Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 18)

Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 17)

Pengantar – Di ranah kesenian Betawi ada istilah Tukang Gesah yang tiada lain adalah Tukang Cerita. Pada pertengahan abad ke-19, muncul nama lain yaitu Sohibul Hikayat. Dan memang, ketika itu tumbuh dan dicintai kesenian Sohibul Hikayat ini. Seniman Sohibul Hikayat mendapat apresiasi atau ditanggap pada perhelatan masyarakat Betawi, khususnya untuk memeriahkan keriaan atau hajatan, terutama resepsi perkawinan, khitanan, dan sebagainya.

Rupanya seniman Sohibul Hikayat tidak dapat melayani banyak permintaan, sehingga muncul pengarang atau penyalin cerita hikayat. Kita kenal misalnya Muhammad Bakir yang menyalin dan mengarang cerita hikayat tidak kurang dari 70-an judul. Bakir menyewakan karyanya kepada khalayak. Ini menjelaskan kepada kita bahwa karya Bakir dibacakan di tengah khalayak. Artinya Tukang Gesah tidak lagi berkisah secara lisan cerita yang dihafalnya, tetapi sudah dengan membaca manuskrip karya Bakir.

Dalam novel Nyai Dasima (1896), ada menyebutkan tentang Sohibul Hikayat ini. Dasima yang galau dirayu dan dihibur  Samiun, dengan mengajaknya nonton pertunjukkan Sohibul Hikayat.

Sohibul Hikayat lalu lebih tersebar ke antero wilayah Batavia (masa kolonial) kemudian Jakarta (sesudah kemerdekaan) ketika Haji Ja’far lalu Haji Jaid dilanjutkan putranya ( Haji Ahmad Safyan Jaid) malang melintang ditanggap (sampai disiarkan di radio) membawakan Sohibul Hikayat.

Salah satu judul Sohibul Hikayat yang sering dibawakan oleh Haji Jaid dan Haji Sofyan Jadi adalah Ma’rup Tukang Sol Sepatu. Namun Cerita ini pun sudah ditulis ulang oleh Umar Djamil (PT. Dunia Pustaka Jaya, Tahun 1978), Selamat membaca.

Bagian 17 – Tatkala hari pagi datanglah raja dan wazir itu ke ruang istana. Raja’ menyuruh panggil putrinya datang ke balik tabir kemudian bertanyalah ia, “Hai putriku apakah yang dapat kaukatakan kepada kami?”

Maka putri itu menjawab, “Celakalah wazir ayahanda, karena ia bermaksud memberi malu aku dan suamiku!”

“Mengapa demikian?” tanya baginda.

“Tadi malam suamiku datang kepadaku. Sebelum aku sempat memperbincangkan sesuatu pun, dia telah berkata terlebih dahulu kepadaku, bahwa di luar jendela istana ada sepuluh orang hamba sahayanya yang baru mengantarkan sepucuk surat kepadanya. Dia mengatakan bahwa mereka itu ialah sahaya-sahaya yang ikut dengan kafilahnya. Mereka telah mendengar bahwa ia telah menikah dengan seorang putri raja.

Kemudian diberikannya surat itu kepadaku dan aku membacanya: “Dari lima ratus orang hamba sahaya kepada penghulu kami saudagar Makruf. Kemudian daripada itu kami beritahukan kepada tuanku bahwa setelah tuanku meninggalkan kami, datanglah sepasukan orang Arab yang merampok kami. Jumlah mereka itu lebih dari dua ribu pasukan kuda sedangkan kami hanya lima ratus orang hamba sahaya. Walaupun demikian kami tetap bertahan mati-matian sehingga kami terkepung tigapuluh hari lamanya. Itulah sebabnya kami terlambat. Perampok itu telah merampas dua ratus unta yang membawa barang-barang kain serta membunuh lima puluh orang hamba sahaya Tuanku.”

Tatkala ia menerima kabar itu berkatalah ia: “Keterlaluan mereka. Betapa mereka itu mau berperang melawan orang Arab itu hanya karena mempertahankan dua ratus unta? Pantas saja mereka terlambat. Patut sekali aku pergi memberitahu mereka, bahwa apa yang telah dirampas orang Arab itu taklah akan mendatangkan kerugian besar bagiku. Aku anggap saja sebagai sedekahku kepada mereka.”

Sesudah itu pergilah ia dengan tertawa, sedikit pun tak menaruh sedih karena kerugiannya itu. Tatkala ia berangkat maka terlihatlah olehku dari jendela sepuluh orang hamba sahaya yang membawa surat itu, semuanya gagah-gagah berpakaian yang harganya tak kurang dari seribu dinar dan tak ada seorang pun di antara hamba sahaya ayahanda yang menyainginya. Alhamdulillah aku tak jadi menanyakan apa yang ayahanda titahkan, sebab kalau terjadi tentulah ayah anda akan malu kepadanya. Sebenarnya wazir ayahanda inilah yang iri hati ingin memburuk-burukkan suamiku.”

“Harta suamimu sangat banyak, hai anakku, sejak ia datang ke negeri ini banyak sudah dia bersedekah kepada fakir miskin. Insya Allah dalam waktu yang dekat ia akan datang dengan kafilahnya sehingga kita dapat mengambil manfaat dari padanya.”

Kemudian raja itu menghibur putrinya dan mencela wazirnya.

Adapun Makruf setelah ia keluar meninggalkan istrinya menangislah ia karena sedihnya. Dia terus berjalan semalam malaman dan tengah hari berikutnya tibalah ia di sebuah desa kecil. Dijumpainya di sana seorang laki-laki yang sedang membajak di sawah. Ketika itu dia telah sangat lapar, maka dengan segera ia pergi kepada pembajak itu mengucapkan salam. Salamnya dibalas dengan hormat dan pembajak itu bertanya kepadanya, “Apakah Tuan utusan raja?”

Dijawabnya, “Betul.”

la diajak tinggal oleh pembajak itu. Makruf bertanya pula, Adakah sedikit makanan padamu?”

Pembajak itu menjawab, “Tunggulah di sini sebentar, aku akan pergi ke kampung yang dekat itu untuk mengambil makanan bagi tuan, dan segera aku kembali.” (Bersambung)

Check Also

PUISI DI ANTARA PROTES DAN DIDAKTISME

PUISI DI ANTARA PROTES DAN DIDAKTISME

Pengantar Penyair Yahya Andi Saputra, menerbitkan kumpulan puisi berjudul DOL. Antologi yang diterbitkan Teras Jakarta …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *