STERAWE ANAK-ANAK

NGUKUR DAN NYEDENGIN

CERITA PUASA ANAK BETAWI

Pengantar

Ahlan wasahlan syahri Ramadan.

Bulan puasa ini, laman www.kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masalah-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.

Salamat puasa. Raih predikat takwa.

NGUKUR DAN NYEDENGIN

Salah satu yang sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak pada bulan puasa adalah diajak ngukur dan nyedengin. Ngukur maksudnya mengukur baju dan celana. Nyedengin maksudnya memakai baju dan celana yang sudah ada untuk mendapat ukuran sesuai dengan besar kecil tinggi pendek badan kita. JIka dituntun diajak ngukur, waduuuhhh badan rasanya melayang. Girang enggak ketulungan.

Bagi anak kampung dai keluarga biasa, mengganti dan memakai baju baru hanya dimungkinkan pada saat lebaran. Oleh karena itu, setelah puasa masuk hari ke-10 (banya yang sudah ngukur sejak awal puasa), saya diajak Babe ngukur ke tukang jait (Jahit). Dulu di kampung saya orang yang buka jaitan antara lain H. Tirih (H. Syatirih), Bang Karim, Bang Tab (Tabronih). Karena kepandaian jahit-menjahit yang dikuasai Bang Karim dan Bang Tab, maka keduanya kemudian diterima bekerja di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan.

Saya tidak tahu dari mana kemahiran jahit-menjahit yang dikuasai oleh H. Tirih, Bang Karim, dan Bang Tab. Ketiganya sudah meninggal. Beberapa model pakaian dapat dibuatnya. Misalnya baju koko (sekarang disebut sadariah), gamis, pangsi (baju kampret), dan safari. Di ruang tempat menjahit saya lihat ada dua mesin jahit enjot merek Singer dan Butterflay. Tergeletak juga gunting, meteran, garisan, pinsil/kapur, kertas pola, jarum pentol, jepitan, dan beberapa lainnya. Di tahun-ahun kemudian dilenkapi dengan mesin obras. Sampai tutup (karena mesara tua) mereka tidak pernah menggunakan mesin jahit listrik.

Saya biasanya dibikinin baju dari cit (bahan pakaian) warna putih dan celana warna hitan atau biru. Pilihan warna ini diutamakan karena selepas lebaran baju dan celana ini dapat dipakai sekolah. Memang umumnya pakaian sekolah berwarna putih dan hanya punya satu stel. Saya tidak tahu apakah buju baru itu berbahan nilon, katun, linen atau dril. Saya hanya kenal nama citoron atau tetoron dan hero. Saya sangat girang karena sudah dibikinin baju baru.

Saya ingat, kami yang berumur di bawah 15 tahun dibuatkan baju tangan pendek dan celanan pendek. Sementara abang-abang yang sudah sekolah PGA dan SMEA dibuatkan celana ulur (celana panjang) dan baju tangan panjang. Biasanya yang sudah perjaka dibebaskan mencari bahan dan ngukur ke tukan jahit sendiri. Waktu sudah masuk sekolah Madrasah Aliyah Nurussadatain, saya pun bebas pergi ke tukang jahit.

Baju anak-anak muda era 70an

Model celana yang trend waktu itu adalah cutbray. Abang-abang saya pun bikin celana cutbray. Kalau mereka sedang berjalan bersama atau beriringan sering kami teriaki “woooiii… pake celana nyapuin jalanan…”. Waktu SMA, saya pun memakai celana cutbray. Sayangnya saya kurang memperhatikan baju yang dibikin untuk enyak, empok dan adik-adik perempuan. Tapi dari obrolan di antara mereka, saya dengar baju bebe, kurung, panjang, dan kebaya. Baju bebe mungkin dipengaruhi baju yang dipakai indo berupa baju terusan gaun dan rok.

Saya sering melihat enyak memakai baju kurung, kebaya panjang, dan kebaya pendek berbahan brukat dengan bawahan kain batik. Babe, karena seorang bengkong dan kadang main rebana ngarak (ketimpring), punya dua stel baju safari (baju model jas lengan pendek dengan saku empat — dada kanan kiri dan bawah kanan kiri — berbahan drill).

Setelah kelar ngukur, saya pulang dengan hati girang tak terkira. Sepanjang hari kita menunggu kapankah waktu ngambil jaitan tiba. Maksudnya mengambil baju yang sudah selesai dijahit di tukang jahit. Pernah sekali waktu kami diajak ngukur seminggu menjelang lebaran. Hati berdebar karena baju kelar dijahit malem takbiran. Biasanya baju yang baru selesai dijahit masih ada bekas kapur atau sisa benang yang nggelambir. Itulah yang kami bersihkan. Atau baju itu dicuci dan disetrika agar lebih necis. Dulu biasanya enyak mencuci dengan tajin, supaya lebih kaku, tidak mudah kusut, dan mudah digosok atau disetrika. Terlihat jelas garis-garis bekas setrikaan pada bagian-bagian tertentu.

Penulis, mao nyedengin baju

Ente masih ingat setrikaan yang dulu kita punya? Ya, terbuat dari besi atau kuningan dengan alat bukanya berbentuk ayam jago yang jenggernya bagus. Jika akan digunakan diisi arang dan dibakar sampai arang merah dan panas.

Pernahkah ente diajak ngukur dan nyedengin? Siape tukang jaitnye? Gimane rasanye degdegan nungguin jaitan kelar? Uhuuuyy… (Yahya Andi Saputra)

Check Also

MALEM TUTUP BUKU

MALEM TUTUP BUKU

Malam Nisfu Sya`ban Tahukah anda bagaimana cerita panjang mengenai Bulan Sya`ban ? Jika dilihat hingga …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *