Oleh : Prof. Dr. Muhadjir
SASTRA TULIS MELAYU KLASIK BETAWI – Artikel ini mengungkapkan Sastra Betawi abad ke-sembilanbelas, sebagai salah satu aspek dari khazanah kebudayaan yang didaerahnya sendiri selama ini seolah-olah terpendam. Artikel ini pernah diterbitkan dalam buku “Bunga Rampai Sastra Betawi” tebitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta tahun 2002
Masyarakat yang sudah mantap sebagai kelompok suku, memiliki sejumiah kesenian yang hidup atau pernah hidup didalam masyarakatnya. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta misalnya dalam sensus penduduk mencatat sejumlah kesenian yang hidup di Jakarta, di antaranya juga kesenian asli Betawi.
Cabang kesenian yang hidup sebagai bagian dari kesenian Betawi tentu saja bermacam-macam: seni musik, seni tari, arsitektur, seni teater, dan seni sastra. Di antara sekian seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya adalah seni teater dan seni sastra. Seni teater yang kita kenal dengan nama Lenong, topeng, wayang, sahibul-hikayat, dan rancak menggunakan bahasa lisan sebagai medianya. Setelah bahasa Melayu mempunyai sistem ejaan dengan menggunakan huruf Arab, maka sekitar akhir abad kesembilan belas mulailah tumbuh seni sastra tulis. Tradisi sastra tulis huruf Arab terus berlanjut hingga mulai dikenal mesin cetak huruf Latin.
Untuk membedakan sastra dengan tulis huruf Arab atau dikenal juga dengan nama huruf Jawi dengan sastra cetak huruf Latin, sastra kelompok pertama kita sebut sastra naskah. Sebutan itu mengacu kepada semua bahan tulis yang dikerjakan dengan tangan, dan dalam arti yang sempit berarti sastra tulis huruf Jawi.
Di Jakarta, pada saat sastra cetak dengan huruf Latin belum menguasai dunia sastra, terdapat sejumlah naskah tulis tangan dengan huruf Arab, baik berupa karya asli, terjemahan maupun saduran dari berbagai karya sastra yang tersebar di Indonesia saat itu. Jenis sastra ini lazim disebut sastra naskah. Sastra naskah Betawi hadir bersama dengan sastra Melayu umum atau Melayu klasik seperti yang tumbuh di Selat Malaka, Riau, Aceh dan berbagai tempat lain yang menggunakan bahasa Betawi sebagai bahasa perantara di wilayahnya. Untuk memberi gambaran umum tentang perkembangan sastra naskah tersebut, berikut akan digambarkan secara singkat pertumbuhan sastra Melayu di Indonesia. (Bersambung)