kebudayaan betawi – Sejarah Singkat kuliner Betawi memang belum tuntas diungkap. Banyak peminat kuliner Betawi berupaya dengan keras mengupas serta menggali sampai keakar-akarnya.
Itu di bale buat makan entar sore
Sayurnye lodeh sambel goreng campur pete
(Sayur Lodeh, Benjamin Sueb)
Di tengah perjalanan penelitian, akhirnya mereka menyerah, lantaran beberapa sebab. Misalnya keterbataan dana peneltian. Terus terang beberapa peneliti mempunyai keterbatasan pendanaan, karena ia hanya peneliti aponturir yang menjalankan penelitiannya sebatas hobi atau paling tidak hanya sebagai peneliti amatir. Ada dari kalangan kampus atau akademisi, pun begitu pula. Beberapa mahasiswa yang melakukan penelitian kuliner, mentok (terantuk dan tidak dapat melanjutan) karena tak mempunyai amunisi dana yang memadai. Beberapa sejarawan yang menekuni historiografi Betawi atau Jakarta pada umumnya, mengungkap bahwa hampir semua sumber primer baik berupa laporan dan catatan resmi pemerintah kolonial, dokumen rahasia, surat-menyurat resmi, catatan perjalanan pengelana sampai kepada buku dan dokumentasi lain perihal sejarah kolonial tersimpan di perpustakaan negara-negara lain di luar Indonesia.
Merujuk pada keterbatasan dana, benar belaka bahwa arsip dan buku sejarah tentang Betawi banyak menggunakan bahasa Belanda atau bahasa Inggris dan sebagainya. Kemampuan mahasiswa atau peneliti dalam memahami asing masih sangat terbatas. Kondisi ini semakin runyam, ketika orang-orang tua yang secara turun temurun mewariskan proses pengolahan kulinermeninggal satu demi satu. Dengan sendirinya pengumpulan bahan dokumentasi melalui cerita rakyat sangat tidak memadai.
Cerita rakyat atau folklore mampu memberikan input data yang amat berguna bagi proses penulisan sejarah. Folklore sebagai salah satu bagian ilmu yang dipelajari dalam bidang ilmu budaya bukanlah cerita isapan jempol. Folklore adalah budaya yang dapat digunakan sebagai jendela atau alat untuk memahami masyarakat atau komunitas penciptanya.
Dari folklore itu dapat dituturkan atau direkonstruksi proses kehadiran makanan tradisional Betawi. Proses itu terjadi atas pengalaman atau memperoleh masukan budaya berbagai etnik dan bangsa. Sejak abad ke 2, kawasan yang sekarang dikenal dengan Jakarta (dan sekitarnya), khusunya kawasan Bandar (Pelabuhan) Kalapa, telah menjadi kawasan internasional1. Di pelabuhan ini sudah terjadi interaksi antar etnik maupun bangsa secara intensif. Interaksi itu melahirkan proses asimilasi yang ketat sehingga memunculkan output yang unik dan khas. Jadi,
1 Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, Rintisan Penelusuran Masa Silam, Sejarah Jawa Barat, jilid I-IV (Bandung: Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerinta Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, 1983 – 1984).
proses kemunculan ragam makanan Betawi sangat rumit, saling tarik ulur, saling mempengaruhi dalam kekuatan masing-masing.
Banyak beredar asumsidari peminat kuliner Betawi, bahwa makanan Betawi, seperti Kerak Telor, dikatakan makanan kalangan atas pada masa kolonial, sekaligus sebagai simbol keprihatinan rakyat jelata Betawi. Apabila merujuk pada bahan-bahan yang digunakan untuk membuat Kerak Telor, maka pada asumsi saya, terbantahkanlah simbol keprihatinan. Beras ketan, misalnya, tak lazim disimpat di pendaringan orang miskin. Apalagi kemudian dijadikan makanan yang dimakan oleh golongan kelas bawah. Proses pembuatan Kerak Telor relatif unik dan rumit. Talenta seorang koki peracik Kerak Telor tak bisa muncul begitu saja, melainkan kreativitas dan inovasinya telah mendarah daging dalam menekuni masakan itu. Untuk mengatakan Kerak Telor merupakan makanan kaum elite Hindia Belanda, masih banyak yang keberatan. Untuk sampai pada kesimpulan itu,perlu dilakukan pengalian lebih khusus dan mendalam.
Makanan, apapun jenis, bahan, dan resepnya, pada hakekatnya dapat dibikin dan dimakan oleh siapa saja. Yang membedakannya justru terletak pada penyajian berikut properti atau alat sajinya, atau pada upacara apa manakan itu disajikan. Seorang yang sedang ngidam2, misalnya, dari kelas mana pun, pasti berusaha mendapatkan makanan yang diidamkannya dengan berbagai cara.
Kuliner Betawi berkembang sesuai dengan kondisi dan dinamika sosial ekonomi yang terjadi pada tiap zaman. Dari masa ke masa masyarakat Betawi melahirkan makanan yang dimasak dengan cara dibakar, digarang, disangrai, dikukus, direbus, dipermentasi, dan sebagainya. Tidak sedikit makan yang disantap mentah dengan proses olahan sederhana ditambah penyedap rasa. Makanan itu menggunakan bahan-bahan yang terdapat di lingkungan sekitar.
Masa-masa sulit di tengah kebijakan penjajahan yang tak berpihak kepada rakyat pribumi, melahirkan ragam makanan rakyat yang nampaknya dikreasi secara sederhana, baik pada bentuk maupun cara pengolahannya. Ragam makanan yang memanfaatkan bahan dari berbagai umbi- umbian, misalnya yang berbahan singkong, sepeti getuk, urap singkong, ketimus, tape, dan sebagainya, dapatlah dianggap sebagai makanan pada masa itu. Sayur-sayur yang diolah sederhana, seperti sayur bening, diperkirakan muncul pada masa itu pula.
Rakyat pribumi tetap tak mampu meniru gaya hidup atau cara-cara pengolahan makanan dan penyajian sebagaimana lazimnya tradisi makan kaum penjajah. Sebagaimana diketahui, keluarga penjajah atau tuan-tuan tanah memelihara paling sedikit 20 tukang masak terdidik dan pelayan di meja makan sebagai simbol keelitannya.Belum lagi kelompok pemain musik yang sengaja diperintah untuk menghibur tuan-tuan besar dan tetamunya yang sedang santap. Mereka memulai upacara makan dengan makanan pembuka, lalu makanan utama, dan makanan penutup. Itulah tradisi rijsttafel dalam gaya hidup dan pola makan kaum penjajah.
2Suatu perasaan yang dialami seorang perempuan yang mengandung, menginginkan sesuatu (makanan, minuman, dan sebagainya) dalam jangka waktu tertentu. Ngidam biasanya baru terasa pada usia kehamilan 40 hari dan biasanya pula, durasi ngidam tidak seragam. Ada yang merasakannya selama tiga atau empat bulan (wawancara dengan Hj. Annisa, 63 tahun, perias pengantin, 14 September 2020).
Namun penggunaan bumbu rempah-rempah telah coba diupayakan oleh rakyat pribumi seiring dengan berkembangnya tradisi kuliner dari bangsa serta etnik yang berdomisili di Bandar Kalapa (kemudian Sunda Kelapa dan Batavia). Rempah-rempah yang dominan dalam masakan Arab dan India, seperti jintan, kapulaga, cengkeh, kayu manis, wijen, dan minyak samin serta pemanfaatan santan menjadi kelaziman bagi masyarakat pribumi. Lihatlah pada soto tangkar, sayur bebanci, nasi goreng kambing, nasi kebuli, pacri nanas dan sebagainya.
Periode yang paling sengsara bagi masyarakat Betawi terjadi pada masa penjajahan Jepang,“Pokonya paling sengsara dah!”3. Jepang menguras seluruh sumber daya alam Indonesia yang diperuntukkan bagi topangan agresi militernya ke Asia dan seluruh dunia. Kesengsaraan semakin bertambah dengan diterapkannya romusha atau kerja paksa. Meski dalam jumlah hitungan hari relatif singkat, namun penjajahan Jepang meninggalkan “kesan” yang dahsyat bagi masyarakat Indonesia. Data sejarah dapat menunjukan jejeran panjang “kesan” itu. Jika ditambah dengan cerita rakyat maka data itu menjadi tak terhingga jumlahnya.
Dalam ingatan orang-orang tua, penjajahan Jepang, yang semula digembar-gemborkan sebagai saudara tua yang akan membebaskan dari segala penderitaan, ternyata justru semakin membuat rakyat menderita. Makanan kurang, pakaian kurang. Dengan serba kurang itu mengakibatkan tiap hari ratusan orang mati, yang kadang-kadang mayatnya tidak dapat diurus sebagaimana mestinya. Bahan apa saja dapat dijadikan sebagai kafan (kain putih pembungkus mayat), tidak peduli kain atau tikar rombèng (bahan atau kain yang sudah tua dan compang- camping) bahkan hanya ditutupi daun pisang.
Masa inilah hampir semua jenis tumbuhan yang hidup dijadikan sumber makanan oleh rakyat, tanpa memperdulikan dampakyang terjadi kemudian di belakangan hari. Rumput-rumput perdu, seperti pohon matahari-mataharian, pohon sengganian, bahkan empol(pangkal batang) pisang, empolpepaya dijadikan bahan sayuran. Variasi umbi-umbian pun bertambah pada masa ini, seperti suweg, kimpul, ganyong, angklik, ubi kelapa, ubi aung, gadung, dan sebagainya. Lahir kemudian sayur atau oseng jantung pisang, sayur rebung, sayur daon cocot gaok, sayur genjer, sayur eceng, nasi goreng daun mengkudu, nasi goreng daun kelor, nasi campur jagung, lalap- lalapan, kerak, bahkan jangkrik bakar, laron sangrai, dan sebagainya4.
Sesuatu yang paling diingat oleh masyarakat Betawi pada jaman Jepang adalah tuma, yaitu kutu yang terdapat pada pakaian. Pada masa itu, rakyat miskin memakai pakaian terbuat dari karung goni (kantung besar) atau berbahan karet. Kutu ini termasuk sadis dalam aksinya. Seseorang yang diserangnya merasa setengah mati menahan gatal, panas, dan perih. Kutu ini tidak bisa dibunuh dengan cara apapun. Seseorang marasa yakin kalau mencuci baju sekaligus membunuh tuma adalah dengan merendam di air mendidih. Upaya ini ternyata tidak berhasil.
4Wawancara dengan Bapak Amin (merbot, petani, 75 tahun), Terogong, Cilandak, Jakarta Selatan, 22 Januari 2020.
3Wawancara dengan Hj. Saomah (89 tahun, dukun beranak), Gandaria Selatan, Jakarta Selatan, 19 Februari 2020.
Tuma tatap bertahan. Tidak jelas kapan kutu ini hilang. Setelah Jepang angkat kaki, konon sang tuma pun tak terdengar lagi5.
Kehadiran makanan yang semula sebagai penopang atas rasa lapar dan memacu tenaga, kemudian hari berkembang sesuai dengan pengalaman dan kepentingan. Pengalaman mengajarkan bahwa rasa lapar kerap datang pada waktu-waktu tertentu. Jadi konsep makanan mengacu kepada aneka jenis flora dan fauna yang dibutuhkan manusia untuk menghilangkan lapar dan memacu tenaga. Makanan itu dapat mentah maupun hasil olahan atau matang. Maka diupayakan persediaan makanan untuk dapat dimakan pada waktu-waktu tertentu, seperti pagi, siang, dan malam. Kebutuhan ragam, rasa, dan pengolahan makanan tidak samaantara orang tua dengan anak-anak dan bayi. Dibuatlah makanan untuk masing-masing tingkatan, yaitu makanan untuk orang dewasa, anak-anak, dan bayi. Dari penggolongan itu pun masih terbagi lagi antara makanan pokok dan makan kecil. Makanan pokok terdiri atas nasi, sayur-mayur, lauk-pauk (daging, ikan, telor, tahu, tempe), buah-buahan, susu, dan sebagainya. Dalam konsep Indonesia disebut juga makanan yang memenuhi ketentuan empat sehat lima sempurna. Sedangkan makanan kecil, dalam tradisi Betawi disebut pengetean, yaitu aneka kue atau penganan yang dimakan pada waktu santai atau waktu kapan saja (ketika ada kunjungan tamu, kawan, keluarga) sesuai kebutuhan.
Makanan untuk orang dewasa tentu saja sangat bevariasi baik bahan maupun cara pengolahannya. Tetapi pilihan bahan dan pengolahan makanan untu anak-anak dan bayi, memerlukan kecermatan. Pada dasarnya semua bahan makanan dapat dijadikan makanan anak- anak dan bayi, tergantung bagimana kemudian pilihan bahan yang mendukung bagi tumbuh kembang dan kesehatan anak-anak dan bayi.
Makanan bayi yang utama adalah air susu ibu. Beberapa variasi makanan dipersiapkan sebagai makanan tambahan bervitamin yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan. Orang Betawi membuat makanan bayi berupa olahan nasi pisang siem, bubur,dan nasi tim. Nasi pisang siem – pisang siem rebus – diulek (dilumatkan) sampai halus dan lembut. Bubur berbahan pokok beras dan garam, dimasak sampai dengan air secukupnya. Bahan nasi tim teridir atas beras, sayur- sayuran, daging (ikan, ayam, telur), garam, bawang merah, dan air dimasak bersamaan sampai menjadi seperti bubur. Terkadang bayi disuapi pula telor setengah matang.
Makanan untuk anak-anak tidak terlalu jauh berbeda dengan makanan untuk orang dewasa. Hanya porsi dan rasanya saja yang berbeda.Misalnya, orang dewasa diperkenankan makan masakan yang pedas karena kemampuan daya tahan tubuhnya lebih baik. Sementara anak-anak dibatasi melahap masakan pedas dan beberapa minuman seperti kopi.
Perempuan dewasa yang sedang hamil mempunyai beberapa larangan atau pantangan menyantap makanan, seperti masakan daging ayam yang berpenyakit sampar, ikan yang berenangnya miring, daging babi, dan isi perut binatang ternak. Itu bertujuan untuk memelihara kandungan dan mencegah terjadinya keguguran.Sering terjadi anak yang dilahirkancacat secara fisik dan menderita penyakit ayan (epilepsi).
5 Konon diperkenal pula apa yang disebut dengan ‘kutu Jepang’, yaitu kutu berwarna hitam yang dipelihara di dalam toples berisi kapas. Jika rakyat sakit (apa pun jenis penyakitnya), maka diminumlah tiga ekor kutu ini.
Tiba saatnya hari-hari khusus dalam siklus kehidupan manusia, maka untuk menyambut saat istimewa itu makanan dipersiapkan secara khusus pula. Kualitas dan kuantitasnya jauh lebih bervariasi. Terutama jika makanan itu dipersiapkan untuk menyambut hari-hari besar, hari raya, dan upacara-upacara tertentu. Masyarakat Betawi berkeyakinan bahwa alam ini tidak hanya ditempati manusia tapi juga ditempati makhluk lain yang tidak mewujud yaitu makhluk halus. Agar tidak terjadi persinggungan kepentingan atau ketersinggungan, maka manusia melakukan komunikasi dengan menggelar upacara dan menyediakan sajen. Ini dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang harmonis dan stabil. Makanan beserta seluruh perlengkapan pendukungnya dibikin untuk tujuan sehari-hari dan selamatan (hari istimewa danupacara).
Makanan sehari-hari adalah makanan yang disediakan dan disantap sehari-hari, baik pagi, siang, dan malam hari. Nyarap atau sarapan dilakukan pagi hari. Orang Betawi tidak terlalu mementingkan apa menu nyarap, yang penting dapat mengenyangkan dan menambah tenaga untuk melakukan aktivitas mencari rezeki. Menu makan pagi dibuat dari berbagai jenis umbi (ubi jalar, singkong), pisang, jagung, terigu, beras dengan cara pengolahan digoreng, direbus, dikukus, atau dikombinasi serta ditumbuk. Disajikan bersama pelengkap lain seperti gula putih/merah, parutan kelapa dan teh pahit/manis, kopimanis atau kopi susu. Jenis makanan lain adalah nasi goreng, nasi uduk semur tahu/tempe/daging, ketan urap, lontong sayur, dan lai-lain.
Menu makan siang lebih bervariasi, terdiri atas nasi putih, sayur-mayur (sop, tangkar, asem, lodeh), lauk-pauk (ikan, daging, telor, tahu, tempe), sambal, emping/kerupuk, asinan, lalap dan buah-buahan. Tentu tidak semuanya terhidang, biasanya nemu harian terdiri atas beberapa pilihan. Misalnya jika memilih nasi putih sayur asem, maka kombinasinya adalah ikan asin atau pesmol, tempe, tahu, sambel terasi, kerupuk, dan lalap. Jika nasi putih sop, dilengkapi dengan perkedel, empal, sambal, emping, asinan, lalap. Sering pula orang hanya memilih gado-gado (komplit) sebagai menu makan siangnya.
Menu makan sore atau malam tidak berbeda dengan menu makan siang, hanya porsi buah- buahnnya lebih banyak. Dahulu orang Betawi tidak mengenal makan malam. Makan malam dilakukan sore hari sekitar pukul lima. Jika malam hari merasa lapar, maka mereka mindo, yaitu makan malam dengan sisa nasi yang ada.Biasanya tidak semua anggota keluarga mindo bersama, hanya bagi yang merasa lapar saja.
Pada bulan puasa, disunnahkan sahur, yaitu makan tengah malam atau pada pukul 03.00 dini hari sebagaipersiapan melakukan ibadah puasa esok harinya. Menu sahur sama saja dengan menu makan siang. Tetapi menu berbuka puasa lebih dominan unsurmanis, seperti kolak (penganan pisang tanduk, ubi jalar, kolang-kaling, pacar cina, yang direbus dengan gula merah dan santan), buah-buahan (khususnya korma), teh panas manis, rujak manis, es campur ketimun suri. Menu ini tidak mutlak, tergantung pula pada selera, tapi buah korma biasanya selalu tersedia. Manis dari buah korma berkhasiat menetralkan peredaran darah dan menambah tenaga.
Profil Sang Budayawan
Yahya Andi Saputra, Magister Susastra (Kajian Tradisi Lisan) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Aktivis dan praktisi kesenian Betawi. Ketua Asosiasi Tradisi Lisan DKI Jakarta.
Visiting Reseach Fellow, Research Institute for Humanity and Nature (RIHN), Kyoto, Jepang.
HP : 08158924545. FB : Yahya Andi Saputra. IG : @yahyaandisaputra
Karya Buku puisinya antara lain
2 editions published in 2000 in Indonesian and held by 28 WorldCat member libraries worldwide
Customs and rites of the Betawi ethnic group of Jakarta
2 editions published in 2002 in Indonesian and held by 18 WorldCat member libraries worldwide
4 editions published in 2008 in Indonesian and held by 17 WorldCat member libraries worldwide
Rites and ceremonies of Betawi people
2 editions published in 2014 in Indonesian and held by 16 WorldCat member libraries worldwide
History of Setu Babakan as preservation place of the indigenous Betawi culture in Jagakarsa, Jakarta, Indonesia
1 edition published in 2017 in Indonesian and held by 14 WorldCat member libraries worldwide
2 editions published in 1999 in Indonesian and held by 10 WorldCat member libraries worldwide
3 editions published in 2009 in Indonesian and held by 8 WorldCat member libraries worldwide
1 edition published in 2016 in Indonesian and held by 6 WorldCat member libraries worldwide
On modern kebaya of Indonesia
3 editions published in 2017 in Indonesian and held by 5 WorldCat member libraries worldwide
2 editions published in 2011 in Indonesian and held by 2 WorldCat member libraries worldwide
2 editions published in 2011 in Indonesian and English and held by 2 WorldCat member libraries worldwide
2 editions published in 2017 in Indonesian and held by 1 WorldCat member library worldwide
On history and oral tradition of Jantuk, a traditional mask theatrical performance of Betawi people, Indonesia
1 edition published in 2016 in Indonesian and held by 1 WorldCat member library worldwide
1 edition published in 2011 in Indonesian and held by 1 WorldCat member library worldwide
1 edition published in 2012 in Indonesian and held by 1 WorldCat member library worldwide
1 edition published in 2011 in Indonesian and held by 1 WorldCat member library worldwide
1 edition published in 2011 in Indonesian and held by 1 WorldCat member library worldwide
1 edition published in 2011 in Indonesian and held by 1 WorldCat member library worldwide