Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.
Lewat tengah malam Patih Bantar Keling meninggalkan rumah Bapak Koja. Wajah Patih tua itu tampak cerah. la sudah menyaksikan ketangkasan Makdhim memanah bola, ia yakin Makdhim cukup sakti untuk mendapatkan susu macan lodaya dari gunung Ciremai.
Menjelang fajar Makdhim bersiap untuk berpamitan.
“Nak, bukankah pedang dan baju zirah yang kau tempa sudah rampung?” tanya Bapak Koja.
“Sudah Bapak.”
“Nah pakailah baju itu, “Baik Bapak.
Selagi Makdhim mengenakan baju zirahnya, terdengar siulan Bapak Koja di halaman. Lalu terdengar derap dan ringkik kuda.
“Lihatlah, kaulah ksatriaku,” ujar Bapak Koja saat melihat Makdhim mengenakan baju zirahnya. “Kau sungguh gagah anakku.
Ketika keluar dari rumah tampak seekor kuda hitam gagah telah dipelanai.
“Bapak, kuda siapa itu?” tanya Makdhim takjub.
“Kudamu Nak, upahmu yang tak pernah kau ambil telah kubelikan kuda,” jawab Bapak Koja seraya tersenyum,
Makdhim merangkul Bapak Koja. Tanpa berkata-kata Bapak Koja membimbing putra angkatnya ke kuda.
“Pergilah Nak,” ujar Bapak Koja saat Makdhim telah duduk di punggung kuda.
Saat mentari terbit Madhim telah jauh dari kota. Kuda hitam tunggangannya begitu tangkas. Dalam tiga hari saja Gunung Ciremai telah tampak.
“Kau tunggu di sini kudaku,” ujar Makdhim sambil melepas kekang dan Pelana kudanya. Lalu ia melepas baju zirahnya. Kuda dibiarkannya lepas begitu saja di padang luas.
Berjalan kaki Makdhim mendaki gunung Ciremai. Dengan mengerahkan Segenap kemampuannya. Makdhim mencari jejak macan lodaya, tak sulit baginya. Sebelum bertemu nenek raksasa ia terbiasa hidup di hutan.
Hikayat Jaya Lengkara – Pada hari kelima Makdhim telah menemukan jejak yang dicarinya. Jejak itu mengarah ke sebuah tebing. Dekat belukar jejak terputus. Tapi Makdhim tahu, sang lodaya ada di dekatnya.
Duduk di atas batu datar Makdhim memusatkan pikirannya. “Wahai Puan lodaya, kemarilah barang sejenak,” ucap Makdhim dalam jiwanya. Menjelang senja terdengar geram sang lodaya. Ningrat belantara itu muncul dengan segala keagungannya.
“Wahai Puan lodaya,” ucap Mekdhim seraya bangkit. “kumohon sudilah Puan anugerahkan hamba sedikit air kehidupan.”
Ningrat penguasa belantara raya itu menggeram lirih, Raden Makdhim tersenyum, disodorkannya sebuah cawan kosong pada Puan lodaya. Sekejap cawan Itu telah penuh oleh susu.
Seorang ksatria datang menunggang kuda hitam menenteng secawan susu. Sepanjang jalan tak setitik pun isi cawannya tumpah. Patih Bantar Keling tersenyum, ia tahu siapa yang datang.
“Tuan Putri Ismaya Cindra,” ujar Patih. “Ksatria iłu datang untuk membawakan obat untuk Paduka Maharaja. Hamba kira sebaiknya Tuanlah yang menyambutnya.”
Baiklah Paman Patih,” jawab Tuan Putri.
Di tangga istana sang ksatria berlutut mempersembahkan cawan itu. Dengan sangat hati-hati Putri menerimanya. Wajah ksatria itu tertutup ketopong. (Bersambung)