ORANG MUDIK

CERITA PUASA ANAK BETAWI

Pengantar

Ahlan wasahlan syahri Ramadan.

Bulan puasa ini, laman www.kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masala-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.

Salamat puasa. Raih predikat takwa

ORANG MUDIK

Bulan puasa tahun 1970-an belum terlalu riuh-rendah perbincangan soal pulang kampung. Mungkin karena secara kuantitas mereka yang pulang kampung tidak terlalu banyak, sehingga kehebohannya tidak mengundang perhatian. Atau mungkin  media belum cukup tertarik mengangkatnya jadi berita. Dari jumlah mereka yang pulang kampung itu termasuk orang-orang yang relatif cukup sukses mencari penghidupan di Jakarta.

Berita atau sucses story orang-orang yang pulang kampung itulah kemudian berpengaruh besar kepada kehidupan sosial di kampung atau desa. Penampilan atau gaya orang yang pulang kampung lebih necis, kadang membawa kendaraan sendiri. Nampang keliling kampung dengan pakaian mentereng di atas motor yang keren. Lalu gaya bicaranya pun sudah sangat Jakarta sentris. Kata ganti lu dan gue menunjukan kelas tersendiri. Anak-anak muda potensial di kampung kebengbat (tersedot) hatinya untuk merantau ke Jakarta. Berbondong-bondonglah mereka menuju Jakarta mencoba peruntungannya. Sawah kehilangan petani. Kampung dihuni orang tua yang jompo.

Suasana Arus Mudik

Dalam pengamatan ilmuan sosial dikenal kemudian istilah daya pikat dan daya dorong. Kehidupan ekonomi mereka yang stagnan di desa mendorong mereka meninggalkan kampung, berontak untuk mengais rezeki di Jakarta. Gaya hidup dan cerita sukses perantau yang pulang kampung memikat mereka berlomba menuju Jakarta.

Saya tidak mengetahui secara pasti kapan persisnya istilah mudik yang diartikan sebagai pulang kampung. Bagi orang Betawi, kata mudik secara harfiah artinya menunjuk arah mata angin (milir – belilir = utara, mudik – beludik = selatan, ngetan – beletan = timur, kulon – bekulon = barat). Dalam dialog misalnya begini : “Mao ke mane, Bang?”, di jawab “Mudik ke rumah mamang”. Berarti dia mau pergi ke rumah pamannya yang ada di selatan. Mudik sering juga diucapkan mudikin.

Dalam pergaulan sehari-hari kata mudik kemudian menjadi udik, dimaknai sebagai ungkapan agak peyoratif, “Dasar udik!” Artinya norak dan kampungan atau ada unsur melecehkan.

Lalu ada perkembangan atau perluasan makna dari kata mudik, yang semula menunjukan arah mata angin, dengan makna baru yang artinya pulang kampung. Faktor pengucapan dalam percakapan atau tuturan yang sebenarnya normal-normal saja, akhirnya menjadi kebiasaan. Misalnya dalam dialog dua orang, orang Betawi bertanya “Jadi mudik lebaran ini, Mas?”  dijawab “Insya Allah jadi. Doain selamat ya, Bang…” Jadi ketidaksengajaan pengucapan itu akhirnya berlanjut. Itulah muasalnya.

Maka, jika ada orang yang mau pulang kampung, sudah lazim disebut mudik. KBBI sudah memasukan kata mudik, yang artinya pulang ke kampung halaman. Tidak lagi diartikan secara harfiah. Sebab orang yang merantau di kota udik akan mudik ke ilir (ke kampung halamannya di sebelah utara).

Orang Betawi yang merantau di kota-kota lain di nusantara, tiap lebaran juga  juga mudik. Anak saya mudik dari Surabaya. Beberapa keponakan pun mudik dari Malang, Tembagapura Papua, Makasar, Gorontalo, Padang, bahkan dari Kualalumpur, Riyadh Arab Saudi, dan Kairo Mesir. Tapi orang Betawi yang di Jakarta, enggak ada yang mudik. Kan Jakarta kampung halamannya.

Semua orang yang mudik pulang kampung kan kangen, rindu dengan suasana kampung. Terutama menumpahkan rasa rindu kepada keluarga. Berlebaran saling maaf-maafan dan bertangis-tangisan.

Saya yang tidak pernah mudik, amat sangat memahami perasaan orang-orang yang mudik. Saya pernah melihat dengan seksama beberapa tetangga yang ngontrak di kontrakan babe, enggak bisa mudik. Saya perhatikan di pelupuk matanya ngembeng (basah) air mata. Oh, ternyata mudik itu amat penting bagi perantau. Betapa berat hati ini pada lebaran enggak bisa maaf-maafan, menumpahkan rindu, cium tangan atau berpelukan dengan orang-orang tercinta. Tentu terutama ngegeloso (bersimpuh) di kaki ibu sembari mohon maaf sesenggukan.

Sebenarnya, setiap orang jauh di lubuk hatinya senantiasa tersimpan pemahaman mudik. Mudik yang sifatnya reflektif dan pengingat. Jika terlalu dibuk dengan urusan duniawi, lupa pada mudik. Macul (mencangkul) terus sampai bongkok. Menumpuk dan menghitung kekayaan tidak berkesudahan. Dunia tujuan utama satu-satunya. Oh, segitunya.

Merantau ada batasnya. Mudik ke rumah atau kampung halaman menjadi tujuan yang sangat didambakan. Hidup ada batasnya. Mudik ke kampung akhirat sudah ada kepastiannya. Ente sudah punya bekal cukup untuk mudik? Ayo persiapkan! (Yahya Andi Saputra)

Check Also

MALEM TUTUP BUKU

MALEM TUTUP BUKU

Malam Nisfu Sya`ban Tahukah anda bagaimana cerita panjang mengenai Bulan Sya`ban ? Jika dilihat hingga …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *