Penulis : Yahya Andi Saputra
kebudayaan betawi – Pakaian atau Pakean Rakyat Jaman Jepang. Meski dalam jumlah hitungan hari relatif singkat, namun penjajahan Jepang meninggalkan “kesan” yang dahsyat bagi masyarakat Indonesia. Data sejarah dapat menunjukan jejeran panjang “kesan” itu. Jika ditambah dengan cerita rakyat maka data itu menjadi tak terhingga jumlahnya.
Dalam ingatan orang-orang tua, penjajahan Jepang, yang semula digembar-gemborkan sebagai saudara tua yang akan membebaskan dari segala penderitaan, ternyata justru semakin membuat rakyat menderita. Makanan kurang, pakaian kurang. Dengan serba kurang itu mengakibatkan tiap hari ratusan orang mati, yang kadang-kadang mayatnya tidak dapat diurus sebagaimana mestinya. Bahan apa saja dapat dijadikan sebagai kafan, tidak peduli tikar rombeng bahkan hanya dibungkus daun pisang.
Mereka yang masih hidup memakai pakaian seadanya. Biasanya mereka hanya memakai sarung dan bagi kaum perempuan dilengkapi dengan kutang. Bahan pakaian yang ada ketika itu antara lain karet, karung goni, dan kaen gotong-royong. Bahan dari karet dijadikan celana tapi umumnya dijadikan dan digunakan untuk kain sarung. Jika bahan dari karet dipakai maka akan berbunyi “krèpèt, krèpèt, krèpèt” setiap pemakai melangkah atau bergerak. Sayang sekali narasumber – Hj. Halifah, 73 tahun, dan Hj. Indun, 69 tahun – tidak ingat apa jenis karet ini. Keduanya hanya ingat karet ini berwarna merah atau kuning diberi ragam hias garis-garis, kotak-kotak atau mirip bunga (semacam lukisan abstrak) berwarna oranye, hijau, biru.
Bahan pakaian lainnya adalah karung goni. Karung goni – biasanya karung untuk memuat 100 kilogram beras – dibelah dua kemudian dicuci dan dikeringkan. Umumnya karung goni dijadikan dan digunakan untuk sarung. Untuk memberi kesan bahwa sarung atau pakaian yang dikenakan bukan dari karung goni, maka ia harus diberi warna merah atau warna-warna lain. Bahan pewarna diambil dari babakan kulit kayu jarak, jamblang, jengkol, dan lain-lain. Kulit-kulit kayu itu diiris kecil-kecil dan direbus sampai mendidih. Setelah mendidih babakan kulit kayu itu mengeluarkan warna lalu karung goni dimasukan ke air mendidih itu. Kegiatan pewarnaan ini disebut katia.
Bahan pakaian lainnya disebut kaen gotong royong. Disebut kaen gotong royong karena ia dibuat dari bermacam-macam bahan bekas yang masih utuh yang dijahit menjadi satu selebar ukuran kain panjang. Menurut narasumber, jaman Jepang banyak tukang loak jualan keliling kampung membawa pakaian bekas. Konon si tukang loak mendapatkan pakain ini dari rumah-rumah orang kaya yang menjual atau memberikan baju-baju bekasnya. Baju-baju bekas itu tidak utuh, artinya lebih banyak yang sudah bèlél (pudar warnanya) dan rombeng. Baju-baju itu digunting dan diambil bagian yang utuh lalu disambung-sambung dijadikan kaen gotong royong. Bagi seorang gadis yang sudah idép (sampai usia akil-balig) memakai kaen gotong royong merupakan kebanggaan tersendiri sebab tidak semua gadis bisa memilikinya. Meski memakai kaen gotong royong, baju bagian atasnya tetap apa saja yang ada. Atau paling sering mereka menggunkana kaen gotong royong dengan model dan cara kemben.
Diceritakan oleh narasumber, suatu hari seorang perempuan dengan kemben kaen gotong royong pergi mencuci dan mandi ke kali. Sebagai perempuan tentu saja ia mandi tanpa membuka kaen gotong royongnya. Selesai mencuci dan mandi ia naik dan ternyata kaen gotong royongnya tinggal separoh, yang separohnya sobek terbawa arus air kali. Maka ia pulang ke rumah setengah telanjang. Memang pada jaman Jepang sudah lumrah orang memakai pakaian seadanya, sering pula setengah telanjang baik lelaki maupun perempuan.
Sesuatu yang paling diingat narasumber pada jaman Jepang adalah tuma. Tuma adalah kutu yang terdapat pada pakaian. Kutu ini termasuk sadis dalam aksinya. Seseorang yang diserangnya merasa setengah mati menahan gatal, panas, dan perih. Kutu ini tidak bisa dibunuh dengan cara apapun. Seseorang marasa yakin kalau mencuci baju sekaligus membunuh tuma adalah dengan merendam di air mendidih. Upaya ini ternyata tidak berhasil. Sang tuma tatap digdaya. Tidak jelas kapan kutu ini hilang. Setelah Jepang angkat kaki, konon aksi sang tuma pun tak terdengar lagi.