SARUNG DALAM EKSPRESI KESENIAN BETAWI (Bagian 1)
Lipet Gandes, Dokumentasi Lembaga Kebudayaan Betawi

SARUNG DALAM EKSPRESI KESENIAN BETAWI (Bagian 1)

SARUNG DALAM EKSPRESI KESENIAN BETAWI (Bagian 1) – Kedudukan Kota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyebabkan Jakarta dihuni oleh hampir semua etnik yang ada di Indonesia. Seluruh komponen budaya Nusantara hadir di Jakarta dan dalam penjabarannya terjadi pertumbuhan dan perkembangan budaya yang saling mempengaruhi bahkan dengan arus globalisasi yang tanpa batas. Sebagai unsur dari budaya nusantara, budaya Betawi tentu dapat terus lestari dalam lingkaran internalnya. Namun sebagai inti masyarakat Kota Jakarta, identitas etnik Betawi masih perlu dientaskan kembali di tengah masyarakat kota metropolitan. Dalam kaitan inilah perlu usaha-usaha edukasi budaya Betawi kepada komponen masyarakat Jakarta yang multikultur. Artikel ini mencoba mengambil posisi edukatif sekaligus upaya dokumentasi memori sehingga menjadi abadi.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia melakukan aktivitas interaksi antar individu dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Sistem yang yang memungkinkan dan mengatur pola interaksi warga dalam kehidupan masyarakat tersebut disebut pranata (institution). Pranata pada dasarnya merupakan sistem norma atau aturan mengenai aktivitas interaksi individu dalam masyarakat.

Dalam bahasa sehari-hari istilah pranata seringkali dikacaukan dengan lembaga (institute). Pranata merupakan sistem norma yang mengatur aktivitas interaksi dalam masyarakat, sedangkan lembaga merupakan badan atau organisasi yang menjalankan aktivitasnya. Misalnya sistem pendidikan merupakan pranata, sedangkan Madrasah Ibtidaiyah/SD, Madrasah Tsanawiyah/SMP, Madrasah Aliyah/SMA, dan Perguruan Tinggi merupakan lembaga pendidikan. Ada berbagai pranata dalam masyarakat, yang tentu sesuai dengan  kebutuhan dalam masyarakat yang bersangkutan. Ada pranata sosial, ekonomi, politik, pendidikan, bahasa, agama, kesenian dan sebagainya.

Kebudayaan pada dasarnya berisi sistem nilai yang menjadi pedoman hidup dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses belajar. Proses pewarisan nilai budaya ini berlangsung terus menerus, dari satu generasi ke genarasi. Orang tua mengajarkan kepada anaknya, anak akan mengajarkan kepada cucunya, dan seterusnya.

Nilai-nilai budaya yang mencakup norma-norma, adat-istidat, aturan-aturan dan sebagainya, serta perwujudannya pada  berbagai unsur kebudayaan, yang diwariskan dari generasi ke generasi inilah yang selanjutnya disebut sebagai tradisi. Tradisi pada dasarnya merupakan nilai-nilai, norma, aturan, adat-istiadat yang diwaiskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Ada berbagai macam tradisi yang hidup dalam masyarakat, misalnya tradisi yang berkaitan dengan upacara keagamaan, upacara kelahiran, upacara pernikahan, upacara kematian, pembangunan rumah, dan sebagainya.

Pranata dimaknai sebagai sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi beserta adat istiadat dan sistem norma yang mengaturnya, serta seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleksitas kebutuhan manusia dalam kehidupan. Pernyataan ini dapat ditunjukkan dengan ciri khas dari masyarakat Betawi yang kental akan nuansa agamis (Islam), berbusana khas Betawi, karya/kerajinan yang dihasilkan baik makanan maupun yang lain tetap mempunyai ciri khas Betawi, dan mencintai, memelihara serta mengekspresikan keseniannya.

Untuk menjaga tata kehidupan masyarakat, diperlukan sikap pemerintah dan semua pemangku kepentingan untuk membina dan melindungi, serta kesadaran untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai budaya masyarakat bersangkutan. Yang dimaksud dengan membina adalah kegiatan menggali dan memajukan budaya Betawi serta norma-norma adat istiadat dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Betawi. Sedangkan melindungi adalah kegiatan menyelamatkan budaya Betawi dari kepunahan akibat pergeseran nilai dan pengaruh budaya asing.

Karakteristik masyarakat Betawi tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang dimilikinya, antara lain : sistem kekerabatannya patrilineal, dengan keluarga batih sebagai kesatuan sosial yang terkecil. Sistem kemasyarakatannya mengandung pelapisan sosial di antara anggota masyarakat. Orang yang dipercaya dan diangkat menjadi pemimpin tentu orang yang memiliki kelebihan fisik dan mental. Makanya sejak dahulu orang alim diangkat sebagai pemimpin, dengan jenjang ustaz, muallim, guru, dan dato. Ada pula pemimpin informal yang memiliki kemampuan fisik sangat menonjol, disebut juga jago atau jagoan. Ini masih berlaku hingga saat ini, meski samar.

Pada masa kolonial penggolongan jabatan dan kedudukan masyarakat terdiri dari yang paling atas yakni pemerintah penjajahan Belanda, kemudian lapisan pegawai pemerintahan antara lain Pencalong (penguasa suatu wilayah), Mandor (penguasa suatu lingkungan tertentu), Merinyu (pembantu Mandor dalam keseharian), Juragan (pemilik harta benda melimpah yang disewakan kepada masyarakat), Kemetir (pemungut pajak atas pohon-pohon yang ditebang), rakyat/cacah. Sistem pelapisan sosial tersebut pada saat ini telah mengalami pergeseran nilai.

Agama atau kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Betawi adalah Agama Islam. Dengan demikian setiap aspek kehidupan orang Betawi selalu dikaitkan dengan Agama Islam. Empat hal yang merupakan pandangan hidup orang Betawi yang harus dilaksanakan yaitu “kalo waktu (sembahyang) ude dateng, sigra kerjain”; “kalo ada perjaka atawa  perawan yang baleg, jangan tunda kawinin”; “mayit buru-buru dikuburin”; “kalo ada tamu, buruan suguin pengetean”. (Bersambung Bagian 2)

Check Also

SARUNG DALAM EKSPRESI KESENIAN BETAWI (Bagian 3)

SARUNG DALAM EKSPRESI KESENIAN BETAWI (Bagian 3)

SARUNG DALAM EKSPRESI KESENIAN BETAWI (Bagian 3) – Membicarakan sarung dalam masyarakat Betawi sesungguhnya membicarakan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *