Petasan, Maulid Nabi dan Orang Betawi

Petasan, Maulid Nabi dan Orang Betawi

Bagi masyarakat Betawi, petasan ibarat garam. Tanpa adanya garam, masakan apa pun menjadi hambar. Begitu pula hubungan masyarakat Betawi dengan petasan. Petasan menjadi “bumbu penyedap” di setiap acara yang diadakan oleh masyarakat Betawi. Bagi masyarakat Betawi, acara pernikahan, sunatan, hajatan, memberangkatkan haji maupun umroh, memberangkatkan anak merantau seperti pergi ke pesantren, bahkan pada pertandingan sepak bola, tak lengkap tanpa adanya petasan. Dapat dikatakan bahwa petasan telah menjadi bagian dari ritual pada acara-acara tersebut.

 

Bagi masyarakat Betawi yang kehidupannya bernapaskan agama islam, ritual menyalakan petasan juga terjadi setiap hari raya Idul Fitri dan malam takbiran. Meski pemerintah membatasi penggunaan petasan melalui Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017, masyarakat Betawi masih kesulitan untuk menaatinya. Bagi mereka, merayakan hari raya Idul Fitri dan malam takbiran tanpa petasan adalah hal yang membosankan.

 

Selain pada malam-malam hari raya, masyarakat Betawi juga menyalakan petasan pada Peringatan Hari-hari Besar Islam seperti Maulid Nabi. Hal ini bermula dari kebiasaan atau cara orang Betawi pada zaman dahulu untuk mengumpulkan massa. Pada acara-acara tersebut, petasan sengaja dinyalakan karena memiliki bunyi yang nyaring sehingga dapat didengar oleh banyak orang dan menarik perhatian. Suara dari petasan yang nyaring akan membuat masyarakat penasaran hingga mereka datang berkumpul ke tempat berlangsungnya acara.

                    Yahya Andi Saputra

Menurut Yahya Andi Saputra, sosok yang dikenal sebagai sesepuh  Betawi, hubungan yang erat antara masyarakat Betawi dengan petasan berkaitan dengan sejarah masyarakat Betawi itu sendiri. “Jika kita berbicara tentang kebiasaan masyarakat Betawi menyalakan petasan, kita harus kembali ke masa pasca kerusuhan masyarakat Tionghoa, yaitu tahun 1740,” jelas Bang Yahya. Menurutnya, peristiwa yang ditandai dengan pembantaian imigran Tionghoa di tangan kompeni, pada akhirnya menjadikan kebiasaan masyarakat Tionghoa menyalakan petasan. Kebiasaan ini kemudian juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Betawi.

 

Kerusuhan Tiongkok bermula ketika dikeluarkannya peraturan dan pajak yang tidak masuk akal. Saat itu, berlaku pajak terhadap kebiasaan mengepang rambut (tochang) bagi orang Tiongkok. Selain itu, mereka juga wajib mendapatkan surat perjalanan setiap melakukan perjalanan antar desa, meski masih berada di wilayah Betawi.

 

Pemberlakuan pajak tersebut membuat masyarakat imingran dari Tiongkok tidak senang. Tochang bukan sekedar sanggul atau kepang rambut biasa, melainkan merupakan identitas bagi laki-laki Tionghoa (si ngkek). Memungut pajak pada tochang yang digolongkan ke dalam pajak konde sebagaimana tercantum dalam Passen Stelsel dianggap sebagai penghinaan. Merasa diperlakukan tidak adil, para imigran Tiongkok tersebut akhirnya memutuskan untuk melakukan perlawanan. Untuk tujuan ini, mereka berkumpul di Sekolah Seni Bela Diri Pa-The-Kwan (Patekoan).  Jika sekolah tersebut masih ada hingga saat ini, letaknya di Kelurahan Jelakeng, Kelurahan Angke, Jakarta Barat. “Jelangkeng ialah bahasa Tionghoa yang artinya angka 27. Ini nomor rumah yang dikenal sebagai warung madat (Candu), tempat dipersiapkannya Kerusuhan Tionghoa,” jelas Bang Yahya. Menurutnya, salah satu tokoh aliran Patekoan (delapan pendekar) di atas merupakan leluhur pendekar Betawi yang terkenal, yaitu Si Pitung.

 

Setelah persiapan mereka cukup matang, para imigran Tionghoa ini pun memberontak. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1740 yang kemudian dikenal dengan sebutan Kerusuhan Tionghoa atau Pembantaian Orang Tionghoa. “Dalam peristiwa tersebut, sekitar 5000 orang Tionghoa dari perkampungan Tionghoa, Jelangkeng, tewas. Mereka dibantai secara brutal oleh kompeni dan banyak jasad mereka yang dibuang ke Kali Angke. Sebagai peringatan atas peristiwa itu, daerah sekitar Penjaringan dikenal dengan sebutan Pejagalan,” kata Bang Yahya.

 

Peristiwa Kerusuhan Tionghoa ini juga menghancurkan bantaran Kali Angke yang selama ini menjadi pusat hiburan warga Betawi. Dahulu, tempat ini merupakan tempat para imigran Tionghoa berpesta pada hari-hari besar mereka seperti Cengbeng, Imlek, Cap Gomek dan Pekcun. Biasanya, pada setiap pesta mereka selalu dimeriahkan dengan pembakaran petasan. Namun, sejak kerusuhan, massa membubarkan diri. Para Singkek (Imigran Tionghoa) mengungsi ke Tangerang.

 

Masyarakat Tionghoa yang mengungsi ke Tangerang kemudian berbaur dengan masyarakat adat, bertani, menikah, dan masuk Islam. Terjadilah proses asimilasi budaya antara kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan Masyarakat Tangerang (Betawi). Dari proses asimilasi inilah lahir tokoh-tokoh seperti Pitung, Kalin dan Bapak Kayah. Dua nama terakhir merupakan tokoh yang terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda tahun 1924 di Tanah Tinggi Tangerang.

 

Asimilasi yang terjadi pun berujung pada penyatuan budaya antara kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan Betawi, termasuk kebiasaan menyalakan Petasan. Di daratan Cina, petasan memiliki filosofi sebagai alat untuk mengusir setan, jin, bahkan iblis. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa setan, iblis dan jin menyebarkan wabah penyakit, menyebabkan kekeringan dan gagal panen karena murka pada ulah manusia. Mereka kemudian berinisiatif untuk mengusir setan dan iblis dengan benda-benda yang bersuara nyaring seperti tambur dan seng. Bunyi-bunyian tersebut kemudian memberikan inspirasi bagi mereka untuk menciptakan petasan. Lambat laun, petasan lah yang digunakan untuk mengusir setan, jin dan iblis. Selain untuk mengusir setan, masyarakat Tionghoa juga menyalakan petasan pada hari-hari besar mereka dengan maksud untuk memeriahkan acara.

 

Kebiasaan masyarakat Tionghoa menyalakan petasan pada hari-hari besar mereka turut mempengaruhi masyarakat Betawi dalam memeriahkan hari-hari besar mereka. Menurut Radwan, dari sinilah asal mula kebiasaan masyarakat Betawi menyalakan petasan di setiap perayaan yang digelar selayaknya orang Tionghoa, seperti pada Peringatan Maulid Nabi hingga malam takbiran dan Hari Raya Idul fitri.

Pada Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. misalnya, petasan menjadi hal yang tak boleh ketinggalan. Di Betawi, setelah acara Maulid Nabi dibuka dengan pembacaan surat Al-Fatihah, dilanjutkan dengan pembacaan doa untuk para arwah, dimulai dengan pembacaan doa untuk Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan para sahabatnya, sesepuh dan tokoh agama di wilayah tempat diadakannya Maulid Nabi, dan terakhir untuk kaum muslimin dan muslimat yang telah meninggal dunia. Kemudian acara dilanjutkan dengan pembacaan Riwayat Nabi Muhammad Saw. dan Syair Al-Barzanji.

 

Setelah membaca Kitab Barzanji dan Rawi, acara dilanjutkan dengan Mahalul Qiyam, semua jamaah berdiri sambil membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Saw. Pada saat inilah jamaah laki-laki akan menyalakan petasan dan terdapat beberapa petugas berkeliling menyemprotkan minyak wangi ke tangan jamaah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengagungan kepada Nabi Muhammad Saw. yang harum seperti minyak kasturi. Selain itu, momen Mahalul Qiyam juga diyakini sebagai saat Nabi Muhammad Saw. sedang hadir dan jamaah menyambutnya dengan sholawat dan menebar wewangian.

 

Eratnya hubungan antara masyarakat Betawi dengan petasan menjadi penyebab masyarakat Betawi sulit untuk menaati Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Tak heran jika masyarakat Betawi tetap membakar petasan meski harus bermain kucing-kucingan dengan petugas. Banyak masyarakat Betawi yang tidak mempermasalahkan anaknya bermain bahan peledak bahkan mendukungnya.

 

“Menurut saya, pihak-pihak terkait harus berpikiran terbuka. Saran saya, berikan kesempatan kepada masyarakat Betawi untuk menyalakan petasan dengan menyediakan tempat khusus, seperti tulisan di dinding (grafiti) tidak ada hubungannya dengan agama Hindu atau spiritualitas,” kata Bang Yahya. “Pembakaran petasan sendiri merupakan simbol yang penuh dengan cerita tentang betapa Islamnya masyarakat Tionghoa di Betawi,” tegas Bang Yahya.

 

Petasan sebagai kebiasaan masyarakat Tiongkok diserap oleh masyarakat Betawi menjadi salah satu kebudayaannya. Meskipun pada awalnya keberadaan petasan di Masyarakat Tionghoa dan Betawi memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda, namun terdapat juga kesamaan diantara keduanya yaitu kerap kali digunakan untuk menyambut kemeriahan dan sebagai media pembawa berita atau media komunikasi. (Anis)

Check Also

7 Panelis Debat Perdana Pilgub Jakarta, Ketua LKB Salah Satunya

7 Panelis Debat Perdana Pilgub Jakarta, Ketua LKB Salah Satunya

Pesta demokrasi besar sebentar lagi akan diselenggarakan di Jakarta. Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Jakarta akan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *