Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 27)

Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 5)

Pengantar – Di ranah kesenian Betawi ada istilah Tukang Gesah yang tiada lain adalah Tukang Cerita. Pada pertengahan abad ke-19, muncul nama lain yaitu Sohibul Hikayat. Dan memang, ketika itu tumbuh dan dicintai kesenian Sohibul Hikayat ini. Seniman Sohibul Hikayat mendapat apresiasi atau ditanggap pada perhelatan masyarakat Betawi, khususnya untuk memeriahkan keriaan atau hajatan, terutama resepsi perkawinan, khitanan, dan sebagainya.

Rupanya seniman Sohibul Hikayat tidak dapat melayani banyak permintaan, sehingga muncul pengarang atau penyalin cerita hikayat. Kita kenal misalnya Muhammad Bakir yang menyalin dan mengarang cerita hikayat tidak kurang dari 70-an judul. Bakir menyewakan karyanya kepada khalayak. Ini menjelaskan kepada kita bahwa karya Bakir dibacakan di tengah khalayak. Artinya Tukang Gesah tidak lagi berkisah secara lisan cerita yang dihafalnya, tetapi sudah dengan membaca manuskrip karya Bakir.

Dalam novel Nyai Dasima (1896), ada menyebutkan tentang Sohibul Hikayat ini. Dasima yang galau dirayu dan dihibur  Samiun, dengan mengajaknya nonton pertunjukkan Sohibul Hikayat.

Sohibul Hikayat lalu lebih tersebar ke antero wilayah Batavia (masa kolonial) kemudian Jakarta (sesudah kemerdekaan) ketika Haji Ja’far lalu Haji Jaid dilanjutkan putranya ( Haji Ahmad Safyan Jaid) malang melintang ditanggap (sampai disiarkan di radio) membawakan Sohibul Hikayat.

Salah satu judul Sohibul Hikayat yang sering dibawakan oleh Haji Jaid dan Haji Sofyan Jadi adalah Ma’rup Tukang Sol Sepatu. Namun Cerita ini pun sudah ditulis ulang oleh Umar Djamil (PT. Dunia Pustaka Jaya, Tahun 1978), Selamat membaca.

Bagian 5 – FATIMAH, istri yang kejam itu, sangat gembira demi dilihat nya suaminya itu tergeletak pingsan. Ia berjalan dengan tak memperdulikan keadaan suaminya.

Tatkala tukang Sol sepatu itu sadar dari pingsannya, dicoba nyalah kembali ke kedainya dengan beringsut ingsut, kerena kakinya luka terpukul. Setibanya di sana ia duduk menangis menanggungkan penderitaan yang berat itu. Tubuhnya terasa ngilu-ngilu, tak berbaju dan belum makan sejak pagi. Sejurus kemudian datang seorang tetangganya menyuruh ia pergi cepat-cepat dari kedai itu karena istrinya telah mengadu kepada gubernur serta seorang utusan sedang dalam perjalanan menjemputnya. la diberi orang itu uang sedirham, kemudian berangkatlah menghindar dari sana.

la terus berjalan terhuyung-huyung dan menangis menahankan rasa pedih pada kaki dan tangannya. Akhimya ia sampai ke pinggir kota. Waktu itu musim dingin, hujan turun dengan lebatnya. Badannya yang tak berpakaian itu mengigil kedinginan, sedangkan rasa lapar terasa sangat menusuk nusuk hulu hatinya. la pergi berlindung ke sebuah gudang yang telah ditinggalkan orang, tak jauh dari tempat itu. Di sana ia mencoba mendekap di sudut supaya jangan kena hujan. Ia menangis memikirkan ke mana akan melarikan diri dari istrinya yang bersifat iblis itu. Kemudian diangkatnya tangannya dan ia berdoa kepada Tuhan, katanya, “Aku mengharap kepadaMu, ya Rabbi, supaya Kautunjukkan kepadaku suatu negeri yang jauh yang tak mungkin diketahui dan didatangi istriku!”

Baru saja ia selesai berdo’a terkuaklah dinding yang ada di hadapannya dan keluarlah seorang laki-laki yang tinggi besar serta berkata kepadanya, “Kenapa kau datang ke mari menggangguku? Aku telah mendiami tempat ini lebih dari dua ratus tahun dan belum pernah ada seorang pun yang sampai ke mari selain engkau.

Makruf berkata dalam hatinya, “Demi Allah, aku lebih suka melihat jin Ifrit ini daripada melihat istriku.” Ia menangis pula tersedu-sedu kemudian berkata, “Aku datang hai Tuanku, tak lain karena melarikan diri dari siksaan dan aniaya istriku yang jahat.”

Sudah itu diceritakannya kisah tentang dirinya sejak awal sampai akhir ia tiba di situ. Mendengar ceritanya itu jatuhlah belas kasihan jin Ifrit itu kepadanya serta ia berkata, “Janganlah kau rusuh, hai Makruf! Aku ini jin Islam yang suka menolong orang teraniaya serta kasihan kepada orang orang yang berbuat baik. Jika engkau ingin kupindahkan ke sebuah negeri yang jauh yang tak mungkin didatangi maka nantikanlah aku di sini sampai orang selesai sembahyang isya, dan nanti aku akan datang lagi untuk membawa kamu di atas punggungku ke negeri yang jauh.” Selesai berkata, maka menghilanglah ia.

Tinggallah Makruf sendirian di sana sampai terdengar azan magrib. Ia bangkit pergi ke mesjid dekat sebuah kuburan dan bersembahyang di situ. Kemudian dibelinya sepotong roti dan sedikit keju dengan uang yang diberikan tetangga nya. Sesudah itu kembali ke tempatnya semula. Sedang ia makan roti, tiba-tiba terbuka pulalah sekali lagi dinding gudang itu. Ifrit itu keluar sambil berkata kepadanya, “Mari lah, hai orang miskin yang baik, duduklah di punggungku dan janganlah kau khawatir pada sesuatu pun!” (Bersambung)

Check Also

Makruf Tukang Sol Sepatu (Tamat)

Makruf Tukang Sol Sepatu (Tamat)

Pengantar – Di ranah kesenian Betawi ada istilah Tukang Gesah yang tiada lain adalah Tukang …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *