Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 14)

Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 14)

Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.

Perlahan Jaya Lengkara menghampiri, “Assalamu’alaikum wahai Puan.” “Wa’alaikum salam warrahmatullahi wa barrakatuh,” jawab sang dara sambil menengadah. Terperanjat sang dara melihat wajah lelaki di hadapannya. Serupa benar dengan bayang-bayang yang muncul di kalbunya tiga malam yang lalu.

“Wahai Puan, siapakah gerangan dirimu dan mengapa berada di belantara ini?”

“Hamba adalah Rama Sangira, hamba berada di sini karena kesinilah bayang-bayang yang hamba kejar membawa hamba.”

“Dari manakah asal-usul Puan Rama Sangira?”

“Asal-usul hamba telah terhapus, hamba hanyalah Rama Sangira yang duduk di bawah pohon beringin di belantara gunung kecapi.”

Termenung Jaya Lengkara mendengarnya.

“Dan Tuan sendiri, siapakah adanya Tuan ini?”

“Nama hamba Jaya Lengkara.”

Maka berceritalah keduanya bagai dua orang teman lama. Keduanya sama-sama jauh dari rumah, sama-sama sedang dirundung duka.

“Sudah terlalu lama hamba meninggalkan rumah,” ujar Jaya Lengkara.

“Kalau ada perkenan Puan, sudilah kiranya Puan turut bersama hamba.”

“Kalau itu kehendak Tuan, hamba kira tak ada gunanya hamba menolak.”

Jaya Lengkara tersenyum, didukungnya Tuan Putri Rama Sangira ke atas punggung kuda. Berjalanlah sang prajurit perkasa menuntun kuda yang membawa putri jelita.

Ibukota Bujangga Dewa yang megah. Seluruh rakyat bersorak menyambut kedatangan Maharaja Jaya Lengkara. Rama Sangira tercengang-cengang menoleh ke kiri dan kanan.

“Hei laki-laki pendusta!” seru Rama Sangira sambil menendang bahu Jaya Lengkara dari atas kuda.

Terperanjatlah seluruh rakyat melihat tingkah dara yang dibawa sang Maharaja.

“Katamu kau cuma seorang prajurit kelana, bukan seorang rajat bentak Rama Sangira, “Kau sungguh penipu.”

“Demi kasih Puan hamba bersedia berdusta, “jawab Jaya Lengkara sambil tersenyum.

Memerah wajah Rama Sangira, gemuruh sorak rakyat.

Tak menunggu lama, pernikahan agung dilaksanakan, Maharaja Jaya Lengkara bersanding dengan Tuan Putri Rama Sangira.

Hikayat Jaya Lengkara – Pesta pernikahan berlangsung tujuh hari tujuh malam. Tetabuhan menggema semarak. Tari, sulap, kidung dan akrobat dipertunjukkan orang. Rakyat menari-nari di jalan-jalan. Makanan dan minuman mengalir tanpa henti.

Tahun berlalu waktu berganti. Maharaja Jaya Lengkara dan Tuan Putri Rama Sangira sang Permaisuri telah dikaruniai dua orang putra. Si sulung bernama Raden Makdhum, yang bungsu Raden Makdhim.

Kedua pangeran tumbuh dengan cepat. Berbagai pengajaran dapat diterima keduanya dengan mudah. Keduanya kini telah tumbuh menjadi prajurit muda yang perkasa, cakap dalam berbagai ilmu dan belas kasih kepada sesama.

Syahdan pada saat itu tengah terjadi perang besar antara Maharaja jin Islam Johan Palagi dengan Maharaja jin kafir yang bernama Ifrit. Perang telah berlangsung sembilan bulan lamanya. Maharaja Johan Palagi mulai kewalahan menghadapi Maharaja Ifrit.

“Wahai Patih,”sabda Maharaja Johan Palagi pada Patihnya.” Kurasa kita membutuhkan bantuan.”

“Daulat Tuanku,”sembah Patih.” Perintah Paduka hamba junjung tinggi.”

“Sekarang pergilah, cari prajurit perkasa dari bangsa manusia, serahkan surat ini padanya.

Patih Ibrahim menyembah dan menerima surat itu lalu undur dari penghadapan. (Bersambung)

Check Also

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Oleh Yahya Andi Saputra   Tukang sulap menjadi kalap, Jalan gelap pasang pelita, Mohon maaf …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *