SASTRA TULIS MELAYU KLASIK BETAWI (Bagian 3)

Oleh : Prof. Dr. Muhadjir

SASTRA TULIS MELAYU KLASIK BETAWI – Artikel ini mengungkapkan Sastra Daerah Betawi abad ke-sembilanbelas, sebagai salah satu aspek dari khazanah kebudayaan yang didaerahnya sendiri selama ini seolah-olah terpendam. Artikel ini pernah diterbitkan dalam buku Bunga Rampai Sastra Betawitebitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta tahun 2002.

Pada umumnya naskah tersebut tidak dibaca sendiri, melainkan dibacakan keras-keras oleh seorang di hadapan Beberapa naskah menyebutkan bahwa dalam masyarakat ada orang yang pandai membaca dan lainnya mendengar. Kebiasaan membacakan naskah di hadapan publik merupakan kebiasaan yang juga berada di berbagai tempat lain. Di Jawa terdapat kebiasaan “macapat” biasanya di daerah penulis, di masa orang baru melahirkan, untuk menemani tuan rumah yang harus berhati-hati menghadapi bahaya yang mungkin mengancam anak bayinya. Di Lombok terdapat kebiasaan yang sama dengan nama “mabasan”, yaitu membaca Hikayat Amir Hamzah yang dilakukan dalam berbagai upacara.

Di Jakarta dari Hikayat Ken Tambuhan diceritakan bahwa para putri suka mendengarkan bacaan hikayat oleh Ken Tambuhan, seperti terdapat dalam Syair Ken Tambuhan berikut.

Jikalau suda waktu yang malam

masing-masing masuk ke dalam

bertemu Ken Tambuhan Iagi di tilam

membaca hikayat Indra Nurul Alam

 

ditegur Ken Tambuhan sekalian para puteri

masuklah tuan bersantap siri

sekalian menyembah membaiki diri

sukanya para puteri lah menengari

(Ken Tambuhan,hlm 8-9)

Petunjuk lain, pada cerita Nyi Dasimah, versi Francis (1896) diceritakan, ketika Samiun hendak membunuh Nyi Dasimah ia merayunya dengan mengajak pergi menonton cerita “Amir Hamzah”. Naskah-naskah karya Bakir terdapat kalimat yang berbunyi, “Hai sekalian saudaraku yang ada duduk, tolonglah berkata ‘Amin ll‘ (Chambert-Loir 1987).

lskandar, (1981: 149), seperti dikutip oleh Kramadibrata (1993) menyatakan bahwa publik yang termasuk menikmati pembacaan naskah terbagi atas tiga kelompok.

  1. penduduk asli yang tinggal di kampung-kampung tersebut;

2. penduduk keturunan Indo; dan

3. penduduk keturunan Cina

Bahwa penduduk keturunan Cina menggemari dan menikmati cerita-cerita Melayu telah dibuktikan oleh penelitian C. Salmon. Menurut Salmon, pada akhir abad ke-19 banyak orang Cina yang masih dapat membaca dan menulis huruf Arab-Melayu. Akan tetapi, juga jelas bahwa dari akhir abad ke-19 dan selanjutnya, huruf Latin cenderung menggantikan huruf Arab dan banyak orang Cina peranakan yang tidak dapat lagi membaca huruf Arab Melayu. (Bersambung)

Check Also

Makruf Tukang Sol Sepatu (Tamat)

Makruf Tukang Sol Sepatu (Tamat)

Pengantar – Di ranah kesenian Betawi ada istilah Tukang Gesah yang tiada lain adalah Tukang …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *