PUISI DI ANTARA PROTES DAN DIDAKTISME

PUISI DI ANTARA PROTES DAN DIDAKTISME

Pengantar
Penyair Yahya Andi Saputra, menerbitkan kumpulan puisi berjudul DOL. Antologi yang diterbitkan Teras Jakarta itu dibedah dan didiskusikan pada Jumat, 5 Juli 2024, bertempat di Aula PDS HB Jassin, Gedung Ali Sadikin lt. 4, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. Selain Firmansyah (Kadispusip DKI Jakarta) dan Roni Adi (Ketua Betawi Kita) memberi sambutan, tampil sebagai narasumber Zen Hae (penyair dan kritikus sastra) dan Ige Azmin (dosen UNJ dan peneliti tradisi lisan) serta dimoderatori oleh Nicky Rosadi. Beberapa penyair tampil membacakan puisi dari buku puisi DOL. Antara lain Ical Vrigar, Imam Ma’arif, Sam Muchtar Chaniago, Tuti Tarwiyah Adi, Remmy Novaris DM, Piet Yuliakhansa, Wahyu Toveng, Samsuddin Bahar Nawawi, Mae Saphira.
Artikel di bawah ini ditulis oleh Zen Hae, yang merupakan analisanya atas buku puisi DOL. Selamat membaca.

 

Zen Hae

Membaca puisi-puisi Yahya Andi Saputra dalam Dol (Teras Budaya Jakarta, 2023) kita menyaksikan kembali semburan pemikiran dan perasaan seorang penyair dalam kata-kata yang seakan-akan tiada habisnya. Kendati demikian, puisi-puisi yang penuh semangat itu selalu bisa dihimpunkan ke dalam dua jenis: didaktisme dan protes. Puisi didaktis akan menjadi bacaan orang-orang yang mencari hikmah-kebijaksanaan di tengah kehidupan yang penuh dosa dan kebodohan, sedangkan puisi protes cocok untuk mereka yang membutuhkan heroisme dalam kehidupan yang penuh ketidakadilan.

Meskipun tumbuh dalam kompleks puisi Indonesia, puisi-puisi Yahya menampilkan bentuk yang “agak laen”. Puisi-puisinya nyaris tanpa bentuk. Atau, ia menjauhi bentukbentuk dominan puisi Indonesia modern—puisi lirik, misalnya—tetapi juga tidak mengambil ilham dari bentuk-bentuk lain dari luar sana yang mungkin menarik untuk mengembangkan dirinya. Puisi-puisi Yahya asyik dengan dirinya sendiri, sehingga ia lupa atau tidak memperhitungkan sama sekali rupa dan watak para tetangga di sekitarnya.

Jika Yahya peduli pada bentuk, itulah soneta. Dalam puisi-puisi jenis ini—kebetulan ia menjudulinya dengan “Soneta—Yahya sebenarnya hanya meminjam bentuk sajak klasik asal Italia yang 14 baris itu, setelah itu ia bebas mengatakan apa saja tentang kehidupan di dunia fana ini. Periksalah, kalimat-kalimat yang digunakan—ya, Yahya menggunakan satuan kalimat dalam puisinya, bukan frasa—lurus-lurus saja. Setiap kalimat akan selesai dalam satu larik. Jika larik-larik itu disambungkan maka ia akan menjadi satu paragraf. Perhatikan: Tidak ada titik di tengah larik-larik puisi Yahya! Dengan kata lain, puisi-puisi Yahya sebenarnya puisi naratif atau prosa yang meminjam jubah puisi.

Dalam tuturan yang naratif-prosaik itu, kita tidak akan pernah menemukan tikungan atau sendatan. Katakanlah, “rumpang sunyi” yang mendorong pembaca untuk ikut menunda pemahaman yang final akan puisi. Akan lebih sulit lagi jika harus menemukan perangkatperangkat lain yang umum dalam sebuah puisi: disonansi, aliterasi, enjambemen . . . atau stilistika lainnya. Yang paling gampang ditemukan adalah rima akhir, pada sajak-sajaknya yang tiga atau empat seuntai. Atau, jukstaposisi. Bukan pada kata atau frasa yang menampilkan citraan tertentu, tetapi pada larik atau kalimat.

Kenapa begitu? Apakah Yahya kepingin hadir dengan puisi-puisi yang melampaui semua kemahiran sastrawi? Jika iya, apa yang menjadi pertaruhannya? Apakah ia menawarkan bentuk baru? Ternyata tidak juga. Yang menjadi perhatian Yahya bukanlah bentukbentuk puisi, tetapi muatannya. Dalam muatan puisi kita temukan sikapnya yang permanen tentang sesuatu di luar puisi, bukan sesuatu di dalam atau mengenai puisi itu sendiri. Subjek lirik puisi-puisinya sudah memantapkan diri dengan sikap tertentu yang relatif stabil dan lurus arahnya. Dari segi moral, misalnya, ia memihak kepada moral religius yang dalam kehidupan sehari-hari dipegang oleh kaum pendakwah atau pejuang keadilan sosial (SJW). Itulah kenapa puisi-puisinya bisa dihimpunkan ke dalam dua golongan: didaktisme dan protes.

Strategi penulisan puisi yang seperti ini saya kira bisa dicari dari sikap penyairnya sendiri. Dalam hal ini, Yahya sebagai penyair telah menyakini satu nilai atau ia telah berdiri di atas posisi tertentu yang dari situ ia melakukan penilaian akan dunia. Dengan kata lain, posisi moralnya relatif ajek sebagai pengkritik atau pencemooh dunia sosial kita yang brengsek. Ia bahkan menggunakan posisi moral religius untuk menghakimi apa-apa yang salah, apalagi jika itu menyangkut negara dan bagaimana negara mengurus rakyatnya— dalam hal ini Indonesia. Dengan posisi yang stabil ini Yahya menurunkan sikapnya kepada subjek lirik puisi-puisinya dan dari situ kita akan melihat betapa yakinnya si pengujar puisi akan nilai-nilai moral yang telah dianutnya.

Dalam keajekan posisi ini tidak ada lagi tempat untuk menyangsikan sikap atau bahkan mengkritik diri sendiri. Subjek lirik puisi tidak punya kesempatan untuk menunda aksi moralnya atau menimbang ulang apa-apa yang hendak dikatakan. Semuanya akan meluncur dengan lancar, lurus ke arah sasaran kritik. Puisi di sini telah menjadi medan para kritikus moral untuk menjatuhkan dakwaannya terhadap segala mala. Ia hendak mencapai sesuatu yang ideal dalam puisi: Menyadarkan pembaca. Pembaca di luar sana adalah subjek yang perlu disadarkan akan pelbagai bahaya: totalitarianisme negara, kerusakan lingkungan, dekadensi moral, kekejaman Israel terhadap Palestina, meningkatnya populasi para pendosa dalam masyarakat madani kita.

Dalam puisi didaktis, ada perbedaan pemosisian antara si pengujar puisi (subjek lirik) dan pendengarnya (pembaca). Subjek lirik dalam hal ini membayangkan dirinya sebagai yang lebih tinggi dalam hal pengetahuan dan kebijaksaan hidup yang karenanya ia perlu memberikan arahan pengetahuan dan moral anutannya itu kepada pembaca yang dianggapnya lebih rendah pengetahuan dan kebijaksanaannya. Pembaca dalam hal ini adalah sasaran pengajaran subjek lirik agar kelak setelah membaca ujaran-ujaran puitis itu ia bisa beroleh pengetahuan dan kebijaksanaan yang lebih. Paling tidak, ia akan meninggalkan apa-apa yang dinilai buruk dan beralih kepada kebaikan. Sebuah pemosisian diri yang bersandar kepada Kitab Suci—dalam hal ini, Quran dan Hadits.

Apakah dengan begitu puisi-puisi didaktis otomatis buruk? Tidak juga. Tergantung konteks zaman dan kepentingannya. Pada masa lalu, dalam khazanah puisi Melayu abad ke-16, kita mengenal Hamzah Fansuri, seorang penyair didaktis terbaik dalam khazanah ini. Puisi-puisi Hamzah Fansuri yang berupa syair itu penuh muatan filsafat dan permainan bahasa campuran, antara Melayu, Arab, Persia, dan entah apa lagi. Semangatnya menubuhkan filsafat ke dalam puisi membuat syair-syair Fansuri tidak mudah dicerna oleh pembaca awam dan dipandang sebagai risalah filsafat dan agama dalam wujud puisi.

Bisa jadi Yahya bekerja dalam sinaran Hamzah Fansuri—meski dugaan ini perlu penyelidikan lebih lanjut. Tetapi, yang jelas, ia juga mengambil ilham dari puisi-puisi protes yang pernah ada. Dari Rendra atau Wiji Thukul, misalnya. Bedanya adalah pada permainan bahasa, pada seni menenun kata-kata sebagai wadah utama puisi. Yahya terasa kedodoran di sana-sini, tetapi semangatnya untuk menghidupkan lagi puisi didaktis dan protes perlu juga diapresiasi—meski dalam sudut pandang yang kritis.

Dalam lanskap puisi Indonesia modern, didaktisme muncul sejak kali pertama. Para penyair generasi pertama Indonesia memanfaatkan puisi jenis ini untuk menggugah kesadaran pembaca betapa Indonesia ini mulia, punya masa silam yang megah, dan kita perlu berjuang untuk kemerdekaan bersama. Kesadaran kebangsaan harus muncul setelah pembaca membaca puisi-puisi seperti ini. Kini, Yahya ingin mengulangi lagi didaktisme itu dengan orientasi yang sedikit berbeda. Posisi moral si penyair jelas sudah di awal dan bagaimana ia menghendaki pembaca bersikap setelah membaca puisi-puisinya. Namun, bagaimaan puisi dengan hasrat didaktis dan kritik sosial yang kuat harus hadir dalam situasi sekarang ini?

Atau, pertanyaannya mesti digeser sedikit: Bagaimana puisi yang berhasrat didaktis dan kritis itu membangun dirinya? Dengan pertanyaan ini saya sebenarnya sedang mendorong Yahya untuk lebih peduli kepada segi ketukangan dalam menulis puisi (craftsmanship). Jika Dol ditempatkan dalam lanskap puisi Indonesia modern hari ini, maka ia juga bisa diperbandingkan dengan puisi-puisi sejenis atau puisi lain yang pernah dan masih ada. Hanya dengan perbandingan sebuah karya akan kelihatan kekuatan sekaligus kelemahannya, akan kelihatan di mana ia tumbuh dan bagaimana seorang penyair membangunnya.

Saya kutipkan puisi “Dol-1”:
Negeri pijakan kita ibarat kapal sudah dol
Nakhoda, mualim, dan matros paling berkuasa
Pemodal, juragan, dan penumpang eksekutif
Paling eksklusif dan berhak menentu arah
Kapal dirongrong dijadikan alat keruk
Memuaskan napsu liar dan kemaruk
Cerita orang yang mengikuti arus zaman
Paham sepak terjang Mur Jangkung
Ulah bule, kuning, hitam, dan ular kepala dua
Dengan kuasa di tangan kejam tak berkata
Berabad kapal dijajah dijarah seluruh dayanya
Kapal molek itu ringkih bocor di sana sini
Dol semua pasak dan temali pengikatnya
Nakhoda, mualim, matros, juragan, terus saja pesta
Jakarta, 04.02.2023

Jika diteruskan, sebenarnya, puisi ini tidak ada ujungnya. Sebab, yang disorot Yahya adalah situasi bobrok Republik Indonesia di tangah komplotan kaum oligarki. Semangat puisi ini jelas: memprotes keadaan. Tujuannya: menyadarkan pembaca bahwa situasi Indonesia tidak aman-aman saja, ada masalah serius yang merundung kita. Untuk sampai kepada tujuan itu, maka penyair tidak menggunakan kata-kata yang sulit dipahami. Meskipun ada perumpamaan di situ, kita bisa dengan mudah menangkap maksudnya. Dengan kata lain, penyair menempuh cara yang paling aman agar puisinya diterima pembaca. Permainan bahasa semaksimal mungkin dikurangi, agar tidak menyulitkan pembaca. Puisi harus hadir sebagai sebuah keterusterangan tentang dunia,
bukan sebagai misteri yang perlu dipecahkan.

Melalui puisi ini terpenuhilah hasrat didaktis dan protes seorang penyair. Kita bisa menemukan puisi-puisi lainnya yang bersemangat seperti ini. Bahkan, kita bisa juga menemukan renungan-renungan lain tentang sejarah dan kehidupan kota—Jakarta, terutama, sebagai locus penting puisi-puisi Yahya—tentang kesetiakawanan
antarbangsa, tentang desa yang digencet pariwisata, tentang iman yang terancam oleh gemerlap dunia . . . dan seterusnya. Semua itu digunakan Yahya untuk membuat puisipuisinya
lebih berbunyi, lebih mendekati pembaca—meski, sejatinya, ia kurang mewaspadai atau tidak peduli pada bahaya lain yang mengintainya: klise.

Namun, Dol sudah hadir di antara kita. Kita mesti angkat topi untuk semangat menerbitkan buku ini. Jika ada kritik lain adalah satu lagi—maaf-maaf—buku ini diproduksi dengan kualitas rupa dan tata letak yang buruk. Lagian buku ini juga aneh. Bagaimana mungkin sebuah buku yang diterbitkan pada Juli 2023 bisa memuat puisi yang ditulis pada 3 Desember 2023. Coba kasih saya paham, Bang?

Kembangan Selatan, 5 Juli 2024

 

Check Also

Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 29)

Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 29)

Pengantar – Di ranah kesenian Betawi ada istilah Tukang Gesah yang tiada lain adalah Tukang …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *