Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.
Terdengar dentuman keras, penonton berteriak, lalu gemuruh bersorak. Perlahan putri membuka mata, jantungnya serasa copot melihat kuda berlari tanpa pengendara.
Saat kuda berputar nyaris Putri tak mampu menahan jeritnya. Makdhim tampak melekat di sisi tubuh kuda memeluk erat perut kuda itu.
Saat bola kembali berdesing, Makdhim telah tegak di punggung kuda. Bola mengejar, mendadak Makdhim berbalik arah, busur telah terpentang.
Sesaat kemudian gelegar mengguntur terdengar, cuaca tiba-tiba gelap oleh asap, Saat asap menipis tampak bola tergeletak di tanah dengan sebatang anak panah menancap.
Gemuruhlah sorak-sorai setiap mulut.
“Hidup Makdhim!”
“Hidup anak Bapak Koja!”
“Jayalah pandai besi!”
Orang-orang Jelata bersorak-sorai mengelu-elukan kemenangan Makdhim. Para raja dan orang-orang ningrat menatap masygul. Tuan Putri Ismaya Cindra menitikkan air mata bahagia. Namun Maharaja Semboja amat kecewa.
“Apa kata orang kalau aku bermenantukan anak tukang besi.”
Hari-hari berlalu, tanda-tanda pernikahan belum juga nampak. Orang sudah bosan menunggu, sebagian malah sudah melupakannya.
Bengkel besi Bapak Koja tetap sibuk seperti biasa, Makdhim tetap menempa besi. Setiap senja seusai pekerjaannya sehari-hari Makdhim menempa sebilah pedang baja dan baju zirah. Bapak Koja tak pernah mempertanyakan perihal itu, ia paham, putra angkatnya sedang gundah.
Keadaan negeri Maharaja Semboja kian muram, banyak negeri taklukannya yang berontak melepaskan diri. Tak banyak rakyat yang mau ikut berperang memberantas pemberontakan itu. Kerajaan mulai lemah raja pun mulai sakit-sakitan.
Sang Putri sudah lama tak keluar keputren. Ia lebih suka menyendiri. Dentam palu Makhdim sesekali terdengar samar-samr di kejauhan, suaranya terdengar menyakitkan.
Hikayat Jaya lengkara – Patih bantar Keling telah mengumpulkan para tabib, tak satu pun yang mampu mengobati Maharaja. Suatu hari seorang perwira laut membawa seorang tabib paling mujarab dari pulau Tanjung Sari. Gembira hati Patih Bantar Keling melihatnya.
Namun setelah menemui sang Baginda, tabib itu hanya menggelenggelengkan kepalanya dengan sedih.
“Bagaimana Tuan?” tanya Patih penuh harap.
“Maafkan hamba Tuanku,” ucap tabib. “Berat sekali penyakit duli Paduka Maharaja.”
“Tak adakah cara untuk mengobatinya?” Tabib Termenung.
“Katakanlah Tuan,” Patih sedikit memaksa.
“Ya Tuanku,” ucap tabib ragu.”Sebenarnya ada.”
“Lalu bagaimana caranya?” Patih tak sabar.
“Sri Paduka harus minum susu macan lodaya dari gunung Ciremai.”
Mendadak kepala Patih Bantar Keling menjadi pening. Bagaimana memperoleh susu macan lodaya dari Gunung Ciremai. Sedang mendapat susu macan biasa dari hutan di pinggir kota saja tak semua orang mampu.
Langkah Tuan Putri Ismaya Cindra terdengar lembut saat ia keluar dari kamar Baginda. Patih tersenyum simpul, ia tahu cara mengatasi masalah ini.
Malam telah larut, namun lampu di rumah Bapak Koja masih menyala.
Di serambi depan tiga orang tengah bercakap-cakap.
“Mencari obat untuk Paduka Maharaja adalah tugas negara Tuan Patih,” ujar Makdhim. “Dinikahkan atau tidak hamba tetap akan melaksanakan tugas ini.”
“Terima kasih Nak,” jawab Patih.” Kemalangan-kemalangan yang menimpa negeri ini tampaknya akibat Paduka ingkar janji padamu.
“Hamba tak mempersalahkan siapapun Tuanku.”
Lewat tengah malam Patih bantar Keling meninggalkan rumah Bapak Koja. Wajah patih Tua itu tampak cerah. Ia sudah menyaksikan ketangkasan Makhdim memanah bola, ia yakin Makhdim cukup sakti untuk mendaptkan susu macan lodaya dari gunung Ciremai. (Bersambung)
