Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 5)

Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 5)

Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.

Tak sampai dua bulan berduyun-duyunlah para pangeran dan raja-raja ke negeri Carang Galina, Tanah-tanah lapang penuh sesak oleh perkemahan para pangeran dan raja-raja beserta pasukannya.

Jauh dari hiruk-pikuk kota, di padang gembala yang sunyi, Naga pertala duduk dihadapan Jaya Lengkara.

“Kakek, ingin sekali aku ikut bertempur menyelamatkan Tuan Putri,” ucap Jaya Lengkara.

“Lalu apa yang menahanmu cucuku?” sahut Naga Pertala.

Maharaja Daria Nusa di atas gajah putihnya yang bergading emas memberikan maklumat perang. Tempik sorak penuh keberanian para prajurit perkasa menyambut tiap ucapan Maharaja. Tambur dan sangkakala ditabuh membakar semangat para pemberani.
Tiga bulan telah berlalu, waktu penyerahan sang putri telah tiba. Di tanah lapang di luar tembok kota, para pangeran, raja-raja, para ksatria, para hulubalang dan pasukan masing-masing telah berhimpun, Kilau baju zirah dan senjata-senjata yang terhunus tampak menyilaukan. Panji-panji perang dan umbul-umbul berkibar-kibar.

Tiba-tiba semua mata berpaling, dari kejauhan tampak sesuatu yang menyilaukan. Dari balik perbukitan yang selalu berkabut muncul seorang Penunggang kuda. Baju zirahnya gemerlap ditimpa cahaya mentari suram

Yang menembus kabut, ketopong keperakan menutupi wajahnya. Tombak Panjang di tangan penunggang kuda itu berhiaskan panji perang merah darah.

Barisan menyibak saat penunggang kuda itu mendekat. Semua mata takjub memandang kuda putihnya yang gagah. Pelana dan sanggurdinya berhiaskan paku-paku perak yang berkilauan. Tali kekangnya bersampirkan sutra merah menyala, berumbai-rumbai benang emas. Giring-giring Perak kuda itu terdengar gemerincing.

Dalam hati semua orang bertanya-tanya, siapakah dia, mengapa datang sendirian, mana pengiringnya, mana pasukannya.

Tanpa turun dari kuda ksatria itu mengacungkan tombak pada Maharaja Daria Nusa,” Paduka, izinkan hamba bertempur bersarnamu.”

“Siapa pun engkau wahai ksatria, marilah kita sambut medan peperangan!” Pekik dan sorak-sorai para prajurit membahana menyambut ucapan Maharaja Daria Nusa.

Hikayat Jaya Lengkara – Jauh di tengah hutan Garuda bangkit. Sudah terdengar olehnya suara tambur dan tempik sorak-sorai para prajurit. Kegembiraan menyesak di dada sang Garuda, ” Hari ini aku akan makan besar,” pikirnya.

Terbanglah Garuda menyambut pasukan yang mendatanginya. “Hai raja Carang Galina, sudah habis akalmu tampaknya,” ujar Garuda setelah ia berhadapan dengan pasukan yang akan memeranginya,” Bersiaplah kalian untuk mati.”

Garuda menukik, para prajurit menyambutnya dengan panah dan lembing. Tak satu senjata pun mampu melukainya. Garuda menyambar, puluhan prajurit memekik meregang nyawa.

Para pangeran, raja-raja, para ksatria dan para hulubalang maju ke depan. Senjata-senjata sakti berkelebat menyambar-nyambar, namun tak satu pun mampu melukai Garuda.

Semburan api keluar dari mulut Garuda, jeritan menyambar kematian terdengar memilukan.

Banyak sudah para pangeran dan raja-raja yang gugur. Kegetiran melingkupi hati Maharaja Daria Nusa, ia tidak ingin negerinya jadi ajang pembantaian.

sangkakala diperdengarkan, seluruh bala tentara mundur ke arah kota. saat itulah. ksatria berkuda putih itu melesat ke muka. Para prajurit terperangah, kuda putih itu terbang memburu sang Garuda. (Bersambung)

Check Also

Buaya Buntung

Buaya Buntung

Cerita Rakyat Betawi Diceritakan kembali Oleh Rudy Haryanto Naskah disampaikan untuk mengikuti Sayembara Penulisan Cerita …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *