REBANA KETIMPRING TERLEGITIMASI SEBAGAI WARISAN BUDAYA TAKBENDA INDONESIA DARI TANAH BETAWI
Pemaen Rebana Ketimpring

REBANA KETIMPRING TERLEGITIMASI SEBAGAI WARISAN BUDAYA TAKBENDA INDONESIA DARI TANAH BETAWI

kebudayaanbetawi.com, Rebana Ketimpring merupakan kesenian musik tradisional masyarakat Betawi yang digunakan untuk pertunjukan ngarak dan untuk mengiringi pembacaan Maulid Nabi. Pertunjukan Rebana Ketimpring memadukan alat musik berupa rebana yang paling kecil dibandingkan jenis rebana lainnya yang berkembang di masyarakat Betawi. Garis tengah rebana yang dipakai hanya berukuran 20-25 cm. Badan rebana atau biasa disebut kelongkongan yang dipasang 3 (tiga) pasang kerincingan yang disebut kecrek.

Akan tetapi, tidak semua yang memiliki kerincingan disebut Rebana Ketimpring, ada pula yang bernama Rebana Hadroh dan Rebana Burdah yang berukuran lebih besar dari Rebana Ketimpring Pertunjukan Rebana Ketimpring adalah kesenian masyarakat Betawi yang dimainkan oleh sekelompok pemain musik yang menggunakan seperangkat alat musik rebana kecil (rebana kecil ini juga biasa disebut Rebana Ketimpring).

Rebana Ketimpring merujuk kepada penggunaan alat musik rebana yang dipasangkan pada badan kelongkongan dan kerincingan, sehingga jika dipukul berbunyi nyaring. Rebana Ketimpring biasa juga disebut dengan istilah rebana empat, lima dan enam.

Rebana Ketimpring memiliki dua fungsi utama: sebagai pengiring perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, pembacaan Barzanji, atau Syarofal Anam; dan sebagai alat musik dalam prosesi pernikahan atau ngarak penganten. Rebana Ketimpring pada saat maulid menggunakan irama pukulan selambe. Dalam mengiringi pembacaan maulid, syair yang diiringi dengan Rebana Ketimpring adalah 1) pasal 1 (bagian pembuka yang disebut sholawat), 2) pasal 2 (mahalul qiyam atau serakal).

Contoh syair sebagaimana dibawah ini :

یَارَبِّ صَلِّ عَلىٰ مُحَمَّد , یَارَبِّ صَلِّ عَلَیْھِ وَسَلِّمْ

Ya robbi shalli ala Muhammad, Ya robbi shalli alayhi wasallim

(Ya Allah, tetapkanlah limpahan rahmat kepada Nabi Muhammad – Ya Allah, tetapkanlah limpahan rahmat dan salam kepadanya.)

یَارَبِّ بَلِّغْھُ الْوَسِیْلَةْ , یَارَبِّ خُصَّھُ بِالْفَضِیْلَةْ

Ya robbi balllighul wasiilah, Ya robbi khusshoh bilfadliilah

(Ya Allah sampaikanlah kepadanya sebagai perantara – Ya Allah, khususkanlah kepadanya dengan keutamaan.)

یَارَبِّ وَارْضَ عَنِ الصَّحَابَةْ , یَارَبِّ وَارْضَ عَنِ السُّلاَلَةْ

Ya robbi wardlo ‘anisshohaabah, Ya robbi wardlo ‘anis-sulaalah

(Ya Allah, anugerahkanlah keridhaan kepada sahabatnya – Ya Allah, anugerahkanlah keridhaan kepada keturunannya.)

یَارَبِّ وَرْاضَ عَنِ الْمَشَایِخْ , یَارَبِّ وَارْحَمْ وَالِدِیْنَا

Ya robbi wardlo ‘anil-masyaayikh, Ya robbi farham waalidiinaa.

(Ya Allah, anugerahkanlah keridhaan kepada para guru – Ya Allah, rahmatilah orang-orang tua kami.)

یَارَبِّ وَارْحَمْنَا جَمِیْعًا , یَارَبِّ وَارْحَمْ كُلَّ مُسْلِمْ

Ya robbi warhamnaa jamii’an, Ya robbi warham kulla muslim.

(Ya Allah rahmatilah kami semua, Ya Allah, rahmatilah semua orang islam.)

Di Sanggar Galeri Betawi, Rebana Ketimpring menjadi bagian tak terpisahkan dari kesenian palang pintu. Pada setiap pertunjukan palang pintu, Rebana Ketimpring mengiringi prosesi, meskipun dalam acara tertentu, seperti perayaan Maulid, alat musik ini hanya digunakan untuk mengiringi pembacaan maulid. Selain itu, Rebana Ketimpring juga digunakan dalam prosesi arak-arakan pengantin, penyambutan tamu penting, hingga mengiringi adu silat Betawi yang biasanya diawali dan ditutup dengan tabuhan rebana. Rebana Ketimpring yang digunakan di sanggar ini dibuat dari kulit domba yang menghasilkan suara lebih nyaring. Setiap pertunjukan juga dilengkapi dengan properti khas seperti sepasang Kembang Kelapa, Sirih Dare berbentuk segitiga dengan tambahan uang sembah, serta kostum tradisional Betawi. Para pemain mengenakan baju sadaria—setelan baju koko dengan celana batik panjang, dilengkapi kopiah hitam dan kain sarung yang digantung di leher (untuk pertunjukan di majlas maulid). Alternatif lainnya adalah pakaian jas tutup ujung serong lengkap dengan aksesorisnya (untuk ngarak pengantin).

Di Indonesia sendiri masuknya seni musik rebana seiring dengan masuknya ajaran Islam ke tanah Nusantara pada abad ke-16 Masehi, yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah di Indonesia. Daerah-daerah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam memiliki keunikan tersendiri dalam mengimplementasikan alat musik rebana. Di masyarakat Betawi sendiri perkembangan seni rebana, beriringan dengan masuknya pengaruh Islam melalui kerajaan Mataram. Penerimaan agama Islam secara keseluruhan oleh masyarakat Betawi membuat kesenian-kesenian yang dibawa termasuk rebana juga diserap, dan telah menjadi bagian penting dari kesenian masyarakat Betawi.

Selama ini Rebana Ketimpring dikenal di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Belum diketahui apakah jenis rebana ini terdapat pula di daerah-daerah lain di Indonesia. Untuk mengetahui kondisi objektif ini, perlu dilakukan penelitian dan pengkajian yang komperehensif.

Munculnya Rebana Ketimpring diciptakan oleh seorang yang bernama Soleh Sya’ban yang terinspirasi dari suara-suara hujan yang turun di atas atap rumahnya yang kemudian menirunya dalam ketukan rebana, yang dimodifikasi dengan menambahkan kelongkongan dan kerincingan. Tujuan awal diciptakannya pukulan Rebana Ketimpring adalah untuk menyiasati para penjajah, ketika kondisi perang di suatu tempat, maka Rebana Ketimpringlah yang dimainkan agar dapat mengelabui para penjajah.

Namun Rebana Ketimpring yang muncul dari pengaruh perkembangan agama Islam dan perkembangan budaya Betawi, juga menciptakan pembawaan yang menceritakan menceritakan tentang sejarah dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW, serta membawakan prosa atau puisi buku-buku arab kuno dari abad ke-17 dan ke-18 M. Serta pada perkembangannya fungsi dari rebana ini mulai berkembang, seperti pada tahun 1925 Haji Dzainuddin seorang guru ngaji yang berasal dari wilayah Gandaria Selatan, yang mencoba memasukan Rebana Ketimpring sebagai musik iring-iringan ngarak Betawi.

Dalam setiap pukulan dalam Rebana Ketimpring memiliki makna tersendiri. Menurut Syamsurizal (seniman Rebana Ketimpring asal Tanah Abang) menyebutkan bahwa setiap penamaan pukulan Rebana Ketimpring itu memiliki arti yang berbeda-beda. Pukulan rebana empat merupakan lambang dari sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Abu Bakar Ash-shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib serta ada juga yang memaknainya sebagai lambang Empat Mazhab. Pukulan rebana lima adalah lambang dari rukun Islam yang jumlahnya ada Lima. Pukulan rebana enam melambangkan rukun iman yang jumlahnya ada Enam. Selain dari gaya pukulan bentuk dari Rebana Ketimpring yang di setiap sisi masing-masing memiliki tiga lubang untuk kerincingan, masing-masing lubang itu diisi dua biji kerincingan memiliki makna bahwa dalam kehidupan ada dua tujuan yaitu benar dan salah. Dalam tiga lubang tersebut jika dikalikan tiga menjadi sembilan yang melambangkan Asmaul Husna yang berjumlahnya 99.

Rebana Ketimpring yang juga merupakan hasil akulturasi budaya Betawi dengan nilai-nilai Islam, menjadikan rebana ini sebagai bentuk ekspresi budaya tetapi juga memiliki dimensi religius yang kuat. Melalui lantunan shalawat dan syair puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW, Rebana Ketimpring menjadi medium yang mengintegrasikan spiritualitas dan hiburan dalam satu kesatuan. Fungsi utama atau fungsi religius dari Rebana Ketimpring sendiri sebagai alat musik tabuh untuk mengiringi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW atau pada saat pembacaan shalawat, meskipun pada awalnya nada dari permainan Rebana Ketimpring digunakan untuk mengelabui musuh pada masa perang. Pada aspek tradisi betawi sendiri Rebana Ketimpring digunakan sebagai rebana ngarak atau yang sering dilakukan pada acara pernikahan atau disebut dengan ngarak penganten.

Saat ini, tak banyak dijumpai seniman-seniman yang bisa memainkan Rebana Ketimpring. Maka, hadirnya Sanggar Galeri Betawi yang berlokasi di kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, sangat dibutuhkan sebagai wadah perwarisan kesenian Rebana Ketimpring dengan sasaran utama para generasi muda. Terlebih, Sanggar Galeri Betawi merupakan satu-satunya sanggar yang masih aktif melestarikan Rebana Ketimpring Betawi di kecamatan Tanjung Priok hingga saat ini.

Proses transmisi yang telah dilakukan oleh Sanggar Galeri Betawi meliputi pengadaan pelatihan dan pengajaran Rebana gabungan dengan sanggar Rebana Ketimpring yang berada di 5 wilayah kota administrasi Jakarta. Masing-masing seniman di 5 wilayah kota tersebut saling bekerja sama dan bersinergi satu sama lain dalam mentransfer ilmu mereka kepada masyarakat awam terkait Rebana Ketimpring. Meskipun kesenian ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Kota Jakarta, akan tetapi upaya perwarisan semacam ini masih berdampak positif dalam mempertahankan eksistensi seni Rebana Ketimpring di tengah masyarakat urban Jakarta yang plural.

Proses pewarisan pengetahuan Rebana Ketimpring juga dapat dilihat dari keluarga Achmad Sibli yang mendapatkan pengetahuan dari sepupu orang tuanya yang bernama Kong Jufri. Kong Jufri belajar dari Kong Tabrani yang merupakan kakak sepupunya. Kong Tabrani belajar dari Kong Fatah, seorang guru Rebana Ketimpring di Kp. Melayu Kecil.

Check Also

Pantun Betawi : Cakeeep...!

Pantun Betawi : Cakeeep…!

Yahya Andi Saputra kebudayaanbetawi.com. Di ujung tahun lalu, pegiat pantun baik maestro, praktisi, pemula, tua, …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *