Putu Mayang Si Manis dari Tanah Betawi menuju Warisan Budaya Takbenda
Putu Mayang Betawi

Putu Mayang Si Manis dari Tanah Betawi menuju Warisan Budaya Takbenda

Putu Mayang Betawi

kebudayaanbetawi.com, Putu Mayang Betawi merupakan salah satu kue tradisional, yang menjadi bagian dari identitas kuliner tradisional Betawi. Bentuk fisik Putu Mayang Betawi mirip dengan bentuk mie yang bergulung-gulung. Masyarakat Betawi tidak mengenal penamaan lain untuk merujuk kue ini selain Putu Mayang.

Di hampir seluruh wilayah Jakarta pada masa kolonial Belanda terdapat persawahan yang hijau membentang. Hampir seluruh Jakarta dipenuhi oleh pertanian sawah. Bahan baku beras yang melimpah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membuat panganan yang bernama Putu Mayang Betawi. Beras dijadikan bahan baku utama untuk pembuatan Putu Mayang Betawi. Selain padi sawah, di sekitarnya terdapat pohon kelapa maupun pohon aren yang digunakan menjadi bahan pembuatan Putu Mayang Betawi. Sementara, untuk kincanya (siraman gulanya) menggunakan bahan dari air nira kelapa maupun nira aren yang diolah/dimasak menjadi kinca yang berwarna kecoklatan – sekarang disebut dengan gula aren. Untuk saat ini, bahan baku tersebut sudah mulai berkurang sejalan dengan pembangunan Jakarta sebagai wilayah ibu kota negara. Keterbatasan pembuatan bahan Putu Mayang Betawi tersebut tidak berdampak pada keinginan masyarakat untuk membuatnya, karena bahan bakunya dengan mudah didapatkan dari daerah-daerah di sekitar pinggir luar Jakarta. Bahan-bahan baku beras tersebut datang dari daerah di sekitar Provinsi DKI Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, Depok, dan lain-lain. Jadi permasalahan indikasi geografis terhadap Putu Mayang Betawi tidak ada permasalahan secara konteks untuk saat ini.

Dahulu di masa awal pembuatan Putu Mayang Betawi pada masyarakat Betawi, memiliki ciri khas (keunikan) yang berbeda dengan Putu Mayang dari daerah lain, yaitu :

  1. Warnanya dikenal hanya satu jenis, yaitu warna putih karena berasal dari warna alami dari warna beras. Putu Mayang Betawi berwarna putih ini dibuat oleh orang asli Betawi dan juga dibeli oleh orang-orang Betawi. Kemudian, sejalan dengan waktu (sekitar tahun 1980-an) ketika Putu Mayang mulai diperdagangkan secara luas (di luar masyarakat Betawi juga; dan penjualnya juga bukan berasal dari orang Betawi/pendatang) dari sini terjadilah inovasi untuk menarik minat pembeli dengan dibuatnya Putu Mayang selain warna putih, seperti warna merah, hijau, kuning, dan lain-lain.
  2. Tekstur Putu Mayangnya tidak halus lembut tetapi masih ada tekstur seperti pasir dari beras tumbuk karena masyarakat Betawi tidak menggunakan tepung beras dari olahan pabrik tetapi menumbuk sendiri.
  3. Kincanya hanya menggunakan gula aren yang dicairkan tanpa santan.

Bahan baku utama dari kudapan ini terbuat dari tepung beras atau tepung sagu, yang dicampur dengan daun suji dan sumba merah sehingga menghasilkan variasi warna hijau dan merah muda. Kue yang berbentuk seperti anyaman bunga kelapa ini sering dijumpai saat bulan Ramadhan karena merupakan salah satu pilihan hidangan berbuka puasa yang banyak digemari masyarakat, namun diluar bulan ramadhan Putu Mayang Betawi sering dijadikan panganan sampingan sambil menikmati kopi atau teh.

Putu mayang sedang di kukus

Dalam penyajiannya kue ini disiram dengan kuah yang disebut dengan kinca. Kinca terbuat dari campuran santan dan dengan gula pasir dan gula merah, sehingga kuah kinca berwarna cokelat. Orang yang menikmati Putu Mayang Betawi, pertama-tama mengambil beberapa buah Putu Mayang diletakkan dalam sebuah wadah lalu Putu Mayang Betawi itu disiram dengan kinca dan dipotong-potong sesuai dengan keinginannya menggunakan sendok. Setelah itu Putu Mayang dapat langsung disantap menggunakan sendok. Gabungan Putu Mayang Betawi dan kinca ini memberikan kombinasi rasa manis dan gurih, serta tekstur kenyal. Cita rasa yang unik dan mudah diterima tersebut menjadikan kue ini cukup populer di masyarakat Betawi dari segala kalangan. Hal tersebut ditunjukan dari keberadaan kue ini yang mudah ditemui sebagai jajan tradisional di pasar-pasar, selain menjadi jajanan kue ini juga sering disajikan pada acara-acara penting seperti pernikahan dan khitanan. Keberadaan kue tersebut dalam acara-acara penting dan adat masyarakat Betawi, menunjukkan peran kue tersebut sebagai media memperkuat ikatan sosial, kebersamaan, dan nilai adat masyarakat Betawi.

Kehadiran kue ini pada pasar-pasar tradisional menunjukkan sebuah usaha untuk memperluas jangkauan penikmat kue ini terutama di kalangan masyarakat urban dan heterogen. Dimana hal ini juga untuk menunjukkan bahwa penyajian kue Putu Mayang tidak lagi terbatas pada acara-acara khusus, namun dapat dikonsumsi secara luas tanpa terbatas waktu dan momen tertentu. Hal tersebut juga ditunjukan dengan penggunaan dan ketersediaan bahan-bahan pembuatan kue ini yang mudah untuk dijumpai, sehingga panganan ini juga sering dipilih sebagai camilan rumahan masyarakat Betawi. Penggunaan bahan-bahan seperti campuran santan kelapa dan tepung beras menunjukkan ciri masyarakat Betawi yang tinggal di wilayah pesisir dan agraris. Dimana hal itu menunjukkan usaha masyarakat Betawi dalam mengintegrasikan berbagai pengaruh lokal dalam aspek kehidupan sehari-hari mereka.

Proses pembuatan Putu Mayang Betawi dibagi menjadi dua proses utama; yaitu pertama membuat adonan putu mayang, dan kedua membuat kinca sebagai pelengkap untuk menikmati kue putu mayang.

proses pencetakan adonan Putu Mayang

Proses pembuatan Putu Mayang:

  1. masak 1 liter air hingga mendidih,
  2. masukkan tepung beras sambil di-adonin (diaduk hingga rata), kemudian dinginkan,
  3. Setelah adonan tepung beras dingin, larutkan tepung sagu atau tapioka ke dalam air,
  4. campurkan larutan tepung sagu tersebut ke adonan tepung beras,
  5. uleni sambil menambahkan minyak sayur,
  6. Bagi adonan menjadi beberapa bagian, beri pewarna sesuai keinginan,
  7. masukkan ke plastik segitiga atau cetakan yang sudah diolesi minyak,
  8. Bentuk adonan seperti mie, kukus selama 10-15 menit.

Proses pembuatan kinca:

  1. Leburkan gula merah dalam 1 liter air mendidih,
  2. Tambahkan santan, gula pasir, garam, dan daun pandan,
  3. aduk hingga mengental dan dinginkan. Setelah kedua proses selesai, sajikan putu mayang dengan kinca yang dituangkan di atasnya.

Kekhasan Putu Mayang Betawi – khususnya di tahun 1990an – adalah dari pengadaan bahan tepung beras, yang tidak didapatkan dengan cara membeli. Para enyak Betawi membuat sendiri tepung beras dengan cara menumbuknya. Menurut mereka, “Rasanya laen, kalo pake tepung beras dari pabrik., kelewat alus. Nah kalo Putu Mayang kite (orang Betawi) agak ade kasar-kasar tepungnya, nah entu nyang bikin legit.” Selain itu, pada waktu itu juga, warna Putu Mayang hanya putih, tidak ada warna lain, seperti hijau, apalagi merah muda. “Warna putih kan artinye bersih, makenye Putu Mayang adenye di Bulan Ramadhan, bulan suci,” jelas Cang Mun (alm.), pembuat Putu Mayang di daerah Tebet, diutarakan beberapa tahun sebelum meninggal dunia – yang kemudian pengetahuannya diteruskan kepada anaknya Mpok Ratne. Jadi, untuk Putu Mayang dari daerah lain, kebanyakan sudah menggunakan tepung beras buatan pabrik, sementara Putu Mayang Betawi tetap mempertahankan tepung beras yang ditumbuk sendiri.

Proses pembuatan adonan Putu Mayang

Penggunaan bahan dan proses pembuatan Putu Mayang Betawi menjadi media untuk mencerminkan dan mempertahankan nilai-nilai dan adat istiadat yang telah diwariskan turun-temurun dalam masyarakat Betawi. Putu Mayang Betawi mengandung manfaat bagi tubuh manusia, karena mengandung kalori, lemak, karbohidrat, dan protein. Kue ini bukan hanya sebuah hidangan, tetapi juga simbol dari warisan budaya yang penting dan harus dilestarikan.

Belum ada asal-usul yang pasti dari sejarah kue Putu Mayang Betawi ini, namun menurut tokoh budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, asal usul penamaan kue ini berkaitan dengan cerita rakyat Betawi, yaitu Jampang Mayangsari. Kata “mayang” diyakini merujuk pada sosok Mayangsari yang digambarkan sebagai sesuatu yang berombak, bergelung gelung, dan indah, yang dapat dilihat dari bentuk putu mayang yang menyerupai gelungan mie. Bang Haji Ahmad Supandi dari Lembaga Kebudayaan Betawi juga berpendapat bahwa selain berbentuk seperti gulungan mie bentuk putu mayang menyerupai bunga kelapa, tumbuhan yang dahulu banyak tumbuh di kawasan agraris Jakarta. Pandangan ini menunjukkan bentuk interpretivisme simbolik, dimana terdapat usaha menginterpretasikan sesuatu simbolisme lokal dengan panganan sehari-hari.

Pendapat lain yang menyebutkan bahwa Putu Mayang Betawi mungkin memiliki pengaruh kuliner dari negara lain. Kue Putu Mayang Betawi dianggap memiliki kemiripan bentuk seperti kue mayam asal India Selatan, dimana keduanya memiliki bentuk bergulung-gulung seperti mie. Ada juga pandangan yang menghubungkan putu mayang dengan kebiasaan masyarakat Tionghoa yang gemar mengkonsumsi mie, sehingga dianggap bentuk kue Putu Mayang terinspirasi dari kuliner khas Tionghoa tersebut. Dalam sudut pandang historis pengaruh lintas budaya sangat mungkin terjadi mengingat Kota Jakarta pada tempo dulu merupakan pusat perdagangan multibangsa. Interaksi budaya dari berbagai bangsa yang datang dan pergi memungkinkan terciptanya akulturasi dalam berbagai aspek budaya, termasuk kuliner.

Proses memasak gula atau Kinca Putu Mayang

Keberadaan Putu Mayang Betawi sebagai salah satu kuliner khas Betawi, juga memiliki perjalanan sejarah yang menarik. Dari awal kemunculannya hingga akhir dekade 1990-an, kue ini hanya dijajakan selama bulan Ramadhan oleh penjual keliling atau menetap yang mulai berjualan selepas Ashar hingga menjelang Maghrib. Hingga pada awal abad ke-20 seiring dengan perkembangan kota Jakarta yang pesat, juga membawa perubahan signifikan pada pola distribusi dan konsumsi Putu Mayang Betawi. Kue ini mulai ditemukan di pasar-pasar tradisional, maupun modern, dan juga warung-warung makanan, menjadikannya lebih mudah diakses oleh masyarakat urban dan tidak lagi terbatas pada momen dan waktu khusus seperti Ramadan.

Transformasi juga terjadi dalam hal bentuk dan penyajiannya. Awalnya, kue ini hanya berwarna putih, yang mencerminkan bahan dasar utamanya, yakni tepung beras, namun variasi warna mulai muncul dengan penambahan perasan daun suji untuk warna hijau dan sumba merah untuk warna merah muda. Usaha pewarnaan tersebut tidak hanya menambah estetika kue tetapi juga menunjukkan usaha kuliner tradisional untuk dapat berkembang tanpa kehilangan ciri khasnya. Segala bentuk adaptasi ini mencerminkan kemampuan Putu Mayang Betawi untuk beradaptasi dengan selera dan kebutuhan masyarakat yang dinamis. Dari jajanan tradisional yang hanya tersedia selama Ramadhan hingga menjadi kudapan sehari-hari yang mudah ditemui di pasar-pasar, hal tersebut mencerminkan dinamika setiap aspek budaya Betawi yang terbuka terhadap pengaruh luar, namun tetap menjaga keunikannya. Putu Mayang Betawi menunjukkan bahwa kekayaan kuliner sebagai bagian integral dari identitas budaya yang terus hidup di tengah perkembangan zaman.

Sejak awal eksistensi nya kue Putu Mayang Betawi menyimpan nilai identitas budaya yang mendalam. Salah satu nilai budaya tersebut terletak pada simbolisme warna dari kue Putu Mayang Betawi ini. Dimana warna putih melambangkan kesucian, hijau menggambarkan kesuburan dan harapan baru, serta merah melambangkan semangat dan keberanian. Hal tersebut menunjukkan penambahan warna pada kue Putu Mayang Betawi tidak hanya menambah estetika visual tetapi juga mencerminkan bentuk-bentuk harapan baik sesuai dengan makna simbolik didalamnya. Putu Mayang Betawi dengan warna cerah dan rasanya yang manis juga sebagai simbol keceriaan dan semangat, serta menciptakan suasana yang menyenangkan dan positif. Selain memiliki makna budaya yang mendalam, Putu Mayang Betawi juga berfungsi sebagai pengikat hubungan sosial dalam masyarakat.

Sebagai hidangan yang sering kali ada pada acara adat dan seremonial, Putu Mayang Betawi memperkuat nilai kebersamaan dan solidaritas. Tradisi gotong-royong juga tercermin dalam proses pembuatannya, di mana anggota keluarga dan komunitas bekerja sama mulai dari pencampuran bahan hingga pengukusan. Penyajian Putu Mayang Betawi tidak hanya menyatukan orang-orang dalam suasana kebersamaan, tetapi juga menciptakan kesempatan untuk berinteraksi dan membangun hubungan.

Proses transmisi atau pewarisan kue Putu Mayang Betawi dilakukan secara intergenerasional melalui keluarga dan komunitas. Keterampilan pembuatan Putu Mayang Betawi diwariskan dari generasi ke generasi, seperti yang dicontohkan oleh Mpok Ella Nurlaela D sebagai seorang pembuat Putu Mayang Betawi yang belajar dari ibunya yang bernama Aminah (alm), yang sebelumnya menerima keterampilan tersebut dari neneknya yang bernama Maemunah (alm). Selain melalui antargenerasi, tradisi pembuatan Putu Mayang Betawi juga diwariskan dalam konteks komunitas. Selama proses pembuatan, anggota komunitas atau tetangga sering kali berkumpul dan bekerja sama, menciptakan momen kebersamaan yang memperkuat nilai gotong-royong. Di era globalisasi ini, transmisi Putu Mayang Betawi juga mulai melibatkan program-program edukasi dan pelatihan. Workshop dan kursus yang diadakan membantu menyebarluaskan pembuatan Putu Mayang Betawi kepada khalayak luas. Pendokumentasian teknik pembuatan dalam bentuk video tutorial, buku resep, yang disebarkan pada media digital juga menjadi cara baru untuk memastikan keterampilan dan pengetahuan tentang Putu Mayang tetap lestari di tengah perkembangan zaman.

Mpok Mahmudah (Peneliti LKB dan BRIN) bersama Maestro Mpok Ella

Saat ini, tak banyak dijumpai para pelaku kuliner yang menularkan atau mewarisi cara pembuatan Putu Mayang Betawi, salah satunya yang di lakukan oleh Sanggar Dapur Q-Sha yang di ketuai oleh Mpok Ella Nurlaela D, dari Kampung Rawajati, Kecamatan Pancoran. Sanggar Dapur Q-Sha merupakan salah satu sanggar yang masih aktif melestarikan Putu Mayang Betawi di kecamatan Pancoran hingga saat ini. Proses transmisi yang telah dilakukan oleh Sanggar Dapur Q-Sha meliputi pengadaan pelatihan dan pengajaran pembuatan Putu Mayang Betawi, disamping itu juga Mpok Ella Nurlaela D sebagai Pimpinan Sanggar Q-sha sering diminta oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Jak Preuneur) untuk melatih ibu-ibu dari berbagai wilayah untuk membuat aneka Kue Betawi salah satunya Putu Mayang Betawi. Pembuatan Putu Mayang Betawi yang mudah dibuat, menjadikan rumah produksi kue ini cukup tersebar di wilayah kota Jakarta. Dimana hal itu juga seiringan dengan tingkat konsumsi masyarakat yang masih tinggi terhadap kue ini.

Check Also

Pantun Betawi : Cakeeep...!

Pantun Betawi : Cakeeep…!

Yahya Andi Saputra kebudayaanbetawi.com. Di ujung tahun lalu, pegiat pantun baik maestro, praktisi, pemula, tua, …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *