Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.
Menjelang dini hari, ilmu terakhir Naga Pertala telah meresap ke dalam jiwa Jaya Lengkara. Bersamaan dengan munculnya semburat merah dibalik gunung, raga sang naga lenyap. Namun bagi Jaya Lengkara, Naga Pertala adalah abadi.
Ibukota Bujangga Dewa, kehidupan berlangsung sentosa. Patih Budi Salam telah bersungguh-sungguh membimbing Maharaja Jaya Lengkara dengan benar.
Malam di ruang peraduan utama istana Bujangga Dewa.
Tuan Putri Ratna Kemala telah lelap di Sisi sang Maharaja. Dalam keremangan cahaya pelita, Maharaja Jaya Lengkara mendengarkan percakapan seekor cecak.
“Adik sayang, abang rindu benar padamu,”ujar cecak jantan.
“Cis, tak sudi,” jawab betina,” Enyah kau yang jauh.
“Aduh adik sayang, apa salah abang?”
“Huh dasar lelaki hidung belang.”
Terpingkal-pingkal Jaya Lengkara mendengar percakapan kedua cecak itu. Percakapan jenaka, sering didengarnya semasa ja menjadi gembala.
“Kanda, kenapa Kakanda tertawa sendiri?” tegur Ratna Kemala yang tenaga oleh suara tawa sang suami.
sambil berusaha menahan tawa Jaya Lengkara menunjuk.
“Cecak, apa yang lucu dari cecak?” Tanya Ratna Kemala.
“Kanda pasti menertawakan keburukan wajah hamba,” rajuk sang Permaisuri.
Dengan bersusah payah menahan tawa Jaya Lengkara menceritakan percakapan kedua cecak itu. Ratna Kemala tercengang mendengarnya.
“Jadi Kanda mampu berbahasa binatang?”
“Ya Dinda, Kanda memang mamahami bahasa binatang.
“Kalau demikian Kanda harus ajarkan aku.
Terperanjat Jaya Lengkara mendengar permintaan istrinya itu. Pesan Naga Pertala, ilmu itu tak boleh diturunkan kepada siapa pun.
Tapi Ratna Kemala tak mau mengerti. “Kalau Kakanda tidak ajarkan ilmu itu, biarlah aku bunuh diri.”
Sia-sia Jaya Lengkara membujuk istrinya. Tuan Putri Ratna Kemala bersikeras menginginkan ilmu itu. Akhirnya Jaya Lengkara mengangguk lemah.
“Baik, esok pagi Kanda harus ajarkan ilmu itu,” ujar Tuan Putri sambil rebah memunggungi sang suami.
Hikayat Jaya Lengkara – Pusing kepala mendadak menyerang. Perlahan Jaya Lengkara meninggalkan peraduan. Kegelapan menyambut di luar istana. Jaya Lengkara berjalan tak tentu arah. Sampai di sebuah perigi ia berhenti sejenak, didengarnya dua ekor katak tengah bercakap-cakap.
“Kalau abang tak mau katakan siapa pemilik perigi ini,”ujar katak betina, “Biarlah adik pergi.
“Kalau adik pergi, abang akan kawin lagi.”
Mendengar jawaban katak jantan, terdiamlah katak betina itu. “Janganlah bang, adik cuma bergurau,”kata si betina.
Tersenyum Jaya Lengkara mendengarnya.”Katak saja punya akal, masak aku tidak,” pikir Jaya Lengkara.
Pagi hari di taman sari. Maharaja Jaya Lengkara dan Permaisuri Ratna Kemala selesai bersantap. “Kanda, sekaranglah saatnya Kanda ajarkan ilmu Kakanda itu,” cetus Tuan Putri Ratna Kemala.
“Kalau Kanda tak ajarkan?”
“Maka relakanlah kematian Adinda.”
“Kalau Adinda tiada, Kanda akan menikah lagi.
Secepat kilat Tuan Putri Ratna Kemala menyambar pisau pemotong daging di meja, Jaya Lengkara terperanjat, pisau telah menembus dada sang Permaisuri.
Maharaja Jaya Lengkara terpana. Tuan Putri Ratna Kemala roboh bersimbah darah. Pingsanlah Jaya Lengkara. (bersambung)