Ismail Marzuki, biasa disapa Bang Maing, merupakan aset Betawi dan Indonesia tak terhingga. Ia seniman dahsyat dan trendsetter pada zamannya. Rentang usia hidup yang 44 tahun, benar-benar dimanfaatkannya untuk kemaslahatan tanah air, bangsa dan negara. Ia berhasil menciptakan tak kurang dari 202 lagu dalam berbagai jenis musik. Lahir di kampung Kwitang pada 11 Mei 1914, wafat 25 Mei 1958. Tahun 2004 ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional RI.
Namun hingga 53 tahun dari hari kematiaanya, masih banyak orang tidak suka, iri dengki, dan tak menyukai kiprah dan keunggulan Bang Maing. Beliau dikatakan tukang jiplak bahkan lebih sadis dikatakan maling (baca Kompas, Minggu, 6 September 2009). Sungguh suatu kesirikan dan kedengkian tak temaafkan. Mari kita tengok fakta yang sebenarnya.
Pada suatu masa (tahun 1930-an) di Hindia Belanda trend musik gandrung dengan syair bilingual. Kita sebut salah satu misalnya, Te Ver Van Jou yang secara leterlijk Amat Jauh Darimu dimelayukan (extra Melayu) menjadi Malam Hari. Rekaman terakhir duet Roselanie (versi Belanda) dan Bram Aceh (versi Melayu). Masih banyak lagu yang syairnya bilingual. Maka ketika itu ada penulis syair Melayu yang diketahui, semisal, Ismail Marzuki, tapi lebih banyak lagi yang tidak diketahui. Mereka berkarya menurut hati nurani bukan untuk menonjolkan atau menyombongkan kemampuan kreativitasnya.
Ada yang mengatakan seraya meremehkan dan meragukan Markas Besar Angkatan Darat RI. Orang itu mencibir MBAD bahwa pada 1971 mendapat malu besar lantaran memberikan penghargaan kepada Ismail Marzuki. Menurut saya (YAS – red.), tentu saja MBAD menempuh langkah paling benar dalam pemberian penghargaan kepada Ismail Marzuki itu. Patriotisme dan nasionalisme menjadi amat penting. Pada piagam penghargaan itu Brigadir Jenderal TNI Soerjadi, selaku Direktur Direktorat Perhubungan Markas Besar Angkatan Darat, dengan jelas menandatangani naskah berbunyi ”Terima kasih kepada Bapak Ismail Marzuki untuk segala sumbangan tenaga, moril dan materil, dalam rangka perekaman dan pembuatan piringan hitam lagu-lagu: 1. Mars Perhubungan Angkatan Darat; 2. Mars Kartika Chandra Kirana; 3. Mars Selamat Datang Pahlawan Muda; 4. Auld Lang Syne. Semoga kerja sama yang baik ini menjadi kenangan dan ikatan bathin dalam mengabdikan diri pada Nusa dan bangsa”.
Dalam naskah piagam penghargaan itu tak ada kata yang menyatakan bahwa Ismail Marzuki sebagai komponis yang mencipta lagu Auld Lang Syne dan tiga lagu lainnya. Auld Lang Syne adalah sebuah puisi karya Robert Burns, meskipun ada pula puisi serupa oleh Robert Ayton (1570-1638). Bahkan ada pula lagu-lagu rakyat yang lebih tua, yang menggunakan frasa serupa dan yang mungkin telah mengilhami Burns.
Belum pernah ada keterangan dari pihak keluarga Ismail Marzuki yang menyatakan bahwa Ismail Marzuki menggubah Als De Orchideen Bloeien. Tapi syair bahasa Indonesia Bunga Anggrek Mulai Timbul memang dia yang menciptakan. Begitu juga dengan lagu Dark Eyes tak pernah Ismail mengakui sebagi ciptaannya. Namun syair berbahsa Sunda, Panon Hideung, diciptakan oleh Ismail Marzuki. Jika itu pun terjadi, kemungkinan besar atas kekhilapan para pencatat semasa atau terkemudian, yang secara sepihak mencatatnya sebagai karya Ismail Marzuki.
Als de orchideen bloeien,
kom dan toch terug bij mij.
Nogmaals wil ik met je wezen,
zoveel leed is dan voorbij.
Als de orchideen bloein,
ween ik haast van liefdes smart.
Want ik kan niet bij je wezen,
g’lijk weleer, mijn lieve schat.
Reff :
Maar nu been je van een ander.
Voorbij is de romantiek.
Kom toch terug bij mij weder.
Jou wergeten kan ik niet.
Als de orchideen bloeien,
dan denk ik terug aan jou.
Denk toen aan die zoete tijden,
toen je zei: Ik hou van jou.
Presiden Soekarno pun tak luput dipersalahkan dan dihujat ketika pada tahun 1961 memberikan Piagam Widjajakusuma kepada Ismail Marzuki. Dalam piagam itu disebutkan bahwa lagu Hallo-Hallo Bandung adalah ciptaan Ismail Marzuki. Piagam Wijayakusuma itu justru pengakuan yang cukup akurat dan paling kredibel bahwa Ismail Marzuki benar-benar pencipta syair Hallo-Hallo Bandung. Tak ada bukti bahwa ada pencipta lain selain Ismail Marzuki. Bagi saya, orng yang menista dan menghujat adalah orang yang tak punya nasionalisme, tak punya harga diri bahkan ada dirinya sendiri.
Lagu Hallo-Hallo Bandung diciptakan Ismail Marzuki di Bandung, ketika beliau bersama istrinya harus mengungsi ke Dayeuh Kolot, lalu ke kaki Gunung Patuha, Ciwidey, Bandung Selatan. Ia tinggalkan rumah dan segal-galanya. Tepatnya pada 24 Maret 1946 setelah terjadi peristiwa yang amat mengenaskan bagi bangsa, terutama masyarakat Bandung Selatan. Ketika itu Kota Bandung terpaksa dibumi hanguskan oleh pejuang-pejuang kita. Tentu saja mereka bukan hendak menghancurkan pertahanan sendiri, melainkan bersiasat agar kota Bandung tak jatuh ke tangan musuh. Para pejuang mengatur siasat membumi hanguskan wilayah kota. Peristiwa ini dikenal dengan Bandung Lautan Api. Atas dasar peristiwa itu, Ismail Marzuki menciptaan Hallo-Hallo Bandung. Kemampuan Ismail Marzuki tak diragukan karena bukankah sejak jaman Pendudukan Jepang beliau memang kerap menciptakan lagu perjuangan?
Pendudukan Tentara Jepang ternyata lebih kejam dari Penjajahan Belanda. Ismail menyadari hal ini. Dengan caranya sendiri ia melakukan perlawanan. Digubahlah lagu Bisikan Tanah Air dan Indonesia Tanah Pusaka. Ketika lagu-lagu itu disiarkan, Ismail dipanggil Kempeitai dimintai penjelasan mengenai lagu ciptaannya. Ismail tak gentar. Ia pun menciptakan lagu yang menggugah semangat berjuang yaitu mars Gagah Perwira. Ditemani komponis, Cornel Simanjuntak, ia juga menciptakan lagu Maju Tak Gentar dan Bagimu Negri. Tahun 1944 Ismail menciptakan lagu Rayuan Pulau Kelapa yang menggemparkan itu.
Tentu saja kemudian Hallo-Hallo Bandung menjadi hit di medan perang. Anak-anak sampai kakek-kakek menyanyikannya dengan semangat. Bahkan kemudian muncul beberapa versi Hallo-Hallo Bandung, seperti ”Hallo-Hallo Jakarta”, ”Hallo-Hallo Semarang”. ”Hallo-Hallo Surabaya”, ”Hallo-Hallo Banten”, dan sebagainya. Tak pelak Hallo-Hallo Bandung benar-benar menjadi inspirasi.
Ismail Marzuki tak mencipta lagu sekadar mencipta saja, tapi betul-betul disesuaikan dengan waktu, kebutuhan serta kondisi kemasyarakatan. Oleh karena itu, lagu-lagu Ismail Marzuki terus mengikuti tahap-tahap perjuangan bangsa; dimulai dari masa menjelang proklamasi, disusul masa pertempuran yang terjadi di seluruh penjuru tanah air. Masa-masa yang sangat memilukan hati dimana puluhan sampai ratusan ribu pahlawan maupun rakyat gugur sebagai kesuma bangsa.
Dalam pandangan saya, seniman masa lalu lebih mempunyai akhlak ketimbang mementingkan diri sendiri. Mereka tak mau sembarangan menempuh jalan pintas dengan menjiplak hasil ciptaan orang lain atau hasil kreasi milik publik yang sudah turun-temurun hidup dan bertahan di masyarakat.
Seniman masa lalu apa adanya. Mereka tak suka nyaplok dan maling karya orang lain. Ada misalnya lagu Jakarta Gembira sampai saat ini masih tetap tak bertuan. Lagu ini diperkirakan dirilis tahun 1930-an dan populer pada 1948 tatkala dinyanyikan oleh Hussein Alaydrus. Dari informasi yang amat minim, konon lagu ini digubah oleh seorang pangeran dari Johor. Syair lagu Jakarta Gemira sebagai berikut,
Kalau Tuan tamasya ke tanah Jawa
Jangan lupa mampir dulu di Jakarta
Jakarta kota raya yang istimewa
Ramai orang pergi dan datang
Pancoran pusat dagang dan Pasar Baru
Semua barang-barang ada di situ
Belanja rupa-rupa ini dan itu
Ramai orang beribu-ribu
Riang serta gembira
Kota Jakarta permata tanah Jawa
Malam, pagi dan petang
Semua orang sama pergi dan datang
Saya menangkap ada unsur pelecehan dan penghinaan terhadap seniman musik masa lalu (khususnya Ismail Marzuki) dengan penistaan dan pelabelan penjiplak dan maling atas dirinya. Saya anggap sikap seperti itu sangat merugikan posisi negara kita manakala dihubungkan dengan kisruh dan klaim-klaim negara tetangga atas instrumen kekayan seni budaya kita.
Ketika lagu Tak Gendong melejit menjadi lagu populer, maka penyanyinya dipuja setinggi langit. Pemujaan itu dikaitkan dengan perjuangannya yang sangat jauh dari mulus. Bahkan ketika ia wafat, tak urung semua media menggungkap dan mengelu-elukannya sebagai seniman sukses. Padahal saya mencurigai ia menjiplak lagu barat karya Billy Voughn, Rounchy, yang populer tahun 1960-an. Lagu ini kemudian menjadi theme song dalam salah satu film yang menceritakan perburuan gajah di belantara Afrika.
Raunchy adalah judul lagu rock Amerika, semula direkam dan dirilis oleh Bill Justis and His Band dari Memphis, Tennessee, USA dan menjadi lagu terpopuler pada 1957. Bill Justis memainkan saxophone dan Sid Manker memainkan guitar. Lagu instrumental itu makin populer setelah dimainkan oleh Billy Vaughn and His Orchestra (1958) dan Ernie Freeman dalam tahun yang sama. Kemudian Raunchy direkam dan dirilis pula oleh banyak group band terkenal seperti The Ventures (1963), Bill Black, Tom and Jerry, Al Caiola, Billy Strange dan lain-lain (berbagai sumber).
Seyogyanya ada kearifan memandang seniman masa lalu yang hidupnya bukan sekadar mencipta karya seni, namun lebih kepada cinta tanah air dan memuliakan martabat bangsa. Selebihnya, hanya Allah SWT yang maha mengetahui segala sesuatunya. (Yahya Andi Saputra)