Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 26)

Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 20)

Pengantar – Di ranah kesenian Betawi ada istilah Tukang Gesah yang tiada lain adalah Tukang Cerita. Pada pertengahan abad ke-19, muncul nama lain yaitu Sohibul Hikayat. Dan memang, ketika itu tumbuh dan dicintai kesenian Sohibul Hikayat ini. Seniman Sohibul Hikayat mendapat apresiasi atau ditanggap pada perhelatan masyarakat Betawi, khususnya untuk memeriahkan keriaan atau hajatan, terutama resepsi perkawinan, khitanan, dan sebagainya.

Rupanya seniman Sohibul Hikayat tidak dapat melayani banyak permintaan, sehingga muncul pengarang atau penyalin cerita hikayat. Kita kenal misalnya Muhammad Bakir yang menyalin dan mengarang cerita hikayat tidak kurang dari 70-an judul. Bakir menyewakan karyanya kepada khalayak. Ini menjelaskan kepada kita bahwa karya Bakir dibacakan di tengah khalayak. Artinya Tukang Gesah tidak lagi berkisah secara lisan cerita yang dihafalnya, tetapi sudah dengan membaca manuskrip karya Bakir.

Dalam novel Nyai Dasima (1896), ada menyebutkan tentang Sohibul Hikayat ini. Dasima yang galau dirayu dan dihibur  Samiun, dengan mengajaknya nonton pertunjukkan Sohibul Hikayat.

Sohibul Hikayat lalu lebih tersebar ke antero wilayah Batavia (masa kolonial) kemudian Jakarta (sesudah kemerdekaan) ketika Haji Ja’far lalu Haji Jaid dilanjutkan putranya ( Haji Ahmad Safyan Jaid) malang melintang ditanggap (sampai disiarkan di radio) membawakan Sohibul Hikayat.

Salah satu judul Sohibul Hikayat yang sering dibawakan oleh Haji Jaid dan Haji Sofyan Jadi adalah Ma’rup Tukang Sol Sepatu. Namun Cerita ini pun sudah ditulis ulang oleh Umar Djamil (PT. Dunia Pustaka Jaya, Tahun 1978), Selamat membaca.

Bagian 20 – Sesudah itu diperintahkannya mereka itu mendirikan kemah di tempat itu. Maka berdirilah kemah itu lengkap dengan permadaninya. Makruf duduk beristirahat di dalam, sedangkan anak-anak jin duduk di mukanya meladeninya Ketika itu datanglah petani tadi membawa keranjang penuh dengan makanan. Tatkala ia melihat kemah itu dan hambasahaya yang gagah-gagah berdiri di mukanya maka ia menyangka bahwa seorang sultan telah datang ke tempat itu dan berkemah di sana. Dia berdiri tertegun dan berkata dalam hatinya, “Patut sekali bila aku memotong dua ekor ayam, aku goreng dengan minyak samin untuk menjamu sultan itu.”

Dia bermaksud hendak kembali akan menyembelih ayamnya, tetapi ia terlihat oleh Makruf yang segera memanggilnya

Makruf bertanya kepadanya, “Apakah yang kaubawa itu?”

la menjawab, “Ini makanan untuk Tuanku, tetapi maaf kanlah aku karena tak menyangka bahwa sultan akan datang ke tempat ini. Jika sekiranya aku tahu lebih dahulu tentu akan kupotongkan ayam dua ekor untuk menjamunya”

Makruf menjawab, “Sultan belum datang, aku hanya menantunya. Dia telah mengutus hamba sahayanya untuk menjemput aku dan aku sekarang bermaksud hendak kembali ke kota. Engkau telah membuat jamuan untukku walaupun hanya jamuan yang sederhana sekali. Aku hanya akan memakan apa yang telah kausediakan.”

Kemudian disuruh letakkannya keranjang itu di hadapannya dan ia mulai makan hingga kenyang. Setelah Makruf selesai makan, maka disuruhnya pula pelayan-pelayannya memakan itu. Mereka makanlah sisa makanan yang tinggal di atas permadani itu. Setelah makanan itu habis, maka Makruf mengisi keranjang itu dengan emas, kemudian ia befkata kepada petani itu, “Antarkanlah ini kepada istrimu, kemudian kembalilah kepadaku akan kubawa engkau ke kota untuk kujamu pula!”

Maka keranjang itu diterimanya, lalu ia pulang menghalau lembunya.

Malam itu Makruf berkemah di tempat itu dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan dan hiburan yang diramai kan oleh gadis-gadis cantik. Mereka menari-nari dan memukul bunyi-bunyian di hadapannya. Demikianlah ia bersenang senang sampai subuh. Tatkala hari pagi, tujuh ratus keledai membawa pakaian lengkap dengan bujang bujang dan pengiringnya sedangkan Abu Saadah kelihatan paling depan memimpin kafilah itu. Setelah sampai di muka kemah itu, Abu Saadah turun dari keledainya, kemudian sujud di hadapan Makruf serta berdatang sembah, “Hai Tuanku, semua yang Tuanku minta telah hamba lakukan. Ini hamba bawa singgasana dari emas dan sebuah mahkotal yang belum pernah dimiliki oleh raja raja mana pun. Sekarang naiklah Tuanku ke atas singgasana itu dan pakailah mahkota ini supaya Tuanku dapat kami bawa ke mana Tuanku ke hendaki!”

Maka Makruf berkata, “Hai Abu Saadah aku bermaksud hendak mengirim surat kepada pamanku, raja di kota Akh tian. Hendaklah kau antarkan surat itu kepadanya.”

Abu Saadah menjawab, “Baiklah, Tuanku!” Maka ditulislah surat itu oleh Makruf kemudian Abu Saadah berangkat mengantarkannya. (Bersambung)

Check Also

Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 29)

Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 29)

Pengantar – Di ranah kesenian Betawi ada istilah Tukang Gesah yang tiada lain adalah Tukang …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *