GESAH ANAK BETAWI
Assalamualaikum warahmatullahwi wabarakuh
Tabè…!
Kite bersyukur kepada Allah yang telah memberika rezeki tiada terhingga, shalawat dan salam kepad junjungan nabi cemerlang, Muhammad SAW. Kami munajat semoga nyak, babe, abang, mpok, encang, encing senantiasa berada dalam lindungan dan ridla Allah azza wajalla. Amin ya mujibassailin…
Laman www.kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel dengan tema besarnya GESAH ANAK BETAWI. Gesah itu bahasa Betawi dari bahasa Arab. Dalam Bahasa Indonesia menjadi kisah. Gesah Anak Betawi berarti kejadian, cerita atau riwayat dan sebagainya dalam kehidupan sehari-hari yang dialami anak Betawi. Gesah ditulis oleh Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi. Kami berharap tulisan-tulisan ini dapat menambah informasi tentang kebetawian. Paling tidak menjadi ajang belajar bagi penulisnya. Saling berbagi dan mengisi, itulah misi Gesah Anak Betawi.
Semoga apa yang kami ikhtiarkan ini mendapat tanggapan positif dari pembaca dan peminat kebetawian. Atau menjadi ruang dikusi dan jika berkenan berilah kritik dan saran konstruktif dan mencerahkan. Lebih dari semuanya, kami munajat kepada Rabbul Izzati agar ikhtiar ini mendapat keberkahan dan ridlaNya. La haula wala quwwata illa billahil aliyyil adzim.
Wassalamualaikum
Tabè…!
ALIP-ALIPAN
Sekitar usia empat atau lima tahunan, babe membelikan kain sarung kemudian menuntun dan mengajak saya sembahyang magrib di langgar Alfurqon. Itulah untuk pertama saya benar-benar diperintah untuk sembahyang berjamaah mengikuti tatacara sembahyang sebagaimana seharusnya. Dua dan tiga hari berikutnya saya masih dituntun atau diingatkan untuk pergi ke langgar. Namun pada hari kelima dan untuk waktu-waku sembahyang di hari-hari selanjutnya saya sudah tidak dituntun lagi, melainkan berangkat sendiri. Karena ternyata langgar tempat yang asyik bagi anak-anak. Banyak anak-anak sebaya yang begitu mudah diajak menjadi teman dan bermain atau ngaji bersama.
Langgar Alfurqon ini, didirikan oleh Baba Haji Minan sekitar tahun 1940-an. Kami biasa menyebut haji dengan aji. Sehingga jika kami menyebut Baba Aji Minan berarti Bapak Haji Minan. Saya ingin sedikit menyinggung soal silsilah keluarga. Baba Haji Minan bin Jimun ini berbini dengan Mak Hajjah Salamih bin Nisin. Mak Hajjah Salamih bin Nisin ini adalah empok atau kakak babe. Maka Baba Haji Minan adalah abang ipar babe. Seharusnya saya memanggil Baba Haji Minan, encang. Tapi sudah menjadi kebiasaan menyebut baba atau enyak kepada abang atau empok dari orang tua kita. Babatua (engkong) Nisin bin Kiung menikah dengan Nyaktua Berah mempunyai delapan anak, yaitu Niah, Nair, Daim (Abdurrahim), Salamih, Rahmat, dan Zainabun. Babe saya, Haji Rahmat bin Nisin menikah dengan Hajjah Halifah binti Guru Haji Ending (Zainuddin). Babatua Ending menikah dengan Siti Aminah, mempunyai empata anak, yaitu Siti Hawa, Muhammad, Halifah, dan Ainun.
Konon cerita soal kawasan sekitar langgar Alfurqon jika saya enggak salah dengar dan tidak keliru mencatat, begini. Suatu pagi sesudah ngaji, Baba Aji gesah soal tamu misterius yang berbusana cara haji. Tamu itu katanya berasal dari kulon (tidak dijelaskan yang dimaksud kulon itu daerah mana), juga tidak disebutkan namanya. Nenamu atau bertandang ke rumah baba aji menjelang Asar. Sesudah sembahyang Asar berjamaah, kongko atau ngobrollah mereka seraya ditemani gahwe (kopi) dengan ketimus. Di tengah-tengah kongko itu tiba-tiba sang tamu bangkit dan mengambil ranting seukuran 30 sentimeter. Ranting itu kemudian diulukin (dilontarkan ke atas) dan jatuh tidak jauh dari lokasi kongko. Menunjuk tempat jatuhnya ranting itu, sang tamu berucap, “Nanti kawasan ini akan ramai menjadi tempat orang belajar”. Sang tamu tidak menguraikan apa maksud ucapannya. Baba Aji pun tidak bertanya apa makna ucapan sang tamu. Sang tamu pamit. Waktu berlalu. Apa yang diucapkan oleh sang tamu seolah-olah menguap begitu saja.
Tahun 1967 Baba Aji mengundang beberapa orang untuk ngobrolin (membicarakan) pembangunan madrasah. Orang tua itu atara lain Haji Paun, Haji Jaya, Haji Rajat, Haji Penan, Haji Muhammad Idris Kadun, dan Haji Idris Kaisan. Orang yang diuang itu brsedia membantu merealisasikan pendirian gedung madrasah. Berdirilah dua lokal bangunan madrasah saparuh batu berdinding gedek (dari anyaman bambu). Madrasah iu kemudian diberi nama Al-Hurriyah, yang artinya merdeka. Merdeka atau memerdekakan masyarakat dari buta huruf latin, memerdekakan masyarakat dari kebodohan. Mungkin didirikannya madrasah inilah makna atas ucapan tamu misterius beberapa waktu lampau.
Saya termasuk murid angkatan pertama. Dua lokal (ruang kelas) pun penuh dengan anak-anak umur enam sampai 12 tahun. Saat itu (1970-an) di lingkungan kami ada tiga sekolah dasar negeri (SD Cipete, SD Lebak Bulus, dan SD Pondok Labu) dan madrasah ibtidaiyah (MI Al-Hurriyah, MI Namaratul Islam, MI Al-Hidayah, dan MI Unwanul Falah). Pada sekolah itulah abang, empok, dan anak-anak kampung kami bersekolah.
Sebelum dimasukan madrasah, sebenarnya saya sudah belajar alip-alipan di langgar Al-Furqon dibawah bimbingan Baba Aji Minan. Teman-teman sebaya yang memang selalu tidur di langgar dan ngaji adalah Gepeng, Basir, Munirih, Romlih, Daroh, Muroh, dan Awih. Baba Aji mengajar alip-alipan dengan telaten meski sering ngomel jika kita lambat menyerap ajarannya. Basir yang sering mendapat omelan lantaran dianggap lamban menangkap pelajaran. Kami belajar alip-alipan kepada Baba Aji benar-benar dari dasar. Belajar mengenal huruf hijaiyah, makhraj huruf, hukum huruf, dan sifat huruf. Kita dipaksa dapat membedakan tempat keluar huruf, mengucapkan huruf yang bedekatan. Huruf alif dengan ain, ha kecil dengan ha besar atau ha dengan kho, dal dengan dzal, kaf dengan kof, sin dengan syin, syin dengan tsin, dan sebagainya.
Makhraj huruf itu artinya tempat keluarnya suara ketika mengucapkan huruf. Lidah memegang peran penting dalam makhraj huruf. Mana huruf yang diucapkan dengan menempelkan ujung lidah ke gigi, mana yang harus membuka mulut, mana yang harus melalui tenggorokan, mana yang harus memonyongkan bibir, mana yang merapatkan bibir lantas membukanya, mana yang harus menekan tenggorokan, dan seterusnya. Bagi kami, pelajaran ini ternyata bukanlah masalah gampang.
Sesudah memahami makhraj huruf, hukum huruf, dan sifat huruf pelajaran ditingkatkan mengeja dengan tanda baca fathah, dommah, kasroh, fathatain, dommatain, dan kasrotain. Alif fathah a, alif kasroh i, alif dommah u; a i u. Alif fathatain an, alif kasrotain in, alif dommatain un; an in un. Atau ada model pengenalan lain, seperti alif dua di atas an, alif dua di bawah in, alif dua di depan un; an in un. Begitu seterusnya sampai huruf terakhir, huruf ya. Kami diminta membaca dengan keras dan berulang-ulang. Ramailah suara kami dengan melafalkan huruf alif fathah a, alif kasroh i, alif dommah u; a i u. Alif fathatain an, alif kasrotain in, alif dommatain un; an in un. huruf ba, ban bin bun; huruf ta, tan tin tun; huruf tsa, tsan tsin tsun, huruf jim, jam jim jum, dan seterusnya.
Setelah kami benar-benar fasih (banyak teman-teman yang sampai dewasa tidak dapat mengucapkan huruf dengan fasih) lalu dikenalkan dengan surat kecil. Surat kecil maksudnya surat-surat pendek yang terdapat pada juz ke-30. Memasuki pelajaran surat kecil, kita dikenalkan dengan panjang pendek bacaan. Mana yang dibaca satu alif, dua alif, tiga alif dan seterusnya. Satu alif dibacanya dua harkat harkat, dua alif dibaca empat harkat, tiga alif dibaca enam harkat, dan setrusnya. Harkat itu sama dengan ketukan. Kita dibimbing lalu diminta untuk mengikuti cara baca Baba Aji dan menghafalkannya. Memang biasanya ada 13 surat pendek yang wajib kita hafal, yaitu surat ke-102 sampai 114. Bagi anak-anak, 13 surat itu wajib dihafal karena merupakan bacaan paling dasar untuk ibadah wajib sembahyang (shalat).
Belajar alip-alipan tahap paling pundamental mengenal huruf hijaiyah sampai detil-detilnya. Dan ternyata enggak seujung kuku acan dari seharusnya kami memperlajari Quran. Bahkan sejujurnya belum apa-apa. Belajar alip-alipan hanya cara memperkenalkan dan mengikat anak-anak untuk mau belajar Quran. (Yahya Andi Saputra).