Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 16)

Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 16)

Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.

Gunung Kerbala yang buas tak pernah terinjak manusia. Tak terlihat perkemahan, tak ada pertempuran. Raden Makdhum mencandra dengan mata jiwa mengucap doa. Terdengar gemuruh sorak prajurit serta gemerincing senjata beradu, di lembah tampak pertempuran dahsyat tengah berlangsung.

“Hai anak manusia, siapa kau?” bentakan kasar dari balik belukar.

Raden Makdhum berbalik. Lima prajurit jin telah mengepungnya, lima batang tombak teracung.

“Aku, Màkdhum dari Bujangga Dewa,” jawabnya sambil mengeluarkan daun kering dari balik bajunya, daun kering itu telah berubah menjadi sepucuk surat kerajaan.

Lima tombak yang teracung ditarik penuh hormat.

“Ampuni kelancangan hamba Tuanku,” ucap seorang prajurit. “Hamba tidak tahu kalau Tuan adalah prajurit perkasa yang datang memenuhi panggilan Baginda.”

“Antar aku menemui rajamu.”

Segera kuda dipersiapkan. Diantar oleh seorang prajurit, Raden Makdhum pergi ke perkemahan Maharaja Johan Palagi.

Di atas gajah putih bergading emas Maharaja Johan Palagi tengah bersiap memasuki medan tempur. Meloncat dari kudanya yang masih berlari prajurit yang mengantar Raden Makdhum berseru-seru, “Ampun Paduka, mohon tunggulah sejenak,” sembahnya di depan gajah tunggangan Maharaja Johan.

“Ada apa prajurit, “sabda Maharaja.” Cepat katakan.”

“Ksatria yang Paduka tunggu telah datang.”

Maharaja memandang ke arah Raden Makdhum yang masih duduk di atas punggung kuda.

“Hamba Makdhum dari Bujangga Dewa,” serunya sambil mengacungkan pedang ke udara. “Izinkanlah hamba bertempur bersama Paduka.”

Didasar hati Maharaja Johan Palagi tersenyum bangga akan kegagahan prajurit muda itu, “Anak ingusan,” bentak Maharaja.” Pergi kau ke dapur, lihat apa yang bisa kau bantu di sana.”

Segera Raden Makdhum melesat dengan kudanya ke dalam tenda dapur. Memacu kuda diantara periuk-belanga yang berserak Raden Makdhum menyambar sepanggang paha banteng dan keluar bersama kudanya tanpa menyentuh satu perabot pun.

Patih Ibrahim menatap tajam dari punggung kudanya. Raden Makdhum menyantap paha banteng itu tanpa peduli.

“Hei anak muda,” ujar Patih. “Mari kita lihat, apa lagi kecakapanmU selain mencuri makanan.” Patih Ibrahim melesat menuju ke medan perang

Sambil membuang sisa paha bantengnya Raden Makdhum memacU kuda mengikuti sang Patih.

Hikayat Jaya Lengkara – Raden Makdhum berada dalam barisan hulubalang. Untuk pertama kalinya, ia menyaksikan perang sesungguhnya. Begitu gemuruh, begitu dahsyat, begitu memilukan.

Rasa gentar mulai merayapi hati Raden Makdhum. Kematian yang menyambar-nyambar terasa begitu dekat. Raden Makdhum menggertapkan rahangnya, keringat telah membasahi tubuhnya.

Pekikan perintah Patih Ibrahim terdengar melengking parau. Sorak gemuruh para hulubalang di sekeliling Raden Makdhum menggelegar. Dengan mata membelalak nanar tanpa sadar Raden Makdhum menghentak kudanya. Sambil memekik histeris Raden Makdhum melesat bersama para hulubalang menyerbu medan tempur.

Tak ada lagi jalan pulang, tak ada ayah yang melindungi, tak ada ibu yang menaungi. Ditengah gemuruhnya sorak-sorai prajurit terdengar pekikan-pekikan meregang nyawa. Anak panah berdesingan disekeliling kepala. Hanya ada satu jalan, maju terus.

Pasukan panah Jin Ifrit mundur berpencar karena pasukan berkuda Raja Johan Palagi kian mendekat. Pasukan berkuda Jin Ifrit menyambut dengan gegap gempita. (Bersambung)

Check Also

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Oleh Yahya Andi Saputra   Tukang sulap menjadi kalap, Jalan gelap pasang pelita, Mohon maaf …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *