Kampoeng Toea Toegoe – Jakarta Utara sesungguhnya merupakan cikal bakal Jakarta masa kini. Di wilayah ini terdapat pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan pelayaran rakyat itu memiliki sejarah yang panjang. Tugu dianggap kampung tertua setelah ditemukannya Prasasti Tugu pada abad ke-19 di desa Tugu Batu Tumbuh. Selain Sunda Kelapa, berwisata melawat ke masa lalu di Jakarta Utara tak komplet tanpa mengunjungi Kecamatan Cilincing.
Kampoeng Toea Toegoe. Di sini terdapat permukiman tertua bernama Kampoeng Toegoe yang terletak di Jl Gereja Tugu, Kelurahan Semper Barat. Juga tengoklah wilayah Marunda yang masih menyisakan berbagai peninggalan yang merupakan saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia memperebutkan Jakarta yang saat itu bernama Batavia. Ada beberapa alasan mengapa kedua kampung yang layak dikunjungi. di sini antara lain ditemukan Prasasti Toegoe, juga terdapat Gereja Toegoe, Masjid Al Alam, Rumah Si Pitung, dan makam Tete Jongker. DKI Jakarta berusia 494 tahun pada 22 Juni 2021 ini. Tarikh itu ditetapkan sebagai hari jadi Jakarta lantaran kuatnya nilai historis keberhasilan pasukan Fatahillah menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka mengusir tentara Hindu Sunda dan awak kapal Portugis. Dan pada 22 Juni 1527 itulah Fatahillah mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Tarikh hari lahir Jakarta hanyalah putusan administratif politis. Kebenaran historisnya masih layak debat. Sejarah Jakarta sebenarnya telah menggeliat jauh lebih lama, yakni pada abad kelima. Bukti bahwa ada masyarakat yang bermukim dan hidup secara teratur di wilayah yang kini bernama Jakarta ini tertuang pada Prasasti Tugu. Yahya Andi Saputra Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi mengungkapkan, Tugu dianggap kampung tertua setelah ditemukannya prasasti itu pada abad ke-19 di desa Tugu Batu Tumbuh di sebelah timur Tanjung Priok atau sebelah selatan kampung Tugu.
Kampoeng Toea Toegoe. Prasasti yang kini tersimpan di Musium Nasional ini menunjukkan bahwa pada abad kelima Masehi sudah terdapat perkampungan di tempat penemuan prasasti itu. Prasasti itu merupakan peninggalan pemerintahan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. ”Di sana sudah dibangun saluran air untuk irigasi keperluan pertanian,” tegas Bang yahya. Sayangnya lokasi tepatnya sulit dikenali lagi. Bahkan hampir tidak berbekas. Sebab di lokasi persis tempat prasasti itu diketemukan sudah menjadi jalan raya Sukapura-Kelapa Gading yang selalu ramai kendaraan bermotor berlalu-lalang. Adapun Kampung Tugu terletak tak jauh dari situ. Di kampung ini masih berdiri kokoh sebuah gereja bernama Gereja Toegoe yang konon didirikan Pendeta Melchiro Leydecker, seorang mardijken (sebutan keturunan Portugis), pada 12 Oktober 1678. Mengapa saat itu ada orang Portugis di Jakarta. Dalam catatan sejarah disebutkan Belanda setelah menang melawan Portugis, membawa tawanan dari Gowa, Kalikut, dan Sailan ke Batavia, sebutan Jakarta tempo doeloe. Para tawanan sebenarnya beragama Katolik. Sedangkan kebanyakan orang Belanda beragama Protestan. Mereka dijanjikan akan dibebaskan asalkan mau berpindah agama. Dan tawaran itu diterima. Akhirnya selain bebas juga diberi sebidang tanah di sebelah timur kastel Batavia. Ada beberapa alasan Belanda memberikan lahannya di perbatasan dengan Marunda itu. Sebab di Marunda pada masa itu dijadikan pangkalan orang-orang Banten dan Mataram yang ingin menyerbu kastel Batavia. ”Dengan alasan sebagai bemper mungkin mereka ditempatkan,” jelas Bang Yahya. Sayangnya, bangunan gereja itu sudah mengalami perubahan. Dulu, gereja itu dihadapkan ke pinggir kali Cakung yang melintas di depannya. Sekarang, kali itu sudah tidak berfungsi lagi. Bahkan warna dasarnya sudah kehitam-hitaman dan baunya anyir. Para penduduk keturunan Portugis ini meski berstatus tawanan, namun mereka tak terkekang sehingga kehidupan berkesenian pun jalan terus. Pada waktu senggang mereka sering bernyanyi-nyanyi dengan iringan gitar berlanggam kroncong. Kesenian itu terus berlanjut di tengah generasi mudanya yang hingga kini dikenal sebagai Kroncong Toegoe. Kini masih ada keluarga Quiko dan Michiels, penerus generasi Kampoeng Toegoe yang terus menghidupkan keroncong tersebut. Selain itu berkat Quiko dan Michiels pula, orang masih bisa melihat bentuk rumah yang masih asli tempo doeloe yang hanya satu-satunya di kawasan tersebut. Rumah itu dibiarkan tidak dibongkar. Walaupun berdiri di antara truk dan trailer di sekitar halaman rumahnya. (Bersambung)