Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.
Seraut wajah tampak kabur dan suram. Tercium wewangian lembut. Raden Makdhum menajamkan matanya. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Raut wajah di sisinya tampak jelas. Wajah itu pernah dilihatnya dalam bayangan gaib di tepi telaga.
“Surgakah ini,” ucap Raden Makdhum Iemah. “Apakah kau bidadari?”
“Tidak Kakanda,” jawab sang dara. “Ini tenda ayahku.
“Jadi hamba sedang berhadapan dengan Tuan Putri Nilawati?”
“Benar Kanda, dan apa bila Kanda merasa cukup kuat, ayahanda akan senang kalau Kanda hadir di tenda utama.”
“Ada apa di sana?”
“Ayahanda tengah menerima pengakuan penyerahan dari Maharaja Ifrit. ”
Bagai tersengat Raden Makdhum mendengarnya. “Bukankah ia telah mati?”
“Tidak Kakanda, Jin Ifrit tidak akan pernah mati sebelum hari kiamat.
Perang ini akan kembali berulang tiap seribu tahun sekali.” Raden Makdhum termangu.
“Jadi bagaimana Kakanda, apakah Kanda akan ikut hadir di sana?”
“Kurasa dari pada memandang lagi wajah buruknya, lebih baik aku tidur dan memimpikanmu.”
“Tak perlu bermimpi Kanda, karena Dinda nyata adanya.”
Raden Makdhum menatap wajah jelita di hadapannya.
“Yang ada dalam impian selalu lebih indah dari kenyataan.” Keluh Raden Makdhum jauh di dasar hati.
Pesta kemenangan diselenggarakan. Pesta kemenangan sekaligus Pesta pernikahan. Ibu kota kerajaan jin Islam begitu gegap gempita.
Tetabuhan dan berbagal keramaian dtpertunjukkan orang tanpa henti_ Makanan dan minuman melimpah ruah, beraneka daging ternak dihidangkan, sementara di alam manusia banyak ternak yang mati tanpa sebab.
Di pelaminan Raden Makdhum bersanding dengan Tuan Putri Nilawati. Kemenangan dan keberhasilan tak memabukkan bagl Raden Makdhum, perang telah mengajartnya banyak hal.
Istana Bujangga Dewa.
Maharaja Jaya Lengkara tengah dihadap Raden Makdhim.
“Ayahanda,” sembah Raden Makdhim. “Telah tiga hari lamanya hamba berada di istana, namun belum juga bertemu Kakanda Makdhum.”
Hikayat Jaya Lengkara – Jaya Lengkara yang telah beranjak tua telah makin arif. Ia tahu suatu saat putra-putranya akan pergi. Seperti si sulung Makdhum yang telah pergi jauh sebelum adiknya tiba dari mengaji di Negeri Baghdad.
“Betul Makdhim putraku,” sabda Baginda. “Dia memang telah lama meninggalkan istana tanpa pamit.”
“Kalau demikian Ayah, izinkan hamba mencarinya.”
“Tentu Anakku, carikanlah dia untukku. Pergilah, ia mungkin cuma sedang bermain-main dekat istana, jadi tak perlu kau bawa bekal, tak perlu kau bawa pengawal. Buktikan kalau kau seorang lelaki.”
Raden Makdhim menyembah lalu undur dari penghadapan. Hatinya bertanya-tanya, mengapa seperti ada rahasia disembunyikan darinya.
Sebelum fajar Raden Makdhim telah pergi, ia bahkan tidak menunggang kuda. Berjalan kaki ia berkeliling negeri, bertanya pada setiap orang.
Kota-kota yang penuh kepalsuan, hutan gunung yang buas, perampok, penipu, binatang buas, perempuan perayu semua dihadapi Raden Makdhim.
Di tepi hutan Dandaka menjelang senja. Raden Makdhim tertidur kelelahan, Tanpa disadarinya sebuah bayangan mendekat. Namun rasa batinnya mengatakan, bahaya tiba. (Bersambung)