Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 17)

Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 17)

Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.

Dua pasukan beradu dengan dahsyat, menggelegar bergemuruh bagai bertemunya dua air bah raksasa. Bagi Raden Makdhum tak ada lagi rasa gentar, tak ada yang terlihat, tak ada yang terdengar, tak ada yang terasa.

Raden Makdhum sang prajurit muda memacu kuda sekuat ia bisa sambil mengayun pedang kian kemari. Ia tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi, ia tak tahu apa yang sedang dilakukannya. Semua itu seperti mimpi.

Entah, berapa lama semua itu berlangsung. Perlahan segalanya mereda. Kedua pasukan bergerak mundur. Tinggallah mayat-mayat berserakan, beberapa masih menggelepar-gelepar. Sebagian ada yang merintih Iemah, beberapa melolong-lolong, tak ada yang peduli.

Lelah dan kesakitan Raden Madhum menjalankan kudanya perlahan. Pakaian pangeran itu basah oleh darah kental. Rasa sakit disekujur tubuhnya dikalahkan oleh rasa sakit di dalam dadanya.

Sesampainya di perkemahan semua jin menatapnya kagum. Raden Makdhum tidak peduli. Setelah menyerahkan kuda pada pekatik Raden Makdhum rebah di rumput.

Seorang prajurit menyodorkan secawan air. Raden Makdhum merebut cawan itu karena dahaga yang amat sangat, namun tersengat hatinya melihat wajah prajurit itu. Ia begitu muda, lebih muda dari Raden Makdhum.

“Siapa namamu sobat?” tegur Raden Makdhum.

“Dungus Tuan.”

“Mengapa kau ikut perang ini?”

Dungus memandang heran. “Menggantikan ayah.” “Ayah?”

“Ya Tuan, kaki ayahku putus dalam pertempuran yang lalu.”

“Lalu siapa yang bekerja untuk keluargamu?”

Prajurit muda itu memalingkan wajah tak menjawab.

Fajar menyingsing terlalu cepat, belum hilang rasa penat. Seluruh pasukan telah berhimpun dalam barisan yang rapat.

Hikayat Jaya Lengkara – Patih Ibrahim menempatkan Raden Makdhurn dalam barisan inti. Seluruh pasukan menyambut Raden Makdhum dengan gegap gempita, pangeran itu tidak mengerti, ia juga tak peduli. Ia tak mengerti kalau kemarin pasukannya telah meraih kemenangan. Raden Makdhum hanya melihat kematian.

Hari ini kemenangan diperoleh. Pasukan Maharaja Johan Palagi telah menguasai sebagian besar Gunung Kerbala. Namun malam itu Raden Makdhum tidak menemui Dungus. Raden Makdhum berharap anak muda itu menemui ajal dengan cepat.

“Patihku,” sabda Maharaja Johan di kemahnya.” Panggil anak Jaya Lengkara itu.”

Patih menyembah lalu berpaling pada seorang perwira. Perwira itu keluar, tak berapa lama ia kembali bersama Raden Makdhum.

“Prajuritku yang berani,” sabda Baginda setelah Raden Makdhum berdatang sembah. “Telah kusaksikan kegagahanmu. Maka esok harit kaulah yang akan memimpin seluruh pasukanku.”

“Daulat Tuanku,” sembah Raden Makdhum. “Perintah Paduka hamba junjung tinggi.”

“Nah, kini katakan pada kepala-kepala pasukan, apa rencana siasatmu.”

“Hamba tak ingin membuang lebih banyak nyawa.

Terdengar suara gumam rendah dari yang hadir. Hanya Baginda yang tetap tenang. Raden Makdhum diam membeku di hadapan Sang Maharaja. ” Baik, ” sabda Baginda. “Kirimkan untusan pada Maharaja Ifrit. Ksatriaku menginginkan pertarungan penentuan.”

Patih Ibrahim menyembah dan undur dari penghadapan. (Bersambung)

Check Also

Makruf Tukang Sol Sepatu (Tamat)

Makruf Tukang Sol Sepatu (Tamat)

Pengantar – Di ranah kesenian Betawi ada istilah Tukang Gesah yang tiada lain adalah Tukang …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *