CERITA PUASA ANAK BETAWI
Pengantar
Ahlan wasahlan syahri Ramadan.
Bulan puasa ini, laman www.kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masala-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.
Selamat puasa. Raih predikat takwa.
PETASAN
Sampai akhir tahun 1960-an, di kampung saya masih ramai usaha rumahan aneka penganan. Beberapa di antaranya ada yang berskala menengah, karena jumlah tenaga kerja dan peralatan produksinya sekelas pabrik. Nah, sekarang rasanya saya ingin kilas balik ke tahun 60-an. Saya ingin menghidupkan kembali imajinasi, situasi, dan peta kampung (gabungan kampung Gandaria Selatan dan Terogong), tempat saya menghabiskan masa bocah benciritan hingga sekarang.
Kampung Gandaria dan Kampung Terogong secara administrasi berbeda. Kampung gandaria masuk kelurahan Gandaria Selatan dan kampung Terogong masuk kelurahan cilandak barat. Kedua kelurahan itu berada di kecamatan cilandak. Kampung gandaria itu luas. Oleh sebab itu dipecah dua jadi dua kelurahan, Gandaria Selatan dan gandut. Gandaria Selatan masuk Kecamatan Cilandak, Gandaria Utara masuk Kecamatan Bebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Secara kontur Gandaria Selatan terdiri atas kebun dan sawah, maka sawah memisahkannya menjadi wetan dan kulon (timur dan barat). Kami biasa menyebutnya seberang ngetan dan seberang kulon. Tetapi secara khusus seberang ngetan disebut Gandaria Kebon Besar, sering disebut Kobon Besar saja. Belum saya ketahui kenapa disebut Kebon Besar. Seberang kulon sering disebut seberang saja. Di Kebon Besar terdapat keramat, yaitu Keramat Batu. Maka ada orang yang melakukan ziarah di Keramat Baru. Belum ada yang meneliti, siapa yang dikuburin di keramat ini.
Meskipun keluarga Enyak saya dari Kebon Besar (Enyak saya Hj. Halifah binti Ending _ Zainuddin), tetapi kami tinggal di Seberang, karena Babe berasal dari Seberang (Babe saya H. Rahmat bin Nisin). Di Seberang ini keluarga besar Babe tinggal (secara urutan keluarga Bebe adalah Hj. Rimah, Hj. Nair, H. Abdurrahim, Hj. Salamih, H Rahmat, dan Zainabun). Nah, antara Gandaria Seberang dengan Terogong menyatu, dipisahkan oleh administrasi pemerintahan.
Dulu orang Gandaria Selatan dan Terogong jika sembahyang Jumat ke masjil Darul Falah di gandaria selatan. Masjid Darul Falah diketuai oleh Guru Tolib (H. Abdul Muttolib). Di Terogong hanya langgar (Al-Furqan) yang diketuai Baba Haji Minan bin Jisim. Baru tahun 1990-an langgar ini berubah menjadi masjid, yaitu Masjid Al-Muttaqien. Kalau nguburin, masing-masing ada kober atau kuburan wakaf, baik Gandaria (Wakaf Kebon Besar) maupun Terogong (Wakaf Beringin).
Kehidupan sosial ekonomi di kampung ini sangat menonjol. Saya masih ingat ada pabrik. Kami menyebut usaha rumahan yang melibatkan banyak orang dan menggunakan mesin dengan istilah pabrik. Ada pabrik kerupuk (dikelola oleh Kang Muhtar), pabrik roti (dimiliki oleh Kang Aleh), pabrik tahu (milik Bang Mijan), pabrik tempe dan oncom, pabrik batako, usaha susu sampi, usaha bakso (Mas Kliwon), dan lain sebagainya. Dulu emak-emak kita juga nembok (memproduksi batik meski bahan-bahannya diperokeh dari tauke di Tenabang).
Jika menjelang atau masuk bulan puasa, industri rumahan di kampung Gandaria bertambah dengan produksi petasan. Sejak dulu salah satu keahlian orang Betawi membuat petasan. Bagi orang Betawi, petasan selalu dipakai pada waktu-waktu istimewa dan khusus. Petasan digunakan atau disundut sebagai tanda dimulainya perayaan dan sebagainya. Misalnya menjelang berangkan ngerudat (berangkat menuju rumah mempelai perempuan), pergi mukim/haji, nyunatin, muludan, dan sebagainya.
![](https://www.kebudayaanbetawi.com/wp-content/uploads/2022/04/Screenshot_20220415-085921_Google-300x232.jpg)
Ahli bikin petasan adalah Cing Salih (H. Saalih bin Jimi). Saya memanggilnya cing (encing), karena memang paman. Sebenarnya adik sepupu Babe. Keahliannya diturunkan kepada anak-anaknya antara lain Bang Merup (Mahrup) dan Marta. Lalu ahli bikin petasan lainya adalah H. Antih (adik Cing Salih), Bang H. Dalih, dan H. Mur (Mursalih).
Beberapa kali saya belajar bikin petasan kepada Cing Salih. Seingat saya, hanya empat jenis petasan yang dibikin, yaitu kecit (kecil), tanggung, gede, dan jangsue (jangwe). Petasan cabe dan banting baru terkemudian dikenal. Bahan membuat petasan adalah kertas, tanah liat, dan bumbu mesiu. Alatnya dari batang kayu sesuai ukuran dan besi ditunclebin di balok untuk nutup. Maka saya belajar ngelinting, nutup, bikin sumbu, nyumbuin, nutup atas, ngerenteng, dan ngiket. Karena masih anak-anak maka saya hanya diperkenankan bikin yang kecit.
Semua tahap harus dikerjakan secara baik dan benar, terutama ngelinting dan nutup. Nutup bagian bawah dengan tanah dan tunup atas yaitu menutup bagian atas dengan merapatkan bagian kertas setelah diisi bubuk mesiu dan disumbuin. Ini pun harus benar-benar rapat dan kuat. Jika kurang sempurna, maka hasilnya bantet atau melepes alias enggak bersuara. Kalau ngerenteng yaitu membuat rentengan sesuai panjang pendeknya. Ada yang semeter, semeter setengah, dua meter, tiga meter, dan seterusnya. Ngiket berarti mengikat petasan berbentuk lingkaran supaya enggak aur-auran (berantakan ketika dibawa).
Meskipun saya dapat membuat petasan, saya tidak pernah menyimpan petasan. Jika butuh atau maen petasan bersama teman-teman, saya membelinya. Biasanya jika kita lebaran ke rumah Cing Salih, kita dapat hadiah seikat petasan kecil yang jumlahnya 20 atau 30 biji ditambah jangsue lima biji. Kita senang jejingkrakan.
Malem tekebiran dan hari lebaran kita pesta petasan. Keramaian suara petasan beradu dengan suara tabuhan beduk dan pembacaan takbiran. Hari kedua lebaran umumnya kita ziarah kubur. Nah, pada ziarah kubur inilah kita perang petasan dan menyaksikan Bang Merup atawa Cing Saalih dan lain-lain beraksi membakar petasan rentengan sambil ditenteng. Luar biasa. Kita girang dan bahagia luar biasa.
Pernah sekali waktu kami asyik sambit-sambitan petasan, tiba-tiba Si Usup ngulun-ngulun alias jejemplingan (menangis dengan suara keras). Kita kaget ternyata petasan yang disundut Usup meledak di tangan. Jari tangannya putus. Ente pernah pasang petasan…? (Yahya Andi Saputra).