Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.
Karang Tritis merupakan hutan muda, pohon-pohonnya tumbuh jarang-jarang, padang-padang luas berumput hijau masih banyak tersebar. Tempat yang cocok bagi kijang dan banteng.
Namun hingga senja menjelang, Jaya Lengkara belum juga menjumpai seekor kancil pun.
Saat Jaya Lengkara melewati sebatang pohon johar terdengar suara tawa. Jaya Lengkara menoleh, tampak belukar bergerak. Sigap Jaya Lengkara melompat.
Dibalik pohon johar tampaklah Naga Gini putri Naga Pertala sedang bercanda bersuka ria dengan anak ular lidi. Sungguh tak pantas anak ular lidi bercanda-canda dengan putri naga.
Marah Jaya Lengkara mementang busurnya untuk memanah si anak ular lidi. Malang, ular kecil itu sempat mengibas. Anak panah pun menancap di ekor Naga Gini.
Sambil menjerit Naga Gini lari ke arah belukar. Karena terkejut Jaya Lengkara tak sempat mengejar.
”celaka, bibi tentü akan mengadu pada Kakek guru,” pikir Jaya Lengkara.
“Kanda, mengapa selarut ıni Kanda baru kembali?” sambut Ratna Kemala saat melihat suaminya pulang.
Jaya Lengkara menceritakan kejadian yang menımpanya di hutan. Rama Kemala termangu mendengarnya, kecemasan mulai merayapi hatinya.
“Maafkan Kakanda, hati kijang yang Adinda inginkan tidak Kakanda dapatkan,” ujar Jaya Lengkara.
“şudahlah Kanda, itü tidak perlu dipikirkan,“ jawab Ratna Kemala.
“şekarang istirahatlah dahulu, esok pagi temuilah Kakek guru, mohonlah ampun padanya.
Malam itu, Jaya Lengkara tidak menyertai sang Permaisuri ke peraduan. Dalam kegelapan malam di taman istana, Daya Lengkara terpekur merenungkan kejadian hari itu.
Hikayat Jaya Lengkara – Satu şuara memecah keheningan malam, Jaya Lengkara menengadah. Naga Pertala berdiri di hadapannya. Kemurkaan terpancar dari matanya.
“Maharaja Jaya Lengkara, kau tahu şebab aku datang ke sini?” ujar Naga Pertala.
“Aku tahu Kakek. Aku siap menerima hukumanku.”
“Bagus sebelum kau rasakan azabku, katakan apa salah anakku hingga kau aniaya begitu.”
Maka berceritalah Jaya Lengkara perihal yang dilihatnya di bawah Pohon johar. Tercengang Naga Pertala mendengarnya.
“Jika demikian kau tidak bersalah cucuku, “ucap Naga Pertala setelah termenung sejurus. “Bibimulah yang berbuat tidak senonoh, bersenda gurau bersama anak ular lidi.
“Aku tidak bermaksud melukai bibi Kek.”
“Sudahlah dia memang layak menerimanya.”
Beberapa saat keduanya saling terdiam.
“Maafkan aku cucuku, aku begitu terburu-buru menyalahkanmu, “ucap Naga Pertala.
“Tidak, Kakek tidak bersalah,”jawab Jaya Lengkara. “Kakek masih bertanya dulu sebelum bertindak.”
“Kakekmu ini sudah tua, sudah tidak lagi memiliki cukup kesabaran.
Maka harus segera kembali ke alamku.”
“Tidak, kenapa harus secepat itu?”
“Karena waktuku sudah tiba,
Jaya Lengkara tertunduk, ia tak berkata-kata.
“Kini terimalah ilmuku yang terakhir,” ujar sang Naga
Jaya Lengkara tak menjawab, hatinya masygul.
“Dengan ilmu ini, kau dapat mengerti bahasa binatang. Dengan ilmu ini pula kau dan aku tidak terpisahkan lagi.”
Jaya Lengkara mengangkat wajah seraya berkata.”Benarkah itu Kek?” Sang Naga tersenyum. (Bersambung)