Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 6)

Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 6)

Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.

Sorak-sorai gemuruh menggelegar membelah langit saat para prajurit melihat keberanian ksatria itu. Garuda tertawa kecil, “Hai anak ingusan, pulanglah kau. Aku tak tega membunuhmu.

Tanpa berkata-kata ksatria itu langsung menerjang dengan tombaknya. Garuda terperanjat setengah mati, kalau saja la terlambat menghindar tentu ia sudah terpanggang tombak sakti itu.

Gemuruh sorak-sorai para prajurit kian membahana saat melihat Garuda lintang pukang menghindari terjangan sang ksatria.

Dengan kemurkaan yang amat sangat Garuda berbalik menerjang. la sama sekali tak menyangka kalau ksatria itu amat berbahaya. Pertarungan sengit berlangsung.

Kuda putih ksatria itu begitu tangkas menghindari semburan api dari mulut Garuda. Setelah ditaklukkan oleh Maharaja Ajrang tiga ratus tahun yang lampau, baru kali ini ia menghadapi pertempuran yang cukup berat, rasa gentar mulai merayapi hati Garuda.

Akhirnya setelah bertarung selama empat puluh hari empat puluh malam tanpa henti, sang ksatria berhasil menikam mata kiri Garuda.

Pekikan Garuda seolah memecahkan semua gendang telinga. Sang Garuda melesat meninggalkan medan pertempuran dengan berlumuran darah.

Gemuruh sorak-sorai para prajurit bagai langit pecah menyaksikan kegagahan ksatria itu.

Sang ksatria dengan kudanya telah menapak tanah, barisan menyibak memberi jalan. Syair-syair pejuang memuja kegagahan sang ksatria dilantunkan setiap mulut dengan gegap gempita.

Dihadapan Maharaja Daria Nusa sang ksatria turun dari kudanya dan berdatang sembah. Maharaja lekas turun dari gajah tunggangannya.

“Wahai ksatria yang gagah berani, sudilah kiranya engkau memberi tahu Si tua ini, siapakah engkau gerangan?” ujar Maharaja Daria Nusa.

“Hamba hanyalah abdimu yang setia wahai Paduka,” Jawab ksatria itu sambil melepas ketopongnya.

“Astaga, engkaukah itu Jaya Lengkara?” seru Maharaja terperanjat saat melihat wajah ksatria itu. “Maafkan tua bangka pandir ini anakku, selama ini aku telah menyia-nyiakanmu,” ujar Maharaja sambil merangkul Jaya Lengkara dan terisak menyesal.

“Tiada setitikpun kesalahan pada diri Paduka”’ jawab Jaya Lengkara.

“Segala yang hamba dapat tak lain adalah anugerah.”

Hikayat Jaya Lengkara – Berita bahwa ksatria berkuda putih itu tak lain dari Jaya Lengkara, si gembala, menyebar dengan cepat. Jauh di balik tembok keputren, Tuan Putri Ratna Kemala diam-diam tersenyum bahagia.

Pesta pernikahan segera dilangsungkan. Pesta meriah selama tujuh hari tujuh malam. Pelbagai keramaian dipertunjukkan: tarian, sulap, kidung, dan akrobat. Rakyat menari-nari di jalanan. Makanan minuman mengalir tiada henti.

Jaya Lengkara yang perkasa bersanding dengan Tuan Putri Ratna Kemala yang cantik Jelita.

Berita pernikahan Tuan Putri Ratna Kemala telah sampai ke paseban agung Maharaja Bujangga Dewa. Alangkah murkanya sang Maharaja. Dulu ia pernah meminang putri itu namun ditolak karena saat itu sang putri belum cukup usia.

“Hai Patihku yang setia, benarkah berita itu?” sabda Baginda.

“Daulat Tuanku,” sembah Patih Budi Salam. “Benarkah apa yang dikatakan pembawa berita itu.”

“Kalau demikian halnya, siapkanlah bala tentaramu. Kita minta Ratna Kemala, kalau tidak diberi kita gempur Carang Galina..” (Bersambung)

Check Also

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Oleh Yahya Andi Saputra   Tukang sulap menjadi kalap, Jalan gelap pasang pelita, Mohon maaf …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *