BAKAR MERANG

GUYANG KAMBING DAN NYUCI TIKER

CERITA PUASA ANAK BETAWI

Pengantar

Ahlan wasahlan syahri Ramadan.

Bulan puasa ini, laman kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masala-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut buan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin, haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.

Salamat puasa. Raih predikat takwa.

GUYANG KAMBING DAN NYUCI TIKER

Pengalaman sehari-hari anak-anak Betawi yang tinggal di kawasan Betawi pinggir dengan yang di Betawi tengah tentu — mungkin — berbeda. Anak-anak Betawi pinggir, karena lingkungannya dominan agraris, maka intensitas kesehariannya pun didominasi kehidupan pertanian, perkebunan, dan petenakan.

Sebagai anak Betawi pinggir, saya hidup di tengah kebun, di galengan sawah, di pinggir empang, di deras bening air kali, atawa di atas cabang-cabang pohon. Di tempat-tempat itu saya tidak sendirian. Berame-rame aman teman sepantaran (sebaya). Kalaupun kacak, paling bangsa tiga atau empat tahunan. Ternak piaraan pun senantiasa ngintilin (mengikuti). Ya, karena beberapa ternak biasanya sudah tutut atau lulut. Kemana pun kita pergi selalu ngintilin.

Menjelang dua hari masuk bulan puasa, keseharian anak-anak Betawi pinggir akan makin heboh. Heboh karena memang tugas yang harus dikerjakan. Apa tugasnya? Macam-macam. Oleh Babe, saya ditugaskan ngangon kambing. Karena saya tukang angon kambing, maka menjelang puasa saya harus mencari empanan (pakan ternak baik rumput mauun dedaunan) jauh lebih banyak dan ditimbun untuk persiapan bulan puasa. Sebab bulan puasa biasanya kita diharuskan lebih lama berada di langgar (mushalla) untuk tadarus dan lain-lain. Setelah empanan tersedia untuk dua pekan, maka harus membersihkan kandang. Tai kambing bersama sampah sisa empanan dan aram (daun-daun kering) dimasukkan ke tabunan (lubang sampah) dan dibakar. Sampah yang dibakar di tabunan nantinya diangkat dijadikan sebagai penggemuk (pupuk kompos) untuk tanaman di kebun atau di sawah.

Empanan sudah najug (bertumpuk) dan kandang sudah bersih, tibalah saatnya membersihkan penghuni kandang. Penghuni kandang yaitu kambing harus pula dibersihkan. Maka untuk membersihkannya, kambing digiring menuju kali (sungai) untuk dimandiin (dimandikan). Mandiin disebut juga dengan guyang. Mandiin kambing sama dengan guyang kambing. Ente bisa bayangin, kambing kan enggak suka ama aer, tentu faktor kesulitannya tinggi. Saya pernah guyang kambing sampai 15 ekor, karena memang milik kami jumlahnya segitu.

Guyang Kambing

Guyang kambing tentu enggak sendirian. Teman-teman lain yang juga punya piaraan kambing, bersama-sama ngegiring kambing ke kali untuk diguyang. Saya ingat teman-teman yang bersama ngangon dan guyang kambing, antara lain Basir (almarhum), Romlih, Samsuri, Serik, Daroh, Muroh, Gepeng, dan Mahadi. Bianya guyang kambing pagi sekitar pukul 10. Agar siangnya kambing bisa dijemur sehingga sorenya sudah segar, enggak kedinginan. Kambing itu kita tuntun masuk ke kali (kalinya Kali Grogol, sekarang kawasan ini menjadi lapangan golf Pondok Indah) dan satu-satu kami guyang. Digosok dengan sabun batangan. Ketika masih miara kerbau dan sapi, saya pun pernah guyang kebo dan sampi. Singkatnya, bulan puasa enggak ada tempat dan piaraan yang kotor, semua kudu dibersihkan.

Kegiatan heboh lainnya adalah kerja bakti membersihkan langgar dan masjid. Ini kerja kolektif yang melibatkan hampir semua warga di sekitar. Semua sisi paling tersembunyi di langgar atau masjid dibersihkan. Tempat ngambil aer sembayang (wudhu) dan terutama tempat kencing dan tempat BAB atau water closet (WC), menjadi kinclong dan harum. Enggak bau jengkol atau lumutan (berlumut).

Anak-anak paling girang ketika harus membersihkan tikar. Dahulu semua langgar atau masjid memakai tikar (baik berbahan pandan disebut tikar pandan, maupun rumput lingi disebut tikar lingi) sebagai alas untuk sembahyang. Baru era 1980-an langgar dan masjid di kampung mengenal dan memakai karpet.

Kegiatan membersihkan tikar (juga kemudian karpet) disebut nyuci tiker. Semua orang memegang selembar tikar dan bersama-sama dibawa berèrod (beriringan) ke kali. Tiap orang yang memegang tikar turun ke kali dan mencuci tikar itu sampai bersih. Seteah dicuci dijemur di sekitar sawah, baik dengan digelar atau pun dijembreng dan disangkutin di batang-batang pohon. Sesudah asar tikar itu diangkatin dan digelar kembali di langgar atau masjid. Sudah enggak bau prengus. Semua harus. Singkat kata, puasa adalah bersih, menjadi putih, hawa jadi harum.

Ape ente ngalamin? (Yahya Andi Saputra)

Check Also

TRADISI HANTARAN

TRADISI HANTARAN

Oleh Yahya Andi Saputra (Lembaga Kebudayaan Betawi) Dalam tradisi Betawi, dikenal kebiasaan hantaran, yaitu mengantar …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *