Site icon kebudayaanbetawi.com

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Oleh Yahya Andi Saputra

 

Tukang sulap menjadi kalap,

Jalan gelap pasang pelita,

Mohon maaf berjuta maaf,

Saya mencoba menyusun kata

  

Mukaddimah

Wilayah kebudayaan Betawi meliputi daerah di mana terdapat kelompok orang Betawi berdiam. Di wilayah tempatnya berdiam itu  mereka bercakap-cakap dalam bahasa Betawi.

Jadi, kini Orang  Betawi  bertempat tinggal menyebar di tiga provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Banten (Kota dan Kabupaten Tangerang),  dan Jawa Barat (Kota dan Kabupaten Bekasi, Kota dan Kabupaten Karawang, Kota Depok, dan Kabupaten Bogor). Orang Betawi berdasarkan statistik BPS tahun 2010 merupakan penduduk kedua terbesar (27%) setelah Jawa (32%).

Pasca meletusnya reformasi, orang Betawi terbawa arus euforia kebebasan berekspresi. Hura-hura politik itu dimanfaatkan untuk bangkit mempertegas jatidirinya. Maka bermunculanlah organisai kemasyarakatan Betawi — yang semula hanya 22 ormas — menjadi menjadi 114. Semua ormas itu mencantumkan nama Betawi. Berdasarkan data statistik dan bertumbuhnya ormas kebetawian,  jika dikaitkan dengan pengguna Bahasa Betawi, maka jumlahnya cukup besar.

Bahasa Betawi

Bahasa Betawi adalah kata atau sekumpulan kata yang digunakan orang Betawi sebagai alat komunikasi baik dalam suasana resmi maupun tidak resmi. Bahasa Betawi merupakan bagian dari Bahasa Melayu.

Mengingat orang Betawi mendiami kawasan kultural Betawi, maka sudah tentu ada perbedaan cara pakai dan ucap kebahasaannya. Dikenallah kemudian beberapa dialek Betawi yang disesuaikan dengan tempat tinggal tersebut, yaitu dialek Betawi pesisir, tengah, dan pinggir/udik/ora. Mereka inilah yang secara turun-temurun dan  tradisioanal menggunakan Bahasa Betawi sebagai bahasa ibu, selain juga sarana ekspresi berbagai jenis kesenian.

Akan tetapi Jakarta yang berfungsi sebagai ibukota negara menjadi dambaan suku lain dari seluruh nusantara untuk merubah taraf hidupnya. Menyerbulah mereka ke Jakarta dan berinteraksi dengan suku-suku lain. Intensitas interaksi suku nusantara ini pada saatnya mempengaruhi pola berbahasa mereka.

Pada 1970an, bisa jadi lebih awal lagi, berkembang apa yang disebut C.D. Grijns sebagai “bahasa Jakarta modern” atau “bahasa Melayu-Jakarta modern” menurut Stephen Wallace di kalangan anak-anak Jakarta. Sebuah bahasa yang merupakan semacam metamorfosis dari bahasa Betawi, yang bagi Wallace merupakan ragam “daerah tengahan” antara bahas Melayu-Jakarta tradisional dan bahasa Indonesia. Kata Tuan Wallace, “Terutama di kalangan anak-anak muda… Melayu-Jakarta modern telah menjadi dialek yang dipakai meluas dengan konotasi mengikuti mode, menyenangkan, baru, dan berbau metropolitan.”

Inilah bahasa yang tumbuh karena proses modernisasi Jakarta menjadi metropolitan. Bahasa yang dipakai oleh anak-anak yang lahir dan besar di Jakarta, dari keluarga Betawi maupun bukan Betawi. Itulah bahasa yang dipakai anak-anak Jakarta yang bukan lahir dan besar di lingkungan Betawi Rawabelong, Tenabang, dan lain sebagainya, tetapi di kalangan kaum terpelajar, di kawasan Menteng, di radio segmen anak muda, di medoa televisi, di kalangan grup lawak, standup comedy, dan sebagainya. Bahasa anak Jakarta yang terkadang menggelikan di telinga karena dilafalkan dengan lidah yang belum sepenuhnya lentur, masih ada aksen daerah tertentu, Jawa misalnya.

Sementara anak-anak Betawi generasi berikutnya, yang mulai makan bangku sekolahan, tetap tampil dengan bahasa ibu mereka sendiri yang selama ini berkonotasi tradisional. Meski rezim bahasa Indonesia di sekolahan membuat mereka menjadi mestizo secara sosiolinguistik. Sebagaimana bisa dicirikan secara fiktif lewat tokoh si Doel dalam sinetron serial “Si Doel Anak Sekolahan”. Sementara, jika kita mengamati ragam bahasa Betawi yang digunakan di sejumlah sinetron (dan film) sekarang ini, kita menemukan perkembangan lebih lanjut dari apa yang sudah terjadi sekitar 40 tahun silam. Bahwa perkembangan ini menimbulkan kecemasan di kalangan eksponen kebudayaan Betawi, karena terdapat seabrek kesalahkaprahan dalam penggunaan bahasa Betawi dalam acara tersebut, itu bisa dimaklumi dan bisa menjadi bahan telaah yang menarik.

Tetapi yang menarik adalah adanya proses metamorfosis, sebuah daya tahan, yang terjadi secara luar biasa sekaligus ironis. Sebab bahasa Betawi mampu bertahan dan berkembang dengan khalayak penutur yang lebih luas dan modern, tetapi di saat yang sama, orang Betawi sebagai penutur bahasa Betawi justru sedang dan akan terus mengalami penggusuran demi pembangunan Jakarta. Bahasanya justru diadopsi, diserap dan dikembangkan, oleh kalangan luar Betawi sebagai sebentuk gaya hidup modern, ciri orang Jakarta.

Dan harus dicatat juga bahwa metamorfosa dan daya tahan ini bukan hanya mewujud di kalangan anak-anak Jakarta hari ini tetapi juga tetapi juga menyebar ke kota-kota lain. Tengoklah bagaimana kaum urban di Jakarta membawa pulang bahasa Jakarta modern ke kampung mereka dengan bangganya, ber-elu-gue sebagai penanda ia sudah merantau ke ibukota, menjadi bagian dari dunia modern, dunia urban Jakarta. Ekspansi ini terasa lebih ekspansif lagi lewat stasiun-stasiun radio. Yang ngomong bahasa Jakarta modern kini bukan hanya para penyiar radio Prambors atau Bens Radio, atau Radio Ramega di Tangerang, tetapi juga radio-radio di Bandung, Jogjakarta, Semarang, Surabaya, Lampung, bahkan Gorontalo, dan sejumlah radio di lain kota. Belum lagi berbagai tayangan program sinetron dan lain sebagainya yang nyaris 24 jam nonstop di stasiun televisi swasta nadional.

Dengan munculnya sejumlah variasi ini, saya bisa memastikan bahwa bahasa Betawi adalah bahasa yang lentur sekaligus egaliter, demokratis sekaligus menyegarkan. Dengan karakter seperti ini sebuah bahasa mempunyai kemampuan berkembang sekaligus bertahan yang lebih besar dari bahasa lainnya. Akan tetapi, yang segera mesti dijawab kemudian adalah seberapa besar cadangan kreativitas para penuturnya dalam melahirkan kembali berbagai jenis folklor baru? Sebab dengan lahirnya folklor-folklor baru berarti juga sebuah tradisi, khususnya tradisi berbahasa ibu, berkembang, terwariskan dari generasi ke generasi.

Identitas

Begitulah identitas Betawi melekat pada tiap orang baik Betawi maupun bukan Betawi, yang menggunakan budaya khususnya bahasa Betawi. Festival kesenian Betawi yang marak dilaksanakan oleh masyarakat Betawi di berbagai kampung, seperti Festival Palang Pintu di Kemang, Cipete Vaganza di Cipete Selatan, Festival Sedekah Bumi di Pondok Rangon, Festival Betawi Kalideres, Festival Betawi Rawabelong, Festival Kesenia Betawi Condet, Festival Cipayung, dan lain-lain, menjadi bukti kian kuatnya identitas budaya atau pengguna bahasa itu. Juga tidak terhitung pertunjukan kesenian di berbagai kampung yang ditanggap oleh orang Betawi untuk meramaikan resepsi perkawinan dan sebagainya.

Banyak orang atau khususnya orang penting yang tinggal di Jakarta pada waktu mempunyai kepentingan pribadi, berlomba-lomba ngomong cara Betawi atau bersemangat mengaku Betawi. Jadi Bahasa Betawi masih efektif digunakan untuk mencapai tujuan.

Akan tetapi yang terjadi sebenarnya pelecehan terhadap bahasa dan budaya Betawi pada umumnya. Ketika orang peting sudah mencapai tujuan, justru lupa pada Betawi. Betawi tidak mendapat tempat pada ruang kebijakannya. Betawi kembali pada kawasan pinggir yang kumuh dan terluka.

Oleh karena itu, agar identitas Betawi tidak lekang kena panas tidak lapuk kena hujan, wajiblah ada kebijakan berpihak kepada Bahasa Betawi. Di beberapa provinsi sudah ada peraturan daerah perlindungan bahasa (mungkin turunan dari Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan), tapi di Provinsi DKI Jakarta belum ada. Apa yang dikenal di provinsi lain dengan Balai Bahasa, di Jakarta tidak ada. Kini masyarakat Betawi sangat berbesar hati karena Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta telah mensahkan Perda No. 4 tahun 2015, tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Tinggallah turunan dari Perda itu untuk realisasi aksi yang dituangkan dalan peraturan gubernur.

Mencermati apa yang terjadi terhadap beberapa bahasa daerah nusantara yang sudah hilang, setengah hilang, atau cenderung hilang, maka kami yang mewakili penutur Bahasa Betawi mengusulkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah DKI Jakarta untuk mengeluarkan perundangan khusus yang mengatur “Penyelenggaraan Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Betawi”. Atau langkah yang paling mudah adalah membentuk Balai Bahasa Jakarta di Provinsi DKI Jakarta. Undang-undang dan langkah ini akan menjadi perisai atas kemungkinan terburuk yang menimpa Bahasa dan Sastra Betawi di kemudian hari.

 

Suwasa emas campur tembaga,

Dari Buaran bawa ke kota,

Bahasa daerah wajib dijaga,

Demi keluhuran negara kita

Exit mobile version