Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 25)

Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 25)

Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.

Terlonjak Maharaja Jaya Lengkara dan Tuan Putri Rama Sangira mendengarnya.

“Kanda anakku pulang Kanda,” ujar Permaisuri dengan kalap, air matanya tak terbendung. “Cepat Kanda, si kecilku pulang.”

“Baik Dinda, baik,” jawab Maharaja berusaha menenangkan diri sendiri.

“Mari kita sambut.”

Tergopoh-gopoh Maharaja dan Permaisuri menuju gerbang kota. Orang-orang yang berkerumun sambil berseru-seru segera menyibak memberi jalan.

Dari kejauhan tampak kepulan debu.

“Hei lihat, Raden Makdhim tidak sendirian!” teriak si Basir.

“Tentu dia bersama Raden Makdhum,” sahut si Buyung.

“Bukan, dia datang bersama seorang putri,” sahut seorang prajurit dari atas menara pengintai.

Tak sabar hati Maharaja Jaya Lengkara dan Tuan Putri Rama Sangira.

“Kanda benarkah yang datang itu putraku Kanda,” desak Permaisuri tidak sabar.

“Benar Dinda, benar yang diteriakkan orang-orang.

Kian dekat, kian jelas wajah Raden Makdhim dan Tuan Putri Ismaya Cindra. Orang bersorak-sorai berlarian menyambutnya. Kalau tak malu Maharaja dan Permaisuri pun ingin ikut berlari menyambut sang putra.

Raden Makdhim dan Tuan Putri Ismaya Cindra menghentikan kudanya di tengah orang-orang yang menyambut mereka. Tuan Putri menoleh kiri-kanan dengan heran. Orang-orang mengelu-elukan suaminya di negeri asing ini.

Raden Makdhim turun dari kuda menerima sembah dan salam orang-orang disekelilingnya.

“Hei lelaki penipu!” teriak Putri dari atas kuda sambil menendang bahu suaminya.

Semua orang terperanjat melihatnya

“Kau bilang kau anak Bapak Koja bukan anak Raja!” bentak Tuan Putri geram.

Maharaja Jaya Lengkara dan I Tuan Putri Rama Sangira saling berpandangan dan tersenyum. Apa yang mereka lakukan dulu kini diulangi putra mereka.

Hikayat Jaya Lengkara – Segera keduanya diarak menuju istana. Sampai di istana Raden Makdhim dimarahi habis-habisan karena membohongi istrinya. Tuan Putri Ismaya Cindra ikut menunjuk-nunjuk mengadukan kedustaan sang suami.

“Rombongan agung datang!” teriak orang-orang.

“Apa lagi ini?” ujar Maharaja. “Mari istriku, kita lihat dulu siapa yang datang.”

“Baik Kanda, sahut Permaisuri.”Dan kau, tetap di tempatmu, aku belum memberimu hukuman,” ujar Permaisuri pada Raden Makdhim

“Dan kau putriku,” sabda Maharaja pada Tuan Putri Ismaya Cindra,

“Mari ikut kami.”

Tuan Putri Ismaya Cindra bangkit sambil membelalak marah pada Raden Makdhim.

“Rombongan Raden Makdhum, lihat!” teriak orang-orang di gerbang kota.

“Apa???” teriak Tuan Putri Rama Sangira bagai tersengat. “ltu dia biang keladi semua ini. Paman Patih/ panggil, Tuan algojo, suruh dia bawa cambuknya, cepat!”

Permaisuri dan Maharaja benar-benar kalap. Si sulung yang baru tiba dicambuk hingga melolong-lolong, sementara si bungsu telah bersembunyi di istal kuda. (Tamat).

Check Also

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Oleh Yahya Andi Saputra   Tukang sulap menjadi kalap, Jalan gelap pasang pelita, Mohon maaf …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *