
kebudayaanbetawi.com, Timus Betawi merupakan salah satu kue tradisional, yang menjadi bagian dari identitas kuliner tradisional Betawi. Tidak ada nama lain untuk merujuk makanan ini di masyarakat Betawi. Timus Betawi, kue berbahan dasar singkong yang berasal dari Betawi ini berbentuk lonjong (silinder) yang digulung dengan daun pisang dan bagian atas dan bawahnya dibiting (ditusuk) menggunakan bambu atau lidi berukuran tusuk gigi. Hal ini yang membedakan dengan Timus Betawi dari daerah lain (Jawa), dari segi bentuk yang rata-rata berbentuk gepeng atau pipih. Timus Betawi adalah salah satu kue tradisional yang berasal dari masyarakat Betawi, khususnya di wilayah Betawi Pinggiran. Makanan ini termasuk dalam kategori jajanan pasar yang dibuat dari bahan dasar singkong yang diparut dan dicampur dengan gula merah atau gula jawa serta kelapa yang dipotong kecil-kecil dan pipih (kira kira berukuran 1 cm). Timus Betawi kemudian dibungkus menggunakan daun pisang dan dikukus hingga matang, menghasilkan tekstur yang lembut serta rasa manis yang khas. Sebagai bagian dari warisan kuliner Betawi, Timus Betawi tidak hanya berfungsi sebagai makanan ringan, tetapi juga memiliki makna nilai sosial dan budaya dalam berbagai kegiatan masyarakat, sebagai pemersatu warga Betawi dilingkungannya.
Timus Betawi memiliki ciri khas (keunikan) yang membedakan dengan timus yang lain, yaitu pada bahan dan cara pembuatannya yang sederhana namun kaya akan cita rasa. Singkong yang menjadi bahan utamanya mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan hasil bumi yang melimpah di lingkungan masyarakat Betawi. Proses pembuatannya dimulai dengan, 1) memilih singkong (biasanya menggunakan singkong mentega) yang masih segar, biasanya ditandai dengan kulitnya yang mudah dikelupas dan tidak memiliki banyak bercak, 2) mengupas singkong dan mencucinya hingga bersih, 3) singkong diparut hingga halus, 4) Campurkan dengan kelapa kelapa yang dipotong kecil-kecil serta gula merah untuk memberikan rasa manis yang khas, 5) Diadonin sampai rata, 6) adonan dibungkus dengan daun pisang berbentuk bulat memanjang yang kedua ujungnya di-biting (ditusuk) dengan potongan lidi, 7) Kukus hingga matang sampai tercium aroma harum dari kombinasi gula merah dan daun pisang yang khas.

Timus Betawi biasanya disajikan dalam ukuran kecil yang praktis untuk dikonsumsi. Kudapan ini sering menjadi pendamping teh atau kopi pahit, yang berfungsi sebagai penyeimbang rasa. Karena rasanya yang manis dan teksturnya yang lembut, Timus Betawi menjadi pilihan favorit dalam berbagai acara keluarga, tasyakuran, dan pertemuan sosial. Selain menjadi bagian dari kuliner sehari-hari, Timus Betawi juga sering dihidangkan dalam acara adat Betawi, menunjukkan keberadaannya yang kuat dalam budaya masyarakat. Saat ini Timus Betawi sudah banyak dikenal oleh masyarakat di Jakarta, sudah banyak pula para pedagang yang menjajakan Timus Betawi bersama dengan makanan lain seperti ubi rebus, jagung rebus, dan lain-lain sehingga Timus Betawi tidak hanya dikenal oleh masyarakat Betawi, tetapi juga masyarakat etnis lain yang tinggal di Jakarta.
Sejarah Timus Betawi tidak dapat dipisahkan dari tradisi agraris masyarakat Betawi, terutama di wilayah pinggiran yang memiliki akses terhadap hasil bumi seperti singkong. Masyarakat Betawi sejak dahulu telah terbiasa mengolah bahan pangan yang tersedia secara lokal menjadi berbagai jenis makanan, termasuk Timus Betawi. Penggunaan gula merah dalam Timus juga mencerminkan pengaruh kuat dari teknik memasak yang berkembang di Nusantara, dimana bahan pemanis alami seperti gula aren sering digunakan dalam berbagai kuliner tradisional.
Timus Betawi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Betawi sejak lama dan sering dikaitkan dengan berbagai ritual sosial dan keagamaan. Pada masa lalu, Timus Betawi disajikan dalam acara-acara adat seperti sedekah bumi, tasyakuran, dan hajatan sebagai simbol rasa syukur atas hasil panen dan keberkahan yang diberikan oleh alam. Dalam perkembangannya, Timus Betawi tetap bertahan sebagai salah satu kudapan khas Betawi meskipun keberadaannya mulai jarang ditemukan di pasar modern. Namun, dalam acara-acara kebudayaan dan festival kuliner khas Betawi, Timus Betawi masih sering dijadikan sebagai bagian dari representasi warisan kuliner masyarakat Betawi.

