnya kemajuan teknologi dan informatika, justru membuat seni topeng seakan tersudutkan dalam ruang dan dimensi waktu yang makin absurd.
Seni topeng yang diera 70-an hingga 80-an merupakan primadona hiburan bagi masyarakat urban, khususnya pinggiran Jakarta atau Bodetabek, kini nyaris tak terdengar lagi gemeretak suara gendang dan kecreknya yang ditingkahi suara rebab yang begitu khas dan selalu membangunkan gairah dan hasrat untuk segera sigrah pergi nonton meskipun topeng tersebut ditanggap orang hajatan diujung kampung. Berbondong-bondong penonton, tua muda, besar kecil, laki perempuan berbaur jadi satu dalam lautan manusia, ada yang berdiri, ada yang duduk deprok, ada yang manjat pohon, naik ke genteng, jejingke, selagi bisa apapun dilakukan demi melihat para pemain topeng berlagu di atas panggung. Puluhan stand dadakan penjual makanan khas kampung seperti lepet ketan, kue putu, kue cucur, onde-onde, sate kambing, ketupat cetrok, hingga mainan anak-anak banyak dijual disepanjang jalan menuju panggung hajatan itu. Tidak jarang pertunjukkan topeng tidak memakai panggung alias deprok di tanah. Suasana semacam itu sedep bener dan tidak ada duanya. Sebuah nostalgia langka,
khususnya bagi anda yang pernah hidup diera itu pasti ingat akan nostalgia tersebut.
Kesohornya Topeng Kacrit yang terbentuk sekitar tahun 1950-an yang dimotori lelaki tulen Bekasi bernama Kacrit, Topeng Kenjon, Topeng Nomir, dan muncul juga beberapa nama diseantero tanah betawi (Jakarta) seperti Topeng Setia Warga pimpinan H. Bokir – Nasir, Topeng Nirin Kumpul asuhan Haji Nirin, Kinang Putra Cisalak yang kemudian dari grup-grup topeng itu melahirkan nama-nama seniman besar seperti H. Bolot, Mak Nori, Malih Tongtong, Mandra, Madih, Maryati, Ucup Nirin, Mastur, Burhan, Hj.Tonah, Mpok Karlin, Maja dan lain-lainnya. Pemain topeng sekelas mereka begitu popular dan “nyohor” hingga selebar kampung, bahkan tidak sedikit yang juga sempat manggung di berbagai wilayah tanah air bahkan hingga ke luar negeri. Seni Topeng telah begitu menggeliat hebat menyaingi jenis seni yang lainnya. Dulu sekali.
Dan sekarang ketika media sosial semisal televisi, gadget, handpone, tablet, android serta lahirnya sejumlah server dan parabola, televisi kabel, semua hiburan berbayar, WhatApps, Instagram, Youtube, membuat seni topeng semakin terpojok dalam ruang yang gelap dan sempit. Ketika mendengar nama seni topeng, anak dan remaja sekarang seperti gatel telinga dan merasa risih. Apa sih seni topeng, norak banget iiihhhh??? Mereka kaum milenial lebih menyukai K-Pop, Rapp, Tiktok,Wesing, bahkan ngevlog. Mereka tidak menyadari padahal nilai seni budaya itu telah membesarkan dirinya, setidaknya sikap dan prilaku sederhana. Karena pada hakekatnya seni topeng adalah memainkan peran dengan topeng namun dengan keluguan dan orisinalitas yang berbanding terbalik dengan kehidupan sekarang bermainkan peran tanpa topeng namun penuh dengan topeng-topeng kepalsuan. Yah…seni topeng diambang kepunahan?! Jika tidak adalagi generasi yang peduli untuk melestarikan, memainkan, memerankan dan menghidupkannya kembali. Mengapa tidak, lahirnya media informatika yang canggih tentu saja membuat seniman topeng harus memacu kreativitas, seni topeng dapat disuguhkan dalam tabung kaca bernama televisi. Seni topeng dapat dikemas dalam balutan tayangan sinetron yang lebih modern, artistik, beralur-plot dengan script dan skenario, tata lampu yang abroi, tata panggung yang megah, serta sound music dan kostum yang fashionable…niscaya seni topeng akan membumi. Tengok saja Mak Nori (Almh) tetap eksis dalam berbagai program televisi, H. Bolot yang kebanjiran order, Nirin Kumpul (Alm) selalu hadir dalam sinetron dan yang paling up to date Ucup Nirin begitu fenomenal dengan gimik:”Gurih-gurih-gurih- enyoi” melahirkan sebuah single hits “Munaroh prepet prepet prepet” bersama Trio Ubur Ubur. Inilah seniman topeng yang merambah ke layar kaca, bermain dalam medium kaca bernama sinetron.
Sebuah pertanyaan klasik, tersediakah medium kaca lokal (TV Lokal) atau TV Nasional yang mau menampung aspirasi para seniman seni topeng? Padahal Jabodetabek sudah memiliki beberapa stasiun televisi dan stasiun radio. Tahapan kolaborasi dan kemitraan antara seniman dan pemilik serta perancang program televisi maupun siaran radio nampaknya dapat menjadi jembatan lurus yang dapat memuluskan program pelestarian sekaligus pengembangan Seni Topeng Betawi tetap eksis ditengah-tengah kemajuan kotanya sendiri. Jangan sampai terjadi pepatah: Ayam Mati di Lumbung Padi? Kemauan berimprovisasi, berkreativitas, berkolaborasi dengan kemajuan seyogyanya dimiliki oleh para seniman Topeng Betawi. Istilah kata, seniman topeng mampu mengawini kemajuan teknologi. Ditambah pula dengan perhatian serius dari Pemerintah, Dinas Pariwisata dan Budaya, Dewan Kesenian, Lembaga Kebudayaan, Seniman, Budayawan dan masyarakat untuk menjadi pemicu bangkitnya kemasyuran seni tradisional Topeng Betawi.
Seni Topeng tidak harus hijrah secara total meninggalkan sejatinya kesenian topeng itu sendiri, karena seni topeng memiliki pakem tersendiri. Namun dalam berimprovisasi kreatif tidak ada salahnya jika pertunjukkan seni topeng dikemas dalam balutan modernitas. Cerita seni topeng yang berisikan banyolan, lawakan, bodoran tetap saja dapat hidup dalam geliatnya perubahan dan peradaban. Seni topeng yang sederhana akan tetap hidup dalam hati masyarakat penikmatnya.*
*Majayus Irone, (Aki Maja ) adalah seorang Budayawan, Penulis Skenario dan Dosen, tinggal di Bekasi.