CERITA PUASA ANAK BETAWI
Pengantar
Ahlan wasahlan syahri Ramadan.
Bulan puasa ini, laman kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masala-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.
Salamat puasa. Raih predikat takwa.
CUCU BEDUG
Saya bersyukur lantaran mungkin saya dan teman-teman (ada Muhammad alias Gepeng, Awih, Basir, Romlih, Buasan, Aman, Wahab, Muroh, Daroh, Munirih, Tabronih, Iwan, Sehur, Saobah, Mursid, Sarmili, Saumin, Nurhadi, Surya) di kampung Terogong dan Gandaria Selatan) merupakan generasi terakhir yang sering dipanggil cucu bedug. Kok cucu bedug? Enggak tau kenapa disebut cucu bedug. Soalnya waktu kecil kita senang-senang aja disebut atawa dipanggil apa aja oleh orang-orang tua. Memang selama bulan puasa, tempat atau ruang kami berkumpul tidak lain ya langgar atau musholla (namanya langgar Al-Furqon dan ketika ada gusuran masjid Al-Muttaqen, pemindahan dan pembangunan masjid ini menempati lokasi langgar Al-Furqon. Dengan demikian langgar Al-Furqon digabungkan menjadi masjid Al-Muttaqien). Kecuali mandi, ganti pakaian, buka puasa dan sahur (kemudian buka puasa pun berjamaah di langgar), kami selalu ada di langgar.
Sebagai anak langgar, kegiatan kami di bulan puasa adalah terawe (tarawih), piket tadarus, piket kebersihan, piket ngisi kulem (dulu sebelum langgar memakai mesin aer atau jet pump kami ngisi kulem), dan piket bangunin saur. untuk persediaan ambil aer sembayang atau wudhu). Bahkan jika pimpinan langgar ngadain andilan, kami ikut ngangon kebo. Sebetulnya penggunaan kata piket dalam tulisan ini kurang tepat, sebab kami sebenarnya bebas ngapain aja. Tapi kami ngapain aja selalu bareng alias bersama-sama. Tapi anehnya kami selalu maen dulu-duluan atau berebut untuk mukul atau nabuh bedug. Baik nabuh bedug ketika masuk waktu sembahyang maupun setelah terawe atau pas bangunin saur. Ketika langgar sudah menggunakan toa, kami maen dulu-duluan nyekel sombok.
Sebenarnya yang paling diatur untuk piket sebenarnya piket tadarus. Selama bulan puasa, sesudah terawe, jamaah langgar melazimkan tadarus. Maka jamaah mengkhatamkan Quran tiap hari. Bahkan sebenarnya lebih. Semua anak-anak yang sudah fasih membaca Quran ajak bergabung dengan remaja dan pemuda serta orang-orang tua membaca tiap orang satu juz. Alquran terdiri atas 30 juz. Jika jumlah yang ikut lebih dari 30 orang, bisa dipastikan khatam Quran lebih dari jumlah hari bulan puasa. Nah, sesudah tadarus berjamaah, maka ada jadwal piket yang digilir sampai menjelang saur. Kami bergantian membaca Quran sesuai jadwal. Kami dianjurkan ngidupin malem puasa dengan tadarus dan ibadah lainnya.
Selain tadarus berjamaah, kami pun terbiasa tadarus sendiri. Biasanya kami berlomba maen banyak-banyakan tamat (khatam). Dalam sebulan kami bisa menamatkan tiga sampai empat kali. Bahkan abang-abang kami (Daud, M. Noor, Muhammad Habiby, Hamzah, Asmat, Ya’kub) yang memang mahir membaca Quran, dapat menamatkan sampai delapan kali. Saya pernah menamatkan Quran selama bulan puasa empat kali. Dipikir-pikir boleh juga perjuangan saat itu.
Kegiatan lain selama bulan puasa yang juga rutin diselenggarakan adalah lomba azan, musabaqah, puitisasi Alquran, dan tesuir. Lomba ini berhadiah, sehingga kami bersemangat mengikutinya. Hadiahnya sederhana seperti kopyah (peci), sarung, ransel, pinsil dan buku tulis, baju koko. Pokoknya langgar atau masjid tidak sepi. Kita girang. Kata ketua langgar atau masjid, lomba seperti ini penting, terutama untuk menjaring calon-calon muazzin (tukang azan), calon iman, dan penceramah di kemudian hari. Dan memang, orang-orang yang menang dalam lomba ini di kemudian hari dipercaya untuk tugas-tugas muazzin, iman, dan ceramah.
Sekarang ini sering kita dengar suara tukang azan pas-pasan dan makhrajnya parah. Bukankah seharusnya azan adalah suara panggilan paling indah sehingga menimbulkan kagum, takzim, dan segera mendatangi masjid untuk shalat? Sering pula kita dengar bacaan iman dalam shalat masih berecetan, maen sered, dan hantem kromo secara tajwid (hukum membaca Quran). Kenapa para imam shalat itu berani jadi imam ya…? Belajar yang bener dong, belajar. Tapi, Bang, kata seseorang, biar kata belajar sampe ke negeri Cina, kalo enggak dipake, ya memble. Ya gak? Iya juga ya…
Kembali ke perihal cucu bedug. Saya menduga, karena anak-anak sering berebut pukulan bedug dan girang jika nabuh atau mukul bedug, itulah sebabnya disebut cucu bedug. Kalo ada cucu bedug, siapa dong babe bedug dan engkong bedug? Laen kali jangan sebut cucu bedug, sebut cucu Nabi Yusuf. Biar kesawaban ganteng kayak Nabi Yusuf. Hihihihi… (Yahya Andi Saputra).