THAMRIN DAN KAMPUNG BETAWI
Yahya Andi Saputra
Lembaga Kebudayan Betawi
kebudayaan betawi – Thamrin Dan Kampung Betawi – Orang Betawi di sekitar Bandar Sunda Kalapa yang merupakan penduduk inti memanfaatkan keberadaan kota pelabuhan Sunda Kalapa untuk menjual hasil pertanian mereka, berkenalan dengan kelompok masyarakat lainnya, termasuk berkenalan dengan para saudagar Islam yang datang berdagang sekaligus berdakwah.
Ketika penguasa Kerajaan Sunda Pajajaran melakukan hubungan persahabatan dengan Portugis yang diabadikan dalam Prasasti Padrao 21 Agustus 1522, ditegaskan penguasa Kerajaan Pajajarn akan menyediakan 1.000 karung lada untuk Portugis dengan imbalan akan dibantu dalam menghadapi kemungkinan ekspansi penguasa Islam Demak/Cirebon/Banten, suasana pelabuhan Sunda Kalapa berubah. Saudagar Islam menjadi gusar, Orang Betawi pun gusar. Karena harus menanggung beban menyediakan kebutuhan lada kepada penguasa.
Satu hal yang dapat dipastikan bahwa rasa keadilan yang dibangun dewasa ini sangatlah sulit dicari. Kepercayaan terhadap keputusan pengadilan termasuk salah satu sandaran utama negara yang sangat penting, tetapi dengan banyaknya keraguan terhadap kenetralan institusi pengadilan, maka pemerintah akan kehilangan salah satu pilar terkuat untuk memelihara kedaulatan hukum (MHT, Handelingen Volksraad, 1930-1931).
Orang Betawi di Bandar Sunda Kalapa secara langsung atau tidak langsung menunjukkan ketidaksenangan terhadap penguasa Bandar Kalapa. Karena kesewenangan mereka dalam memungut hasil pertanian penduduk secara paksa guna memenuhi kuota yang dijanjikan kepada pihak Portugis. Perasaan antipati Orang Betawi terhadap penguasa Sunda Kalapa, mendorong semakin cepatnya proses perpindahan agama penduduk dari Animisme/Hindu ke agama Islam. Hal ini erat kaitannya dengan sindikat saudagar Islam yang memberikan harapan datangnya penguasa baru yang akan menggantikan Kerajaan Sunda.
Adalah menarik untuk melihat pembebasan Sunda Kalapa oleh pasukan Falatehan tanggal 22 Juni 1527, Kerajaan Sunda Pajajaran dengan mudah tersingkir. Salah satu faktornya ada dukungan kuat Orang Betawi sekitar Bandar Sunda Kalapa terhadap kehadiran pasukan Demak/Banten/Cirebon yang dipimpin oleh Falatehan. Hadirnya penguasa Jayakarta, melahirkan harapan baru bagi Orang Betawi. Ditandai dengan tumbuh pemukiman baru sekitar Bandar Jayakarta, dan masifnya arus perpindahan agama.
Orang Betawi di Bandar Jayakarta dan sekitarnya terus berkembang. Tingkat kepadatan pemukiman itu sesuai dengan zamannya sangatlah berbeda bila dibandingkan dengan tingkat kepadatan dewasa ini. Secara alamiah pertumbuhan pemukiman akibat pertambahan jumlah penduduk, baik pertambahan akibat kelahiran baru maupun pendatang baru yang menempati lokasi pemukiman yang ada.
Ketika VOC menguasai Bandar Jayakarta pada tanggal 30 Mei 1619, kota pelabuhan dan pemukiman di lingkungan Jayakarta diporakporandakan rata dengan tanah. VOC kemudian membangun pemukiman baru untuk para abdi dan sekutunya. Di antara membangun Kastil Batavia yang di dalamnya dibangun bangunan untuk berbagai kepentingan (rumah tinggal, kantor, gudang, dan sebagainya). Di luar Kastil dibangun pemukiman untuk abdi berkebangsaan Cina, di Glodok sekitarnya.
Keberadaan Orang Betawi di luar maupun di dalam Batavia tetapt eksis (pemukiman mereka telah tumbuh sejak abad ke-9 hingga jatuhnya Jayakarta). Pemukiman itu dikemudian hari oleh penguasa VOC disebut pemukiman “Orang Selam” tidak berubah, malahan berkembang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduknya.
Kota Batavia berkembang ke arah Selatan, Timur dan Barat. Terutama setelah pusat kota dinyatakan tidak lagi baik untuk kesehatan. Perkembangan kota Batavia membawa implikasi baru yaitu terjadinya konflik antara penguasa VOC dengan pribumi yang ada. Dengan berbagai cara, VOC dengan sewenang-wenang mengambil tanah-tanah milik Orang Betawi yang ada di sekitarnya.
Penguasa VOC dengan sewenang-wenang menguasai dan membagi-bagikan tanah yang ada kepada siapa yang disukainya tanpa perlu konsultasi dengan “Orang selam”, karena bagi VOC kekuasaan ditentukan oleh mereka yang ditopang penuh kekuatan senjata. Di antara tanah-tanah yang dibagikan kepada orang-orang yang disukai VOC adalah tanah di bagian timur untuk Kapiten Jonkher dan para pengikutnya yang diberi nama Kampung Ambon; tanah Kampung Bali untuk abdi VOC dari kalangan orang-orang Bali; Tanah Kampung Manggarai untuk abdi VOC dari kalangan Timor/Sunda Kecil; tanah Kampung Makassar dan lainnya.
VOC memberlakukan dirinya sebagai pemilik wilayah dan merasa memiliki wewenang menentukan apa saja termasuk menggusur pemukiman Orang Betawi di sepanjang kawasan pengembangan kota Batavia dari Kastel Batavia menuju Weltevreden.
Kondisi ini diteruskan pada masa Pemerintahan Deandels, Raffles serta pemerintah Hindia Belanda meneruskan program Land-reform guna memperoleh pemasukan bagi kasnya. Mulai diadakan pembedaan atas tanah domein (milik negara) dan tanah partikelir (sewaan) yang secara revolusi telah menghapuskan hak-milik Orang Betawi berada di atas tanah-tanah mereka. Prinsipnya semua tanah adalah milik Kerajaan Belanda, dan setiap orang yang ada di atas tanah harus membayar penggunaan tanah itu, baik dalam bentuk penyewaan (tanah partikelir) maupun dalam bentuk pajak tanah. Implikasinya pemukiman Orang Betawi berada di atas tanah milik Kerajaan Belanda.
Pengembangan kota Batavia yang dilakukan sejak masa Deandels dengan membuka kawasan baru Weltevreden yang terletak ke arah selatan dari Kastel Batavia serta pembanginan jalan pos Anyer-Panarukan yang melintasi wilayah Batavia, secara langsung atau tidak langsung bersinggungan dengan tanah-tanah dan pemukiman Orang Betawi setempat. Sejak awal abad ke-19, pemukiman Orang Betawi yang semula terpisah dari lingkungan wilayah Batavia, kini sebagian masuk dalam lingkungan Batavia, dan di kemudian hari penduduk yang Orang Betawi dijuluki dengan panggilan Batavianen (penduduk Batavia).
Pemukiman Orang Betawi sebagian tergusur akibat adanya pengembangan kota Batavia, sebagian tetap bertahan (eksis) dan tumbuh menjadi pemukiman pribumi yang berbeda polanya dengan pemukiman-pemukiman yang baru tumbuh. Terbentuknya pemukiman baru sebagai bagian alamiah dari tertumbuhan kota Batavia, mendorong terjadinya interaksi sosial tak terelakkan antara pemukim pribumi (Orang Betawi) dengan pendatang baru. Terjadinya asimilasi, hubungan sosial dan berbagai bentuk aktivitas kehidupan lainnya, telah terjadinya arus urbanisasi ke kota Batavia, dimana pemukiman Orang Betawi yang semula eksklusif menjadi terbuka. Salah satu penyebabnya adalah menyangkut kepemilikan tanah yang didominasi oleh penguasa kolonial.
Pelaksanaan land-reform dengan menyewakan tanah-tanah kepada swasta atau yang disebut tanah partikelir, menyebabkan tanah-tanah serta pemukiman Orang Betawi berada dalam genggaman para tuan-tanah partikelir. Di mana tuan tanah membangun rumah para abdinya berdampingan dengan tanah-tanah penduduk pribumi.
Selain membangun rumah-rumah pribadi (land-huis), para tuan tanah juga mendatangkan orang-orangnya dari luar tanah partilernya untuk menjadi pekerja/penggarap tanah partikelir itu. Orang-orang yang didatangkan itu diberi keluasan untuk membangun hunian itu maka pemukiman baru itu berasal dari sekitar Batavia, seperti dari Tangerang, Kulon, Priangan dan lainnya.
Di pusat kota weltevreden terus terjadi pengembangan areal pemukiman baru seperti pembangunan pemukiman sewa Kemayoran, Kramat Sentiong, Petojo, Menteng, Sabangan dan lainnya, pada awal abad ke-20 telah menggususr sebahagian pemukiman penduduk Orang Betawi (Betawi). Pembangunan perkantoran, rumah sakit umum CBZ, pembangunan penjara gang Tengah, pembangunan jalan kereta api lingkar kota Tanah Abang-Manggarai, pembangunan kanal Swiss, dan fasilitas perkantoran lainnya juga menyebabkan sebagian pemukiman pribumi yang ada pada lahan yang digunakan tergusur. Sebagai contoh pembangunan rumah sakit umum menyebabkan orang Betawi yang menempati lahan itu menjadi terpencar-pencar pindah ke lokasi lain misalnya ke Marunda Pulo, ke Mangga Dua.
Gemuruh pembangunan yang diselenggarakan di Batavia memang tidak seluruhnya menggusur pemukiman Betawi yang sudah ada berabad-abad sebelumnya, tetapi pembangunan itu telah memaksakan terjadinya interaksi sosial, dimana penduduk Betawi berkenalan dengan suatu pola kehidupan perkotaan yang menantang kelangsungan eksistensi jati diri mereka. Memang tidak sepenuhnya pembangunan fisik perkotaan memakan lahan pemukiman penduduk, lebih kepada memanfaatkan lahan kosong yang merupakan tanah-tanah pertanian penduduk. Tetapi implikasinya pemukiman Orang Betawi kekurangan lahan bagi usaha perkebunan atau pertaniannya.
Sejalan dengan perkembangan kota, perkembangan teknologi transportasi dengan dibuka pelabuhan Tanjung Priok, telah memungkinkan hadirnya pendatang baru ke Batavia seperti kehadiran pekerja dari Banten, Priangan, Cirebon, Jawa Tengah dan lainnya, juga hadirnya pedagang dari berbagai daerah seperti dari Sumatera. Para pendatang itu, menetap, sebagian di antaranya menikah dengan pribumi. Perluasan birokrasi juga mengundang hadir pendatang baru ke Batavia, demikian juga kesempatan berusaha bagi swasta asing juga menambah jumlah pendatang baru, semuanya memerlukan hunian. Di antaranya ditampung pada rumah-rumah sewa yang ada atau membangun hunian baru di sekitar pusat perkotaan. Kondisi ini menjadikan kota Batavia sebagai kota tempat bermukim segala suku bangsa seperti Cina, Arab, India, Jepang, Belanda, Inggris, Portugis, Perancis, Sunda, Jawa, Melayu, Bugis, Bali, Makasar, Mandar, Ambon, Sumba, dan lainnya.
Bapak Pergerakan Kaum Betawi
Awal abad ke-20, ada kejadian yang viral dan menjadi pangkal perhatian masyarakat Batavia, pernikahan seorang pengusaha berkebangsaan Inggris bernama Ort, dengan perempuan Betawi bernama Noeraini, kerabat seorang wedana di Batavia. Hasil perkawinan itu melahirkan anak bernama Thamrin Muhammad Tabri. Thamrin Muhammad Tabri mempunyai anak bernama Muhammad Husni Thamrin. Anak Pak Thamrin ini, dikenal sebagai Bapak Pergerakan Kaum Betawi, lantaran aktivitasnya pada organisasi Perkoempoelan Kaoem Betawi (dibentuk pada 1916 dan resmi medapat pengakuan dengan disahkannya badan hukum pendirian 1 Januari 1923), sosok gigih dalam memperjuangkan kaum Betawi dan kepentingan pergerakan nasional.
Mohammad Husni Thamrin dilahirkan di Sawah Besar, Betawi, 16 Februari 1894. Ia berasal dari keluarga berada. Kakeknya, Ort, orang Inggris, pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah dengan perempuan Betawi, Noeraini. Ayahnya, Thamrin Mohamad Thabrie, pernah menjadi Wedana Batavia tahun 1908, jabatan tertinggi nomor dua yang terbuka bagi warga pribumi setelah bupati.
Karena bersekolah di sekolah Belanda, ia mahir berbahasa Belanda. Memulai karier sebagai pegawai magang di kantor Residen Batavia dan pegawai klerk di perusahaan pelayaran KPM, MH Thamrin duduk di Dewan Kota (Gemeenteraad, 1919-1941) lalu di Dewan Rakyat (Volksraad, 1927-1941).
Muhammad Husni Thamrin memberikan perhatian besar kepada kondisi kampung atau pemukiman Betawi dan pribumi pada umumnya. Kondisi pemukiman dan kampung pribumi (Betawi) tidak disentuh pembangunan sehingga terkesan terbelakang karena dibiarkan becek, gelap, dan banjir (jika musim hujan) dibandingkan pemukiman lainnya di kota Batavia, yang dikhususkan bagi orang Belanda dan kroninya.
Dengan adanya upaya Muhammad Husni Thamrin, kampung-kampung Betawi yang ada di lingkungan kota Batavia, sedikit demi sedikit – memang hanya sedikit – mulai diperbaiki dengan membangun infrastruktur seperti jalan raya yang layak mencapai lokasi pemukimam, sumber air bersih (ledeng) yang melintasi pemukiman, pelayanan kesehatan, dan sekolah. Hasil pemikiran Thamrin yang sampai kini masih dapat ditemui dan dirasakan adalah usulannya kepada pemerintah kolonial Belanda, agar membangun persediaan air bersih untuk minum. Usulan itu disetujui, dan dibangunlah saluran air minum Ciliwung Kanal. Kini saluran itu lebih dikenal dengan penjernihan air minum Pejompongan.
Nasionalis kooperatif dan nonkooperatif memiliki satu tujuan bersama yang sama-sama yakin pada Indonesia Merdeka! Jika kami kaum kooperator merasa bahwa pendekatan kami tidak efektif, maka kami akan menjadi yang pertama mengambil arah kebijakan politik yang diperlukan (MHT, Handelingen Volkraad, 1931-1932).