NGANAM KETUPAT

CERITA PUASA ANAK BETAWI

Pengantar

Ahlan wasahlan syahri Ramadan.

Bulan puasa ini, laman www.kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masalah-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.

Salamat puasa. Raih predikat takwa.

NGANAM KETUPAT

Hal penting yang membuat anak-anak girang pada bulan puasa adalah nganam ketupat. Nganam maksudnya menganyam (merangkai dengan cara tindih-menindih dan silang-menyilang) janur atau daun kelapa muda dibentuk menjadi ketupat. Sebetulnya di masyarakat Betawi, nganam ketupat tidak hanya menggunakan daun kelapa muda, tetapi juga daun pandan.

Dulu kalau dua hari lagi menjelang lebaran, saya selalu disuruh mencari daun pandan untuk bikin ketupat. Biasanya saya selalu mengajak Romlih, Oim, Samsuri, atau Tohir, dalam pencarian itu. Saya lebih sering meminta tolong kepada Samsuri (badannya lebih besar, tenaganya kuat, dan tidak pernah menolak) untuk memetik pandan. Pandan untuk ketupat bukan jenis pandan biasa. Pandan ini berduri tidak seperti pandan wangi atau pandan hias lainnya.

Biasanya pohon pandan duri ini tumbuh di bantaran sungai, di pinggir sawah, dan di bidang-bidang tanah tegalan. Ada beberapa tempat yang biasa kami datangi untuk mencari pandan ini. antara lain di pinggir kali dekat kober Beringin, sepanjang kali Gerogol (kini sungai ini sudah dikuasai lapangan golf Pondok Indah), tegalan yang memisahkan kebun Wa Nenen dengan kebun Haji Jeman, di turunan menuju rumah Mak Haji Simah, dan di sekitar kobak Wa Lihun. Kalo ternyata tempat-tempat itu sudah keduluan (didahului) orang lain, kita nyaho alias tidak mendapatkan yang kita cari. Memang semua orang pada saat yang bersamaan mempunyai kebutuhan yang sama atas daun pandan ini. Jika tidak dapat, terpaksa kita harus manjat pohon kelapa untuk mendapatkan janurnya.

Nganam Ketupat

Nganam ketupat bagi masyarakat Betawi merupakan keahlian yang diajarkan turun-temurun. Perjaka atau pemuda (bahkan para gadis pun) kudu mahir nganam ketupat. Perjaka yang tidak dapat nganam ketupat dianggap payah. Dulu memang ada kebiasaan nyoba atau ngetes (menakar kemampuan) seorang perjaka ketika bertandang nenamu ke rumah seorang gadis yang disukainya. Salah satu percobaan itu adalah meminta bantuan perjaka itu menganam kulit ketupat. Bisa atau tidak bisanya perjaka akan jadi ukuran kepribadian dan keterampilannya. Nganam ketupat, oleh orang Betawi, dimaknai sebagai kemampuan menjalani atau mengakrabi sifat-sifat hidup dengan dinamikanya yang bagaikan roda pedati. Hidup tidak selamanya senang, tenang, dan mulus membahagiakan, tetap sering sebaliknya. Hidup itu harus dijalani dengan disiplin tinggi. Hidup itu harus dijaga ekosistemnya (saling menjaga dan mengasihi) agar tidak berantakan. Begitulah seharusnya seorang perjaka memaknai keberadaannya di tengah masyarakat, terutama sesudah ia berumah tangga. Sebagaimana kemampuannya nganam ketupat, begitulah seharusnya roda kehidupan ini dijalaninya. Tidak mudah putus asa, tidah mudah terjebak hal-hal di luar nalar, tidak gampang mengumbar rahasia suka duka hidupnya. Hidup harus kuat menahan segala gempuran dari dalam dan luar dirinya.

Seperti kebiasaan anak-anak Betawi  di bulan puasa yang selalu ada di langgar (mushalla), maka saat kebersamaan dengan orang-orang yang lebih tua darinya, senantiasa ada sesuatu yang diserap atau dipelajarinya. Jika orang-orang dewasa nganam ketupat, serenta dengan itu, anak-anak minta diajarin (belajar bagaimana caranya nganam) kepada orang dewasa. Bagi anak-anak yang otaknya encer, belajar nganam tidak memerlukan waktu lama. Lima menit saja dia sudah dapat nganam. Saya termasuk otak sedeng, sehingga butuh beberapa waktu sampai bisa nganam. Saya ingat sering minta diajarin kepada Bang Asmat, Bang Madnur (H. M. Noer), Bang Tab (Tabronih), Bang Haji Dali (Madalih) bahkan kepada orang yang lebih senior seperti Haji Juki, Haji Ihsan, Haji Daam, dan Haji Ahmad.

Ketupat Bawang

Ada beberapa jenis anaman (anyaman) ketupat yang diajarkan, namun tidak semua jenis dapat saya diselesaikan dengan sempurna karena faktor kesulitannya. Ada jenis anaman bawang, pedet, kodok, jago, tumpeng, debleng, dan panggang. Sebetulnya masih banyak lagi jenis anaman ketupat, tapi lupa. Dari semua jenis itu, saya (sampai saat ini) hanya dapat nganam dua jenis, bawang dan pendet. Ketika kemudian saya menjadi ketua remaja masjid, saya mengkoordinir teman-teman untuk nganam kulit ketupat dan menjualnya. Lumayan lancar dan banyak emak-emak yang pesan kepada remaja masjid. Kami girang karena keuntungannya dapat dijadikan modal untuk menyewa bus untuk pergi piknik ke Pangandaran atau Pelabuhan Ratu.

Dulu ada beberapa orang yang ketupatnya luar biasa. Maksudnya pas ukuran kekenyalan dan rasanya. Orang-orang itu antara lain : Hajjah Halifah (enyak saya), Hajjah Salamih, Hajjah Salamenah, Hajjah Jamilah, Hajjah Saitim, dan Hajjah Ainun. Ketupat bikinan mereka yang paling baik yang pernah saya nikmati. Mengenai rasanya, ketupat yang dibuat menggunakan daun pandan akan lebih wangi dan nikmat. Pulen dan legit serta semakin menggigit jika dikuahin dengan sayur sambel godog, gulai ayam, atau semur daging. Sepengalaman saya, ketupat itu lebih awet ketimbang buatan orang lain yang tiga hari saja sudah basi. Mungkin karena pilihan beras, ukuran, dan tambahan bahan lain ketika direbus. Lebaran tanpa ketupat dan sayur sambel godog, semur atau gulai rasanya cemplang.

Siapa yang masih bisa nganam ketupat? Nyok… kita bikin. (Yahya Andi Saputra).

Check Also

MALEM TUTUP BUKU

MALEM TUTUP BUKU

Malam Nisfu Sya`ban Tahukah anda bagaimana cerita panjang mengenai Bulan Sya`ban ? Jika dilihat hingga …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *