
Kisah Yahya Andi Saputra tentang Kampung Gandaria
Oleh Heryus Saputro Samhudi
Penyair dan Ketua ATL (Asosiasi Tradisi Lisan) Jakarta, serta Wakil Ketua LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi) Yahya Andi Saputra kian memastikan dirinya sebagai budayawan Betawi yang andal dan berISI. Magrib dua hari lalu misalnya, Yahya (dan Suli Setiawati , istrinya) mampir ke rumah kami, bukan sekadar bersilaturahim, tapi juga untuk menghadiahkan saya buku anyar karyanya bertajuk “PUASA – Gesah Anak Betawi”

“Gesah itu kata dalam bahasa Arab, Kak. Kata ‘gesah’ sejak lama akrab di lidah anak Betawi Pinggir. Gesah berarti berkisah atau mendongeng,” ucap Yahya yang di masa remaja pernah jadi juara Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat kelurahan di kampungnya: Gandaria Selatan, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan.
“Ini buku baru, Kak. Baru saya terima bulan Puasa kemaren. Naskah saya sih, udah dari tahun kemaren. Kabarnya juga udah dicetak sejak tahun kemaren. Kagak tahu saya, kenapa baru diasongin sekarang? Barangkali dipasin sama bulan puasa kali, ya…? Moga-moga ajah Kakak suka membacanya,” kata Yahya dalam bahasa campuran Indonesia, Melayu Jakarta atau populer sebagai bahasa Betawi. Di sana sini nyeplos kosa kata Betawi Pinggir.
Dalam bahasa hari-hari model begitu pula Yahya bergesah atau berkisah atau ngedongeng kejadian-kejadian budaya sepanjang bulan puasa (bahkan sejak sebulan sebelumnya, yakni bulan rowah atau Sya’ban) sebagaimana dialaminya ketika kecil hingga remaja (tahun 1970 s/d 1980) di kampung kelahirannya (dulu masih bernama Gandaria Udik) di Cilandak, Jakarta Selatan.

Ada 32 buah cerita (padat ajaran dan info budaya) ditulis Yahya di buku yang diterbitkan UNJ Press (anggota IKAPI dan Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia) ini. Cerita-cerita laku budaya orang Betawi di bulan puasa, yang tajuk-tajuknya bikin saya mesem-mesem, ingat pengalaman masa kecil saat air Kali Liwung atau Ci Liwung masih bisa diminum langsung atau buat nyosoh beras.
Tak cuma bikin saya mesem-mesem, tajuk atau judul yang dipilih Yahya (magister Kajian Tradisi Lisan dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia) juga bikin penasaran karena pilihan katanya yang (bagi saya yang lahir dan besar di Betawi Tengah) terkesan arkais, kuno, bahkan (rasanya) tak banyak difahami kuping anak Betawi kelahiran tahun 1980 dan setelahnya. Apalagi bagi mereka yang tak pernah melihat sawah di tengah kota Jakarta, dan kebon-kebon yang kini sudah berobah jadi real estate dan petak rumah kontrakan.
Orang Nani, Merowahkan Dan Malem Ganti Buku, Matung Moko Andilan, Bakar Merang, Beleduran, Adu Cantang, Puasa Gendang dan Enjebol, Ngukur dan Nyedengin, Bersihin Sabang, Ngelocohin Kacang, Beluruk, Nungguin Ngaduk, Malam Towong… begitu antara lain judul atau kata dalam judul yang disodorkan Yahya. Judul dan kata yang menggelitik rasa. Hayo…, siapa yang bisa dengan cepat memahami maksudnya?

Yang menarik, Yahya tak berlaku ‘sok pinter’ ataupun ‘sok tahu’ (mentang-mentang aseli anak Betawi, dan sedang mengisahkan budaya sendiri) dalam menuliskan kisahkisa sepanjang bulan puasa. Yahya terkesan lebih banyak mendengar, dan melihat apa yang dilakukan teman-temannya, para Mpok dan Abangnya, yang dilakukan Nyak Babe ataupun para tetangga, dan lalu menuliskannya sebagai pengetahuan umum dengan bahasa ringan dan kocak.
Dalam kisah Orang Nani (berarti Petani) misalnya, Yahya sekadar mentransfer apa yang dilakoni ayahnya dalam menanam tanaman-tanaman tertentu yang bisa dipanen (dan banyak dicari orang) saat bulan puasa atau menjelang lebaran. Hasilnya? Dengan bahasa ringan dan mudah difahami (walau penuh kosa kata dan istilah Betawi) tampil sebentuk tulisan ‘ilmiah’ ihwal potret petani kebun di Betawi tempo itu.

Demikian halnya dengan gesah Bakar Merang, yang merupakan kebiasaan umum kaum wanita Betawi mencari dan membakar merang (batang pagi kering dan sekam) tiap menjelang bulan puasa. Diambil abunya. Dicampur air, diberi perasan jeruk nipis, digunakan untuk mencuci dan menyuburkan rambut. Laku budaya dan trasisi lisan turun temurun yang hilang di zaman munculnya shampoo.
Tak kalah menarik adalah kemahiran Yahya bercerita (dia memang Pejait, Pendongeng Betawi yang andal). Tradisi lisan itu ditulisnya dengan gamblang, jauh dari teknis akademis, dalam bahasa gaul yang mudah dicerna, difahami (siapapun pembaca) dengan sisipan istilah atau celetukan khas Betawi yang pas, dengan menjelasan singkat jika istilah tersebut dirasa kurang popular, menjadikan buku ini enak dibaca, sekaligus jadi semacam buku ajar ihwal bagaimana berbahasa Betawi yang baik dan Benar. Tak seperti kebanyakan orang yang sok ingin berbahasa Betawi, hihihi..!

Banyak pelajaran berharga saya dapat dari buku Yahya yang tebalnya 142 halaman ini. Buku yang seperti sengaja menyedot ingatan saya ke masa kecil (tahun 1957 -1967) saat tinggal di Polonia Bidaracina, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, saat air Kali atau Sungai Liwung atau Ci Liwung masih sering diminum langsung oleh Masyarakat Betawi, dan digunakan kaum ibu buat nyosoh beras menjelang ditanak.
Pengalaman serupa juga saya alami saat tahun 1967 keluarga saya pindah ke kawasan udik di selatan Kebayuran Lama, kampung Pondok Pinang yang permai, saat dimana Das Kali Pesanggrahan (yang jadi batas barat wilayah administratif Jakarta), dan Kali Grogol (batas timur Pondok Pinang dengan kampungnya Yahya) masih dipenuhi hutan kecil dan kebun serta amparan sawah luas, sebelum dicaplok menjadi Padang Golf Pondok Indah. Ah…!
Heryus Saputro Samhudi
Pamulang, 2025-0409HS.