Sebagai bagian dari budaya kuliner Betawi, Timus Betawi memiliki nilai dan fungsi yang lebih dari sekadar makanan. Secara sosial, Timus Betawi menjadi simbol kebersamaan dan kehangatan dalam masyarakat. Kue ini sering disajikan dalam berbagai acara keluarga, hajatan, serta pertemuan sosial sebagai bentuk penghormatan kepada tamu yang datang. Dalam konteks adat, Timus Betawi juga memiliki makna sebagai simbol rasa syukur dan berkah, terutama ketika disajikan dalam acara seperti tasyakuran dan sedekah bumi.
Selain nilai sosial dan budaya, Timus Betawi juga mencerminkan karakter masyarakat Betawi yang sederhana namun kreatif dalam mengolah bahan pangan lokal. Dengan bahan-bahan yang mudah ditemukan dan cara pembuatan yang sederhana, Timus Betawi menjadi contoh bagaimana masyarakat Betawi memanfaatkan hasil bumi dengan cara yang bijaksana. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi kuliner, Timus Betawi juga berfungsi sebagai penanda identitas budaya yang mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan warisan kuliner tradisional.
Timus Betawi mulai menjadi makanan diluar ritual ketika muncul para pedagang Bajigur awal tahun 1980-an dimana Timus Betawi merupakan bagian dari pada pengiring minum Bajigur. Biasanya masyarakat Betawi saat itu makan Timus Betawi pada saat sore hari ketika pedagang Bajigur berkeliling. Dari sisi manfaat Timus Betawi digunakan sebagai makanan penguat setelah beraktifitas kerja di siang hari serta menunggu waktunya makan di malam hari. Dengan kata lain, makan Timus di sore hari sebagai penjaga kondisi tubuh agar lebih bernutrisi.

Dengan nilai sejarah dan filosofi yang terkandung di dalamnya, Timus Betawi tidak hanya sekadar kudapan, tetapi juga bagian dari identitas dan warisan budaya yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Upaya untuk melestarikannya, baik melalui dokumentasi maupun promosi dalam berbagai acara budaya, menjadi langkah penting agar Timus Betawi tetap dikenal dan diapresiasi sebagai salah satu kekayaan kuliner Betawi.
Proses pengolahan masakan Timus Betawi biasanya diturunkan oleh orang tua di Betawi kepada anak-anak perempuannya. Karena, meskipun memasak Timus terbilang mudah, akan tetapi tidak semua orang bisa mengolahnya dengan baik dan benar. Sebagai contoh di Kp. Rawajati, Kec. Pancoran, Jakarta Selatan, pada keluarga Hj. Saleha (alm. pada usia 83 tahun) yang mewarisi pengetahuannya dalam membuat Timus kepada anaknya yang bernama ibu Hamdah (alm. pada usia 65 tahun), kemudian Ibu Hamdah mewarisi pengetahuan tersebut kepada anak menantunya yang bernama Nurasih Wachidiati (53 Tahun).

Timus Betawi memiliki perbedaan yang tegas pada bentuknya, dan mudah dikenali ketika kita melihatnya secara langsung. Timus Betawi memiliki warna yang lebih bening (karena menggunakan gula aren, bukan gula jawa) dibandingkan yang berasal dari daerah lainnya, seperti Timus dari Jawa Barat; yang cenderung keruh. Timus Betawi agak bening seperti agar-agar, namun tetap kenyal ketika digigit. Timus Jawa berwarna keruh, dan tidak terlalu kenyal ketika digigit. Hal yang membedakannya adalah dari cara pembuatannya, seperti yang telah disampaikan di atas. Selain itu, potongan kelapa Timus Betawi lebih besar dan terasa “kress” ketika digigit. Berbeda dengan Timus Jawa Barat, yang jarang sekali ditemukan potongan kelapa di dalamnya, kalaupun ada, bentuknya adalah parutan kelapa (tidak lebih besar dari Timus Betawi).
