Nama sebenarnya Ismail, ayahnya bernama Marzuki, lengkapnya menjadi Ismail Marzuki, atau Ismail MZ. Sehari-hari biasa dipanggil Ma’ing adakalanya Bang Ma’ing atau Pak Ma’il.
Ia dilahirkan di kampung Kwitang pada 11 Mei 1914. Tiga bulan setelah ia lahir, ibunya wafat. Selanjutnya ia dirawat oleh kakak perempuannya yang berbeda usia 12 tahun. Bapak Marzuki empunyai empat orang anak : Yusuf, Ya’kub, Anie Hamimah (1903 – 1982) dan Ismail (1914 – 1958). Yusuf dan Ya’kub meninggal ketika kecil.
Ismail sekolah di HIS Idenburg di Menteng sampai tamah kelas 7. Lalu melanjutkan ke MULO di Jl. Menjangan Jakarta. Sebagai anak Kwitang, ia juga digembleng pendidikan agama pada Madrasah Unwanul Wustha. Setelah lulus dan memperoleh ijazah dan dapat berbahasa Belanda dan Inggris dengan fasih, ia dengan mudah diterima bekerja pada Socony Service Station di Java Weg (sekarang Jl. Cokroaminoto) dengan jabatan cukup baik : kasir. Karena tidak cocok dengan pimpinan, ia tidak bertahan lama bekerja di situ. Ia pindah tempat kerja, kali ini di perusahaan dagang K.K. Knies di Noordwijk (sekarang Jl. Ir. H. Juanda). Perusahaan ini menjual alat-alat musik dan merekam piringan hitam merk Polydor. Ismail tampaknya senang sekali bekerja di sini, karena seperti kata pepatah “Ikan masuk ke dalam air”.
Sejak kanak-kanak ia sudah asyik dengan lagu-lagu. Di rumahnya ada gramophone (mesin ngomong) dengan persediaan piringan hitam cukup banyak. Ada lagu kroncong, gambang kromong, gambus, dan aneka ragam lainnya; dan tidak kurang-kurang lagu Barat yang ia beli sendiri dari uang sakunya. Yang paling disenangi lagu dari Perancis dan Italia, atau lagu irama rumba, samba, tango, dan sebagainya. Selesai satu lagu, putar lagi lagu lain, begitulah seterusnya, ia sanggup berjam-jam di depan gramophone. Dan ia selalu bersiul atau menyanyi di kamar mandi, hingga tidak mengenal waktu. Seringkali teman-temannya datang, ramai ngobrol panjang lebar di rumahnya, membahas suatu lagu yang baru saja didengar.
Sejak duduk di bangku MULO ia sudah ikut klub musik untuk menyalurkan hobbynya. Sebagai anak band, ia memegang alat petik banyo ala Dixiland. Saat itu sedang populer lagu Rio Rita, Sweet Yanet Lea, Alexander Ragtime Band, Merry Go Round. Setamat MULO, ia makin giat berlatih musik dan menyanyi.
Sejak remaja Bang Ma’ing memang necis, bersih, berpakaian rapi; perlente, kata orang Betawi. Kalau sore hari ia keliling kota dengan motor kebanggaannya merk Ariel buatan England. Baju seterikaannya tidak patah, sepatu berkilat, tidak lebas dasi; sampai ada kawan yang mengolok “Si Ma’il cuma mandi dan tidur mencopot dasinya”.
Pada 1936 Ismail masuk perkumpulan orkes Lief Java, pimpinan Hugo Dumas. Di sinilah ia dapat mengembangkan bakatnya secara intensif. Kreativitasnya luar biasa dalam mengaransir lagu, baik lagu Barat, kroncong, langgam Melayu. Ia adalah orang pertama yang memperkenalkan instrumen akordeon ke dalam langgam Melayu sebagai pengganti harmonium pompa. Tetapi orang lebih mengenal Bang Ma’ing sebagai penyanyi daripada pemain akordeon, gitar, atau sexophone. Dalam Lief Java inilah ia memulai karier sebagai pemusik, penyanyi, dan penggubah lagu. Tempat latihannya di rumah keluarga Abdullah di kampung Kepu Gang V Kemayoran. Kawan-kawannya di Lief Java antara lain : Louis Koch, Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan lain-lain.
Melalui Lief Java Ismail mendapat peluang ikut main dalam siara NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappy) yang berdiri sejak 1934. Sejak itu ia tidak pernah meninggalkan dunia radio dengan kegiatan utamanya mengaransir lagu dan terkadang menerjemahkan lagu-lagu barat ke dalam bahasa Indonesia. Lahirlah karya pertamanya berjudul Oh, Sarinah.
Karena desakan pendengar, Lief Java pun membawakan lagu-lagu Hawaii, irama Lautan Teduh. Maka Lief Java membentuk Band Hawaian : Sweet Java Inlander, dengan personil Ismail, Victor Tobing, Hasan basri, Pak De Rosario, dan Hardjomuljo.
Tahun 1937 karya Ismail mulai direkan pada piringan hitam merk Polidor. Ia meneken kontran dengan perusahaan K.K. Knies dan Odeon. Lagu pertama yang direkan adalah : Oh, Sarinah, Ali Baba Rumba, Olhe Lheu Di Kotaraja, Ya Aini, Kore-Korena. Masternya dibuat di Jakarta dan diperbanyak di Singapura. Lagu-lagu itu sangat digemari, khususnya para ABG.
Tahun 1938 untuk pertama kali Bang Ma’ing mengisi suara (dubbing) dalam adegan film Terang Bulan yang diperankan Rd. Muchtar dalam lagu Duduk Termenung, karena sang bintang tidak sanggup menyanyikan lagu tersebut. Sungguh luar biasa, suaranya panjang mengalun merdu. Dalam film ini Ismail membawakan tiga lagu. Pemutaran perdana Terang Bulan di Rex Theatre, Kramat. Berjejal penonton menyerbu biaoskop, sampai seolah-olah gedung bioskop mau pecah.
Sukses besar film Terang Bulan – beredar pula di Singapura dan Malaka (Malaysia) – adalah gerbang utama mengunjungi negeri orang; dengan datangnya undang bagi Lief Java mengadakan tour musik ke seluruh kota Straits Settlement. Setelah kontrak ditandatangani, pada 16 Juli 1938 berangkatlah Terang Bulan Party menuju Singapura. Rombongan ini adalah gabungan Lief Java dan Sweet Java Inlander dikomandani Hugo Dumas. Kota yang dikunjungi adalah Singapura, Johor, Melaka, Negeri Sembilan, Kuala Lumpur, Ipoh, Kedah dan Perlis. Agustus 1938 rombongan kembali ke tanah air.
Ismail sebagai penyanyi, pemain saxophon (akordeon), juga pandai melawak. Kalau Lief Java siaran di radio, banyak orang menantikan lawakan Bang Ma’ing, yang kebanyakan lawakannya disampaikan dalam bahasa Belanda.
Ismail kian cemerlang ketika datang tawaran dari NIROM untuk memimpin Studio Orkes Ketimuran yang berpusat di Bandung. Setiap acara pergelaran orkes pimpinan Ismail melalui studio Bandung selalu mendapat simpati, perhatian dan sambutan dari pendengar. Ini karena lagu-lagunya menarik, mudah diikuti. Salah satu lagu hits Ismail ialah Als De Orchedeeen Bloeien diciptakan tahun 1939. Lagu ini tidak hanya digandrungi orang pribumi tapi juga masyarakat Belanda. Saking terkenalnya Als De Orchedeeen Bloeien perusahaan piringan hitam His Master Voice yang bermarkas di Singapura datang ke Bandung untuk merekam lagu itu. Tidak hanya sukses di Singapura, radio Hilversum (Nederland) pun setiap hari menyiarkan lagu Als De Orchedeeen Bloeien atas permintaan pendengar. Maka Als De Orchedeeen Bloeien telah melampaui batas tanah air.
Orkes Studio Nirom Bandung tidak bertahan lama. Ini lantaran terjadi perselisihan antara pimpinan dan bawahan. Sebelum genap dua tahun di NIROM Bandung, Ismail berhenti yang kemudian diikuti teman-temannya.
Pada 1940 Bang Ma’ing kembali bergabung dengan Lief Java yang kini krunya menjadi 30 orang termasuk penyanyi. Rombongan ini kemudian mengadakan tour keliling Kalimantan atas inisiatif orang Kalimantan asli, Mas’ud Pandji Anom. Selain mempertunjukkan kebolehan di istana Sultan Pontianak, dikunjungi pula pedalaman Kalimantan seperti : Mempawah, Singkawang, Pemangkat dan Sambas.
Sepulang dari tournee dari Kalimantan, Ismail menikah dengan seorang biduanita kroncong dan penembang lagu Sunda kelahiran Bandung bernama Eulis binti Empi. Setelah kawin Ismail memberi tambahan nama istrinya dengan Zuraidah, sehingga terkenal :Eulis Zuraidah.
Zaman pendudukan Jepang, semua struktur organisasi dirombak. NIROM menjadi Hoso KanriI Kyoku di bawah naungan Kaimin Bunka Shidosho dipimpin Prof. Ida Nabuo. Lief Java diganti menjadi Kireina Djawa. Atas permintaan Prof. Ida Nabuo, Ismail mengisi lowongan di pemancar Radio Hoso Kyoku.
Meski diperintah Jepang, Ismail tetap mencipta. Tentu ciptaannya sesuai dengan jiwa zaman. Jika Jepang menyukai bunga Sakura, Indonesia bunga melati. Maka lahirlah lagu Kalau Melati Mekar Setangkai, Melati Kesuma, Kembang Rampai Dari Bali, dan lain-lain.
Pendudukan Tentara Jepang ternyata lebih kejam dari Penjajahan Belanda. Ismail menyadari hal ini. Dengan caranya sendiri ia melakukan perlawanan. Digubahlah lagu Bisikan Tanah Air dan Indonesia Tanah Pusaka. Ketika lagu-lagu itu disiarkan, Ismail dipanggil Kempeitai dimintai penjelasan mengenai lagu ciptaannya. Ismail tak gentar. Ia ciptakan lagu yang menggugah semangat berjuang yaitu mars Gagah Perwira. Ia juga ditemani komponis, Cornel Simanjuntak, yang menciptakan lagu Maju Tak Gentar dan Bagimu Negri. Tahun 1944 Ismail menciptakan lagu Rayuan Pulau Kelapa yang menggemparkan itu.
Pada 17 Agustus 1945 proklamasi diikrarkan. Terjadi perebutan kekuasaan, tak tekecuali pemancar radio yang memang sangat vital. Pada 9 September 1945 Radio Republik Indonesia didirikan. Atas permintaan Kepala Studio RRI Joesoef Rododipuro, Ismail Marzuki membentuk dan memimpin kelompok musik kwartet : Empat Sekawan, terdiri dari Saleh Soewito (gitar), Ishak (bas), Jahja (biola) dan Ariston da Cruz (piano).
Empat Sekawan makin digemari baik rakyat umum maupun pejuang (di dalam kota maupun pedalaman), sebab lagu-lagunya membangkitkan semangat membela tanah air.
Dengan membonceng Tentara Sekutu, Belanda kembali ingin menjajah Indonesia. RRI Jakarta direbut Belanda. Namanya diganti RORI (Radio Omroep in Overgangstijd). Kantor RRI pindah ke Solo. Ismail Marzuki mogok, tidak sudi bekerja pada Belanda/Nica. Empat Sekawan dibubarkan. Dalam masa mogok, Ismail membuka kursus bahasa Inggris di rumahnya. Sedangkan istrinya berdagang gado-gado, mie goreng, dan asinan. Meski Nica mengirim utusan untuk menarik kembali Ismail dengan iming-iming gaji besar dan sebuah mobil, ia tetap menolak kerjasama dengan Belanda.
Jakarta kian tidak aman dan menjadi kota teror. Ismail beserta keluarga angkat kaki menuju Bandung. Ia tinggalkan rumah dan segal-galanya. Pada 1946 Belanda melancarkan serangan ke pedalaman. Bandung diserbu sehingga menyerupai lautan api. Ismail dan keluarga kembali mengungsi ke Dayeuh Kolot, lalu ke kaki gunung Patuha, Cidiwey, Bandung Selatan. Dari kondisi kritis itu, Ismail menciptakan Halo-Halo Bandung.
Pada 28 Desember 1949 di Istana Negara dilakukan penurunan bendera Belanda diganti dengan pengibaran Sang Dwi Warna. Rakyat dan para pejuang (TNI dan lasykar) kembali ke Jakarta. Keluarga Ismail pun kembali ke Jakarta. RRI dikembalikan kepada Pemerintah RI dan Belanda angkat kaki.
Suatu hari datang dua tokoh RRI, Joesoef Ronodipuro dan Adang Kadarusman ke rumah Ismail untuk mengajak Ismail bekerja kembali di RRI. Ismail kembali bekerja di RRI. Ia mengerahkan segenap tenaganya, menghimpun beberapa puluh pemain musik untuk membentuk orkes radio besar, bernama Orkes Studio Jakarta. Ismail benar-benar sebagai komponis yang produktif dan kian terkenal.
Pada pmilihan Bintang radio tahun 1951 Ismail duduk sebagai anggota Dewan Juri. Ia banyak banyak memberikan petunjuk yang berharga. Ia mengurus musik, memilih lagu wajib, mengamati latihan, mengawasi dekorasi dan harus meneliti jalannya perlombaan. Hal itu membuat ia melupakan kesehatan dirinya. Selesai lomba dengan sukses besar, Ismail Marzuki jatuh sakit karena kelelahan. Setelah agak sehat, kembali ia berkutat menciptakan lagu. Tengah malam tatkala alam hening sunyi dan manusia tidur lelap, Ismail sedang asyik menciptakan lagu.
Pertengahan 1956 Ismail sakit lagi. Batuk beruntun sampai ia terbungkuk. Penyakit ini sangat menyiksa, ditambah lagi penderitaan sakit telinga sebelah kiri, tidak bisa mendengar sama sekali.
Gubahannya yang terakhir berirama walts diterima RRI tanggal 13 Desember 1957, berjudul Inikah Bahagia?. Sebenarnya sesudah lagu itu ada sebuah lagu lagi namun belum selesai. Sebulan lebih ia berusaha, tetapi selalu gagal. Ia telah berhasil menciptakan lagu sebanyak 202 judul.
Kiranya bulan Mei membawa riwayat bagi Ismail Marzuki, karena bukan saja ia dilahirkan (11 Mei 191) tapi juga ia dijemput Allah SWT tepat 25 Mei 1958. Ia menutup mata pada usia 44 tahun. Indonesia kehilangan seorang komponis besar yang sukar dicari penggantinya sampai saat ini. (Yahya Andi Saputra)