Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.
Tuan Putri Ratna Kemala, sang Permaisuri mangkat. Mendung melingkupi negeri. Upacara pemakaman agung berlangsung begitu muram. Doa dan jampi mengiringi isak tangis.
Empat puluh hari sudah pemakaman berlalu. Namun kedukaan masih menyelimuti negeri. Walau bunga rampai di pemakaman telah mengering, namun air mata masih menetes.
Patih Budi Salam nan arif, prajurit tua itu mampu meraba ke dasar jiwa. Melihat baginda selalu bermuram durja, sang Patih pun berdatang sembah.
“Ampun wahai baginda, dengan perkenan duli yang dipertuan, sudilah kiranya Paduka mendengar perkataan tua bangka ini.
“Katakanlah wahai prajuritku yang perkasa, “sabda Baginda.
“Ampuni hambamu wahai Baginda, menurut hemat hamba, baiklah kiranya Paduka menyejukkan kalbu barang sejenak di istana peristirahatan•
“Baiklah Paman,” sabda Baginda. ”Namun aku tidak akan pergi ke sana. Aku ingin menyepi sendiri ke gunung kecapi.
“Daulat Tuanku,”sembah Patih.”Paduka tahu apa yang terbaik.
Sebelum fajar menyingsing, Jaya Lengkara telah berpacu meninggalkan istana seorang diri. Tugas-tugas negara sementara waktu dibebankan pada sang patih.
Maharaja Adham yang agung duduk di paseban agung. Permaisuri dan putra-putrinya duduk menghadap. Para petinggi istanapun hadir lengkap.
“permaisuriku,” sabda Baginda.” Aku akan berziarah ke negeri Mekah untuk menunaikan ibadah haji.”
“Ya Kakanda,” sembah Permaisuri. “Lalu bagaimana dengan urusan negeri?”
“Kupercayakan tugas negara kepadamu Permaisuriku.
“Tapi Kanda, apakah Kakanda akan pergi seorang diri?”
“Tidak Adinda, putramu Pangeran Adhar akan menemaniku.
“Lalu bagaimana dengan putri kita?”
“Maalim Najar akan menjaganya, ia juga yang akan memberi pengajaran kaji agama pada putri kita Rama Sangira.”
Maharaja Adham beserta sang putra Pangeran Adhar berlayar dengan armada besar menuju Negeri Mekah.
Permaisuri putri sejati, sepeninggal suami tertib mengurus negeri.
Tuan Putri Rama Sangira tak hanya elok rupa tapi juga elok jiwa, Pengajaran kaji agama dari Maalim Najar mudah diterimanya.
Hikayat Jaya Lengkara – Suatu malam saat sang putri tengah melantunkan kajinya, suara jernihnya mengalun di keheningan. Tergetarlah hati Maalim Najar.
Saat iblis lari menjauh karena tak kuasa mendengar ayat suci, hati manusia yang dengki tiada perduli. Maalim Najar yang ahli mengaji terbakar birahi.
Maalim Najar meraih tangan sang putri, “Kemarilah Adinda”
“….Heh…apa yang kau lakukan?” Seru Tuan Putri murka.
“Sudah, diam sajalah Dinda…”
“Enyah kau!” Tuan Putri menyentakkan tangannya sehingga Maalim Najar terjerembab.
“Akan kukatakan pada bunda, biar kau dihukum berat!”
Bukan main takutnya Maalim Najar, ia segera lari keluar. “Celaka aku harus segera bertindak,” pikir Maalim durjana itu. (Bersambung)