LAKON MAHARAJA GAREBEG JAGAT (Bagian 4)

LAKON MAHARAJA GAREBEG JAGAT (Bagian 4)

Maharaja Garebeg Jagat – Tersebutlah seorang Penyalin dan Pengarang Sastra Melayu di Tanah Betawi pada abad 19. tinggal di Pecenongan, gang Langgar, Betawi. Ia adalah Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman bin Fadli, yang lazim disingkat Muhammad Bakir. Beliau orang Betawi. Ayahnya dikenal dengan nama Syafian yang mempunyai nama kecil Cit. Ia adalah seorang pengarang juga. Dalam naskah-naskah, nama tersebut kadang dikenal dengan Cit Sapirin bin Usman bin Fadil. Ada keterangan yang menyatakan Muhammad Bakir memiliki anak tertulis dalam kolofon Hikayat Maharaja Garebeg Jagat. Mari kita baca Lakon Maharaja Garebeg Jagat.

Malam itu Wadya Bala Kurawa berpesta pora. Kemenangan sudah terbayang. Anugerah dari Batara Narada pasti cukup untuk mengalahkan para Pandawa.

Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Pendeta Dorna dengan empat satria pilihannya. Mereka antara lain adalah Bambang Aswatama, Demang Udawa Bulu Surawa, Citra Yuda dan Citra Gada. Mereka menuju kaki gunung Mahameru.

Setiba di gunung Mahameru, Pendeta Dorna dan keempat satrianya menanti di jalan menuju Suralaya. Tiap orang yang lewat jalan itu dihadang dan digeledah, kalau-kalau mereka membawa cincin Batara Narada. Orang yang melawan langsung dibunuh.

Saat itu, Garubug, Anggalia dan Gareng dalam perjalanan menuju Suralaya.

Sepanjang jalan mereka mendengar dari para pencari kayu, jalan menuju Suralaya dijaga lima perampok cincin. Ketiga anak Semar itu tak gentar.

“Lihat Kang, siapa yang berdiri di tengah jalan itu,” ujar Anggalia.

“Astaga,” Garubug terkejut. “Kukira hanya rampok biasa.”

Ketiga punakawan itu mengintai dari jauh. Mereka memandangi Pendeta

Dorna dan empat satria Kurawa tengah menghadang dan menggeledah orang ewat. Garubug dan kedua adiknya mengatur siasat.

Dari para petani yang kebetulan lewat, ketiga anak Semar itu membeli caping. Cincin Batara Narada dipakai Gareng di jari kakinya yang berkudis. Ketiganya yakin, para penghadang itu enggan memeriksa kaki Gareng.

Maharaja Garebeg Jagat – Tiba-tiba muncul asap tebal. Garubug dan kedua adiknya terperanjat. Gareng bersiap-siap untuk lari. Saat kabut asap menipis, muncullah Begawan Abyasa. Menyembahlah ketiga anak Semar itu.

“Hei anak-anak Lurah Karang Tumaritis,” sabda Begawan Abyasa. Tak

perlu mencemaskan orang-orang durjana itu. Ini, ambillah cincinku, katakan pada mereka, inilah cincin Batara Narada.”

Ketiga punakawan itu menerima cincin dengan takzim. Lalu lenyaplah

wujud Begawan Abyasa. Garubug memerintahkan Gareng untuk menyembunyikan cincin itu di balik sarungnya.

“He petani melarat,” seru Pendeta Dorna. “Mau kemana kalian?

“Mau ke sana,” Sahut salah satu petani itu.

“Kalian dari mana?”

“Dari sini.”

“Kurang ajar,” pendeta Dorna murka. “Mau mempermainkan aku hah?”

Ketiga petani itu diam. Caping lebar menutupi wajah mereka. Citra Yuda

menjadi curiga. Ia menghampiri salah satu petani itu. Hidung petani itu teramat

panjang.

“He ini si Anggalia,” teriak Citra Yuda. “Ringkus mereka.”

Kalang kabutlah ketiga anak Semar itu. Penyamaran mereka terbongkar. Ketiganya meronta-ronta sambil meminta-minta ampun. Namun keempat satria Kurawa itu tak peduli, mereka meringkus sambil memukuli Garubug dan adik adiknya.

“Ampun aden, ampuuun,” teriak ketiganya.

“Kapok, aduh, tobaaaaat.”

“Berani kau mempermainkan aku?”

“Tidak aden, tadi tidak sengaja.”

“Nah, katakan apa yang kau bawa?”

“Cuma kudis dan kurap saja yang kami bawa den.”

“Itu aku juga sudah tahu,” bentak Dorna. “Maksudku selain itu apa lagi?”

“Kalau tembakau sudah habis,” sahut Anggalia. “Uang juga habis kami

pakai beli caping.”

“Wuaaah, geledah saja mereka,” seru Bambang Aswatama tak sabar.

Ketiga anak Semar itu dipreteli pakaiannya. Tak peduli ketiganya meronta ronta dan berteriak-teriak. Dan jatuhlah sebentuk cincin dari balik sarung Gareng.

“Naaah, apa ini hah?” Seru pendeta Dorna.

“Cincin buat kawin den,” sahut Gareng,

“Bohong,” tukas Aswatama. “Dari mana kau peroleh cincin ini?”

“Dari engkoh tukang gadai…” ucapan Gareng terputus oleh tamparan Citra Gada.

“Sudahlah Kang,” ujar Bambang Aswatama. “Tak perlu mengurus anak

dekil itu, cincin sudah kita dapat, mari kita menghadap Batara Narada.” (Bersambung)

Check Also

LAKON MAHARAJA GAREBEG JAGAT (Bagian 12)

LAKON MAHARAJA GAREBEG JAGAT (Bagian 10)

Maharaja Garebeg Jagat – Tersebutlah seorang Penyalin dan Pengarang Sastra Melayu di Tanah Betawi pada …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *