CERITA PUASA ANAK BETAWI
Pengantar
Ahlan wasahlan syahri Ramadan.
Bulan puasa ini, laman kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masalah-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin, haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.
Salamat puasa. Raih predikat takwa.
BAKAR MERANG
Saya masih ingat, dulu jika dua hari atau sehari mao puasa, empok saya (Siti Hodijah lahir tahun 1945 sudah meninggal) sudah ribut mengajak adik-adiknya atau teman sebayanya (tentu yang perempuan juga) mencari merang. Merang itu batang padi, yang sudah tidak ada padinya. Jika ternyata tidak ada merang di lumbung (kadang-kadang disimpan para-para di atas kandang) atau merangnya dipakai untuk terangan ayam (wadah atau sarang tempat ayam bertelur) maka dia ider-ideran (keliling) mencari merang. Ya datang ke rumah encang, encing atau siapa saja yang punya merang.
Empok saya dan adik-adiknya Marfu’ah dan Masfiah, pagi-pagi sudah bikin tabunan (semacam api unggun). Pada tabunan itu kemudian belau membakar merang. Saya bertanya-tanya, kenapa kok pagi-pagi pada bikin tabunan membakar merang? Mereka tentu tidak langsung menjawab atau menjelaskan. Meski rasa ingin tahu masih kuat, tapi sya tidak berharap jawaban. Ya, biarin aja suka-suka mereka. Tapi saya tetap memperhatikan kesibukan mereka membakar merang.
Saya ingat mereka membersihkan dan mengeringkan merang. Merang yang demek (agak basah) enggak bisa dibakar. Sesudah dibakar, abu yang berasal dari merang disimpan di baskom atau paso atau ember. Baskom atau paso atau ember berisi abu merang itu pun diisi air. Atau abu merang direndam diaduk-aduk. Sambil diaduk-aduk ditambahkan dengan potongan-potongan jenuk nipis atau diperesin jeruk nipis. Setelah diaduk lalu dinenebin. Dinenebin maksudnya diendapkan. Sesudah abu merangnya neneb, wadah itu ditaro (diletakkan) di genteng atau di tempat terbuka semaleman. Ini maksudnya supaya air abu merang kualitasnya bagus karena sudah kejatohan embun. Sesudah itu air yang abu merangnya sudah neneb, dipindahkan ke wadah lain. Besoknya, air neneban abu merang itu dipakai untuk keramas.
Sering pula saya saksikan empok-empok atau emak-emak tidak melakukan proses sebagaimana diceritakan di atas, tapi mereka langsung keramas dengan abu merang. Katanya, keramas dengan air abu merang atau abu merangnya langsung, rambut akan kesed (kesat), tidak lembab, dan kering. Lebih dari itu, melazimkan keramas dengan abu merang, kataya rambut makin subur dan makin hitam. Mungkin ini benar, karena rambut empok saya terlihat panjang, hitam, dan gembel.
Kata ahli permerangan, menggunakan abu merang untuk keramas memang dapat menghitamkan rambut secara alami. Lebih dari itu, jauh lebih aman bagi kesehatan. Kata para ahli, merang itu mengandung zat kimiawi yang hebat. Dikatakan, komposisi kimiawinya sebagai berikut: karbon 1,33 persen, hidrogen 1,54 persen, silika 16,98 persen, dan oksigen 33,64 persen. Karena kandungannya seperti itu, maka merang jadi andalan bahan alami untik shampo. Konon, sejak masa kerajaan, permaisuri dan putri raja berkeramas dan ngerawat rambut pake abu merang.
Tetapi yang sebenarnya seru adalah bagaimana perempuan itu mandi dan keramas menjelng puasa. Dulu pada masa kali atau sungai jernih dan belum tercemar, sesudah asar kaum perempuan (emak-emak dan anak-anak perawannya) berbondong-bondong menuju sungai. Di sungai inilah mereka mandi dan keramas bersama. Itu kebiasaan masa itu. Hal yang sangat biasa dan sudah menjadi radisi.
Mandi di kali untuk keramas menyambut puasa memang dilakukan semua warga, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak tanpa memandang umur. Biasanya yang diatur adalah waktunya saja. Kaum perempuan didahulukan (sesudah asar) dan baru kemudian kaum laki-laki. Pendahuluan kaum perempuan, karena kaum perempuan masih mempunyai tugas setelah mandi dan keramas, yaitu membereskan urusan dapur.
Rupanya, sejak dahulu kala, rambut bagi perempuan adalah mahkota. Makanya perempuan memimpikan dan mendambakan mempunyai rambut sehat dan hitam (apalagi jika hitam ikal mayang). Keramas dengan abu merang ternyata mudah dan ekonomis. Rambut berkilau, subur, hitam, dan tidak ketombean.
Bisa jadi perempuan metropolitan dari generasi alfa, tidak kenal dengan merang. Atau malah mereka tidak tahu merang itu berasal dari pohon apa. Nyatanya memang di kota metropolitan Jakarta, sawah tempat menanam padi sudah tidak ada. Sawah masih ada sih (misalnya di Rorotan, Jakarta Utara), tapi tinggal seicrit. Dari yang seicrit itu jarang makhluk manusia penghuni metropolitan sudi memperhatikannya.
Sejak perusahaan besar kosmetika memproduksi aneka macam sampo, keindahan rambut perempuan dimanjakan oleh produk mereka. Perempuan “dijebak” oleh lenggang-lenggok perempuan (bintang iklan) berambut indah karena dicuci sampo keluaran perusahaan itu. Perempuan kita sudah tidak memahami local wisdom perawatan rambut ala nenek moyang.
Ente sedih melihat kenyataan ini? Atau girang? (Yahya Andi Saputra).