Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 13)

Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 13)

Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.

Segera Maalim Najar menulis surat kepada Maharaja Adham di Mekah. Isi suratnya adalah fitnah. Dikatakannya Tuan Putri telah berbuat tak senonoh dengan seorang perwira.

“Kurang ajar!” seru Maharaja Adham seusai membaca surat itu. Kemurkaan membayang jelas di wajahnya. “Adhar, pulanglah kau!” ujar Baginda. “Hukum mati adikmu!”

Pangeran Adhar yang cakap dalam ilmu kenegaraan dan siasat perang tahu, menghukum mati adiknya di hadapan khalayak ramai sama artinya dengan membuka aib wangsa penguasa negeri. Karenanya pangeran Adhar pulang secara diam-diam.

Tanpa diketahui seorang pun Pangeran Adhar telah memasuki istana,. Bersama kepala telik sandi pangeran merencanakan pembunuhan sang putri- Pembunuhan yang harus tampak seperti kecelakaan tak sengaja.

Malang, pembicaraan rahasia pangeran terdengar oleh seorang perwira tua suami pengasuh Tuan Putri. Melalui istrinya perwira itu memberitahukan Tuan Putri.

Tercenung. Tuan Putri Rama Sangira mendengar pemberitahuan inang pengasuhnya. Tuan Putri mahfum, ia telah terkena fitnah keji Maalim Najar.

Keesokan harinya, penghuni istana tak menemukan Tuan Putri Rama Sangira. Hanya ada secarik surat di atas bantalnya. Isi surat itu membeberkan kejahatan Maalim Najar.

Betapa murka Permaisuri setelah membaca surat itu. Maalim Najar dan Pangeran Adhar ditangkap, Hukuman berat ditimpakan.

Maalim Najar, ahli mengaji yang durjana menemui ajal secara amat perlahan dan menyakitkan selama tiga hari tiga malam di tiang siksa di tengah pasar,

Pangeran Adhar yang tergesa-gesa menimpakan kesalahan pada sang adik, dicambuk seratus kali. Setelah itu pangeran Adhar diperintahkan Mencari Tuan Putri Rama Sangira. Tidak boleh kembali sebelum menemukan Tuan putri.

Bersama sepasukan telik sandi dan segunung sesal pangeran berkeliling negeri mencari Adinda tercinta. Pangeran Adhar dan pasukannya tak pernah kembali.

Hikayat Jaya Lengkara – Tuan Putri Rama Sangira telah jauh meninggalkan istana. Seluruh alam raya tahu, sang putri tengah dilanda lara. Hutan belantara, padang belukar, gunung tebing dan jurang manyambut sang putri dengan belai mesra.

Ditengah belantara paling buas di gunung kecapi, Tuan Putrí Rama sangira duduk bertafakur di bawah sebatang pohon beringin raksasa, empat puluh hari empat puluh malam lamanya sang putri bertafakur.

Maharaja Jaya Lengkara menuntun kudanya menerobos lebatnya hutan. Kebuasan belantara menyejukkan hati sang Maharaja, kepedihannya ditinggal istri sedikit terlupakan. Semangat jantan keprajuritannya kembali menyala.

“Mari kudaku, perjalanan masih jauh,” ujar Jaya Lengkara sambil menarik kekang.

Kudanya yang setia kali ini membangkang. “Apa kau lelah kudaku?” ujar Jaya Lengakara sambil membelai surai kuda putih itu.

Kuda meringkik tajam sambil merentak. Jaya Lengkara mencandra sekeliling, hasrat kelahi menggembirakan hatinya.

Namun Jaya Lengkara terperanjat. Dibalik pohon beringin raksasa tampak seorang dara jelita tengah bertafakur. Sesaat Jaya Lengkara terpana.

“Manusia?” pikir Jaya Lengkara. “Seorang dara. Bagaimana mungkin aku tak menyadari kehadirannya, tentu sangat tinggi ilmu dara itu,” (Bersambung)

Check Also

Buaya Buntung

Buaya Buntung

Cerita Rakyat Betawi Diceritakan kembali Oleh Rudy Haryanto Naskah disampaikan untuk mengikuti Sayembara Penulisan Cerita …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *