Maharaja Garebeg Jagat – Tersebutlah seorang Penyalin dan Pengarang Sastra Melayu di Tanah Betawi pada abad 19. tinggal di Pecenongan, gang Langgar, Betawi. Ia adalah Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman bin Fadli, yang lazim disingkat Muhammad Bakir. Beliau orang Betawi. Ayahnya dikenal dengan nama Syafian yang mempunyai nama kecil Cit. Ia adalah seorang pengarang juga. Dalam naskah-naskah, nama tersebut kadang dikenal dengan Cit Sapirin bin Usman bin Fadil. Ada keterangan yang menyatakan Muhammad Bakir memiliki anak tertulis dalam kolofon Hikayat Maharaja Garebeg Jagat. Mari kita baca Lakon Maharaja Garebeg Jagat.
Tanpa peduli raungan pendeta Dorna, Maharaja Garebeg Jagat memenggal pendeta itu. Lalu pulanglah ia bersama bala tentaranya. Sementara tubuh pendeta Dorna yang ditinggalkan terus berkejat-kejat. Pendeta Dorna menguasai ajian cicak buntung, ia tak dapat mati selama Bambang Aswatama putranya masih hidup.
Alun-alun Banjar Negara ramai disesaki orang. Mereka ingin melihat kepala pendeta Dorna. Sementara itu Maharaja Garebeg Jagat berpesta pora.
Alkisah saat itu Prabu Krisna dari Dwarawati mendapat firasat buruk. Segeralah titisan Batara Wisnu itu pergi ke Amarta. Sampai di perbatasan ia menemukan jenazah pendeta Doma tanpa kepala. Prabu Krisna membawa jenazah itu ke istana Amarta. Di sana ia berjumpa dengan Prabu Suyudana dan Arya Dursasana. Keduanya tengah menghadap Prabu Yudistira. Tetapi Prabu Krisna tak menjumpai Arjuna.
Karena tak menjumpai Arjuna, maka Prabu Krisna terbang ke Suralaya mencarinya. Sedangkan Prabu Syudana dan Arya Dursasana kembali ke Astina membawa jenazah Dorna.
Setiba di Astina, Prabu Suyudana membuka penjara membebaskan saudara-saudaranya. Bambang Aswatama sangat sedih melihat ayahnya tak berkepala. Putra Dorna itu merencanakan akan mencuri kepala ayahnya dari Banjar Negara.
Bersama dengan Udawa Bulusurawa, Aswatama diam-diam pergi ke Banjar Negara. Bambang Aswatama sangat sedih melihat kepala ayahnya dijadikan tontonan. Pada malam hari, Aswatama dan Udawa Bulusurawa menyusup diam diam, dengan aji penyirep sukma keduanya membuat para penjaga tertidur. Sebelum fajar keduanya telah jauh pergi membawa kepala pendeta Dorna.
Sampai di Astina, Bambang Aswatama memasang kembali kepala ayahnya. Pendeta Dorna hidup kembali, tetapi ia menjadi tak genap akalnya. Tiap sebentar ja berteriak-teriak dan bersembunyi.
Kerajan Banjar Negara gempar. Kepala pendeta Dorna hilang. Para pengawal yang menjaganya dihukum mati. Maharaja Gareneg Jagat yakin, ini pasti perbuatan para dewa. Raja-raja tak akan ada yang berani melakukan itu.
“Kalau demikian,” sabda Maharaja Garebeg Jagat. “Tak perlu kita serang Amarta, langsung saja Suralaya kita taklukan.”
“Benar Kakang Prabu,” sahut Nala Anggalaya. “Dengan ditaklukannya Suralaya sudah dengan sendirinya semua kerajaan akan takluk pada kita.”
Maharaja Garebeg Jagat – Maka berangkatlah Maharaja Garebeg lagat ke Suralaya. Bala tentaranya bertempik sorak sepanjang jalan. Para prajurit menjarah semua kota dan desa yang mereka lewati.
“Celaka Adi Guru,” ujar Batara Narada. “Maharaja Garebeg Jagat meyerang kemari.”
“Sudahlah Kakang patih,” sabda Batara Guru. “Kita tak punya pilihan lain.
Usir para penyerang itu.”
Perang dahsyat pun terjadi. Bala tentara Banjar Negara menggempur pasukan para dewa. Maharaja Garebeg Jagat, Patih Nala Anggalaya dan Bupati Nala Guriang Nala sungguh tak terlawan. Batara Brama, Batara Sambu, Batara Surya, semuanya tak mampu bertahan.
“Kakang patih,” sabda Batara Guru. “Kita harus turun tangan.”
“Sendika Adi Guru.” Sahut Batara Narada.
Majulah kedua Batara itu. Maharaja Garebeg Jagat dan kedua adiknya menghadapi mereka. Pertempuran sengit terjadi. Garebeg Jagat dan adik-adiknya sama sekali tak menghiraukan aturan-aturan perang. Kedua Batara mulai terdesak. (Bersambung)