Yahya Andi Saputra
kebudayaanbetawi.com.
Di ujung tahun lalu, pegiat pantun baik maestro, praktisi, pemula, tua, muda, lelaki perempuan, dan remaja (khususnya pelajar SD, SMP, dan SMA) berkumpul menggelar Festival Pantun Nusantara 2024. Festival yang digagas seniman dan budayawan sekaligus Ketua Perkumpulan Rumah Seni Asnur, Asrizal Nur, melibatkan praktisi pantun dari Asia Tenggara. Ramai, meriah, ilmiah, mengedukasi, dan memperkokoh tali saudara. Berbunga-bunganya ferstival itu lantaran diisi dengan Parade Pantun Nusantara dan Karmina Pelajar, Peraduan Pantun, Lagu Pantun, Dramatisasi Pantun, Rektor Berpantun, Anugerah Pantun Budaya dan Karmina Pelajar ASEAN, Anugerah Penggerak Pantun ASEAN, Parade Baca Pantun ASEAN, Seminar Pantun Internasional, dan Peluncuran Buku Pantun (Pantun Mutiara Budaya Nusantara, Antologi Karmina ASEAN, dan Karmina Pelajar ASEAN).
Pantun adalah sastra (puisi) klasik yang dicipta dan dihidupi oleh masyarakat (khususnya masyarakat Melayu) secara turun-temurun. Keunikannya spontan, anonim, bernapas secara lisan, dimanfaatkan untuk berbagai tujuan dan kemaslahatan kemasyarakatan. Dengan sebutan berbeda, pantun hidup dan mengakar di tiap etnik Nusantara. Benuk ekspresinya pun beraneka. Disenandungkan, dinyanyikan dengan iringan musik, berbalas-balasan dengan dan tanpa iringan musik, dan dituturkan begitu saja pada berbagai kegaiatan formal dan nonformal di tengah khalayak.
Sebagai tradisi lisan, pantun bermedia utama bahasa. Jika praktisi atau seniman pantun dari Sabang sampai Merauke, menggunakan bahasa daerah masing-masing, maka jelas pantun berperan menjadi penjaga bahasa (bahasa ibu). Meskipun karakter pantun sarat humoritas dan cair, isinya tetap mengungkap persoalan hidup sehari-hari. Kontektualitas keseharian ini (dakwah, nasehat, nasionalisme, sindiran, humor, cinta, kasih sayang, korupsi, politik, kritik, kematian) yang diracik oleh pantun. Patun menjadi banal dan bengal, namun tetap dapat dijadikan sumber etika, estetika, moral, adab, sopan santun, dan edukasi keagamaan. Mengikuti lokalitas keetnikannya, tentu saja tuturan lokal (dalam bahasa ibu) menjadi identitas dan keniscayaannya. Mendengar pantun diucapkan, kita mengerti dari mana pantun itu berasal.
Di Masyarakat Melayu Betawi, pantun berbalas-balasan (berbalas pantun) seraya dinanyikan diiringi muisk, disebut Rancag. Ini jenis patun berkait dan berkisah (kisah dari cerita rakyat, misalnya Racag Pitung, Rancag Angkri) yang ramai memeriahkan resepsi perkawian. Ada pula yang dinyanyika seorang diri tanpa iringan musik dengan tema-tema khusus, disebut Locan. Seniman locan keliling kampung dan mengumpulkan penonton di satu lapangan. Pantunnya berupa teka-teki merujuk pada properti dekorasi yang dipasangnya. Pantun berbalas-balasan sebelum akad nikah, disebut sapun yang merupakan bagian inti upacara buka palang pintu. Pantun yang dinyanyikan secara koor (umumnya dibawakan kaum perempuan dengan tema islami dan kepahlawanan), disebut gesah tuntun. Pantun demikian sering ditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam dan pelengkap ritus, khusunya nujuh bulan, pindah rumah, dan sedekah bumi. Dalam seni pertunjukan Betawi, apakah itu topeng, lenong (denès dan preman), tonil, wayang kulit, sohibul hikayat, dan bulèng, penggunaan pantun menjadi mutlak. Enggak asyik atau kecentet (mati angin, hambar) seni pertunjukan tanpa tuturan atau dialog dengan pantun. Pantun membuat ketegangan, ketidakpahaman, kebuntuan, kesuntukan, kedukaan, kegelisahan, dan beban hidup menjadi terurai.
Pemerintah yang sempat ketar-ketir dengan keberadaan pantun melakukan berbagai upaya merawatnya. Di Jakarta, Pantun Betawi ditetapkan sebagai WBTB pada 2013. Tanggal 17 Desember 2023 ditetapkan sebagai Hari Pantun Nasional, ditautkan dengan ketetapan UNESCO 17 Desember 2020, pantun sebagai the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage.
Pantun Sempurna
Pantun menjaga dan mendokumentasikan kearifan lokal. Secara tidak langsung penyampai gagasan dalam berbagai segi kehidupan. Gagasan itu dituturkan dengan diksi dan bentuk dialog tangkas, halus, dan sopan sehingga pendengar atau sasaran yang dituju tidak tersinggung. Meskipun berkarakter spontan, pantun membangun suasana akrab, cair, dan bersahabat.
Pantun yang dibicarakan di sini adalah pantun reguler yang pada umumnya dipakai, yakni pantun perbait empat larik (baris) bukan karmina, enam baris atau lainnya. Saat ini karmina (pantun dua baris yang dalam masyarakat Betawi disebut pantun kontet), memang sangat digandrungi, karena kepraktisan dan kemudahannya.
Pantun reguler mengenal pakem atau format solid sesuai kaidah dan polanya. Tiap bait terdiri atas empat larik. Dua larik pertama disebut sampiran dan dua larik berikutnya disebut isi. Sampiran tiadak sertamerta kait-berkait dengan isi. Meski begitu, sampiran merupakan bayangan, ancangan atau pintu masuk untuk menuju isi. Tiap larik terdiri atas empat kata, dengan jumlah suku kata maksimal 14. Keindahan tuturan pantun terletak pada rima (persamaan bunyi). Lazimnya rima berbunyi ab ab atau aa aa. Rima terdiri atas rima akhir, rima tengah akhir, dan rima semurna. Rima akhir yaitu persamaan bunyi pada tiap akhir suku kata pada kata terakhir tiap larik. Contohnya,
Tuan toko anaknye bodoh
Lagi disuruh tulis karangan
Kalolah ada untung dan jodoh
Masa urung jadi pasangan
Suku kata pada kata terakhir pada kata terakhir larik pertama, (bodoh) doh, berpasangan dengan suku kata terakhir pada kata tekahir larik ketiga, (jodoh) doh. Suku kata terakhir kata terakhir pada kata terakhir larik ketiga, (karangan) ngan, berpasangan dengan suku kata terakhir pada kata akhir larik keempat, (pasangan) ngan.
Rima tengah akhir yaitu persamaan bunyi suku kata akhir pada kata di tengah dan suku kata pada kata kata terakhir tiap larik. Contohnya,
Kue bolu taro di dulang
Roti-roti dalem tetampa
Dari dulu sudah dibilang
Setengah hati buatlah apa
Larik pertama suka kata terakhir pada kata kedua, (bolu) lu, dan suku kata terakhir pada kata terakhir, (dulang) lang, berima dengan larik ketiga suku kata terakhir kata kedua (dulu) lu, dan suku kata terakhir kata terakhir (dibilang) lang. Larik kedua suku kata terakhir kata kedua (roti) ti dan suku kata terakhir kata terakhir (tetampa) pa, berima dengan larik keempat suku kata kedua pada kata kedua (hati) ti dan suku kata terakhir pada kata terakhir (apa) pa.
Rima sempurna yaitu persamaan bunyi pada tiap akhir suku kata setiap kata setiap larik. Contohnya (kita nukil dari pantun klasik yang sudah amat populer),
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Kita perhatikan pantun klasik di atas, semua akhir suku kata tiap kata setiap larik (larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat) berima sama. Inilah bentuk pantun yang paling mumpuni dan paripurna. Makanya disebut pantun sempurna. Jarang seniman atau praktisi pantun dapat mengekspresikannya, kecuali sudah dirancangnya dari jauh-jauh hari.
Saya jarang menemui seniman pantun yang dapat menuturkan pantun berima tengah dan akhir, apalagi pantun sempurna. Tingkat kesulitan mencipta pantun berima tengah akhir dan berima sempurna, melebihi kesulitan menemukan jarum di tumpukan jerami. Kecerdasan seniman pantun yang mampu secara spontan menuturkan pantun sempurna, mungkin setingkat dengan kecerdasan Albert Einstein. Mencermati seniman pantun masa kini, pada umumnya hanya mampu menuturkan pantun berima akhir saja. Itu pun terkadang menabrak kaidah pakem pantun. Terutama dalam hal jumlah kata yang berpengaruh pada jumlah suku kata.
Cakeeep!
Sejak UNESCO metetapkan pantun sebagai Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage, popularitas pantun meroket. Pantun menjadi makanan sehari-hari berbagai kalangan lintas usia, gender, sosial, dan profesi. Paling tidak itu yang saya cermati di Jakarta. Birokrat (swasta dan pelat merah), ulama, sosialita, dan masyarakat pada umumnya demam pantun. Mereka memulai dan mengakhiri sambutan dengan pantun. Belum lagi pada suasana nonformal yang penuh kelakar. Meluncur mulus dari mulut mereka pantun-pantun yang menghidupkan suasana. Baik berupa pantun regular maupun karmina. Jika kemampuan mereka mencipta pantun terbatas, maka meminta jasa seniman pantun membuatkan pantun sesuai dengan topik pembicaraan. Orang yang sudah akrab dengan pola dan pakem pantun, pasti akan dapat merasa kindahan pantun yang diucapkan pejabat, apakah pantun itu karyanya atau pesanan yang tentu saja karya orang lain. Sepanjang pendengaran saya, pantun-pantun yang berlompatan dari mulut pejabat, adalah pantun yang baik, sesuia dengan pakem. Untuk memenuhi permintaan pantun, ada beberapa kolega yang mahir pantun mengkomersilkan karya pantunnya. Tidak tanggung-tanggung, ia membanderol jutaan untuk jasanya. Institusi dan instansi pemerintah menyelenggarakan pelatihan atau workshop pantun bagi karyawannya.
Fenomena pantun di tangan pesohor (khususnya pejabat), memperoleh reaksi positif masip dari masyarakat pendengar atau sasarannya. Reaksi itu berupa tanggapan yang sifatnya interaktif apresiatif. Reaksi spontan itu berupa sambutan dengan mengcapkan, ‘cakeeep’, ketika pejabat mengucapkan larik pertama pantunnya. Fenomena ini mulai terasa pada dekade pertama abad ke-21. Sebelum itu, masyarakat menikmati pantun (baik yang hanya dituturkan maupun diinyanyikan) dengan mendengarkan secara tertib. Mereka ingin memperoleh intisari pesan dari pantun yang dibawakan. Jika ada kata yang terkesan menggelitik bengal, lucu, dan nyerempet-nyerempet, mereka memberikan aplaus karena girang dan senang.
Sepengetahuan saya, fenomena ‘cakeeep’, awalnya muncul dari ajang pemilihan Abang None Jakarta. Peserta yang mengikuti ajang itu diharuskan memahami sejarah dan kebudayaan ataum khususnya kesenian Betawi. Selain menari, menyanyi, dan memahami siklus serta ritus, mereka diwajibkan membuat dan membaca pantun. Bahakan ada sesi khusus pantun pada pembelakan Abang None. Peserta yang berpantun mendapat dukungan dari peserta lainnya dengan senggakan ‘cakeeep’. Dukungan itu membuat peserta yang tengah menghadapi penilaian juri, kian kuat percaya dirinya. Lantaran ajang pemilihan Abang None Jakarta dengan ekspose pantun yang mendapat senggakan itu menggema dari enam wilayah walikotamadya dan dipuncaki di tingkat provinsi bahkan ditayang langsung di televisi swasta ke seluruh wilayah negeri, maka ‘cakeeep’ menjadi virus yang menular. Secara pakem, dalam pantun, tidak ada tradisi senggakan ‘cakeeep’.
Kini senggakan itu menjadi tren. Jika pejabat atau siapa pun berpantun di awal dan di akhir pidatonya tidak mendapat respons senggakan dari pendengarnya, sering diulang larik yang diucapkannya sekadar mendapat senggakan ‘cakeeep’. Atau tidak segan-segan meminta khalayak untuk nyenggak. Senggakan hanya membuat heboh dan liar, tidak lain.
Saudara, jika kau ingin senang, waras, digandrungi, dan dikangeni oleh banyak orang, berpantunlah.
Cari katun di dalem lemari
Lemari tua luntur kelirnya
Mari berpantun untuk negeri
Negeri tercinta makmur rakyatnya
(Tulisan ini pernah ditulis tempo.com)