Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 26)

Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 4)

Pengantar – Di ranah kesenian Betawi ada istilah Tukang Gesah yang tiada lain adalah Tukang Cerita. Pada pertengahan abad ke-19, muncul nama lain yaitu Sohibul Hikayat. Dan memang, ketika itu tumbuh dan dicintai kesenian Sohibul Hikayat ini. Seniman Sohibul Hikayat mendapat apresiasi atau ditanggap pada perhelatan masyarakat Betawi, khususnya untuk memeriahkan keriaan atau hajatan, terutama resepsi perkawinan, khitanan, dan sebagainya.

Rupanya seniman Sohibul Hikayat tidak dapat melayani banyak permintaan, sehingga muncul pengarang atau penyalin cerita hikayat. Kita kenal misalnya Muhammad Bakir yang menyalin dan mengarang cerita hikayat tidak kurang dari 70-an judul. Bakir menyewakan karyanya kepada khalayak. Ini menjelaskan kepada kita bahwa karya Bakir dibacakan di tengah khalayak. Artinya Tukang Gesah tidak lagi berkisah secara lisan cerita yang dihafalnya, tetapi sudah dengan membaca manuskrip karya Bakir.

Dalam novel Nyai Dasima (1896), ada menyebutkan tentang Sohibul Hikayat ini. Dasima yang galau dirayu dan dihibur  Samiun, dengan mengajaknya nonton pertunjukkan Sohibul Hikayat.

Sohibul Hikayat lalu lebih tersebar ke antero wilayah Batavia (masa kolonial) kemudian Jakarta (sesudah kemerdekaan) ketika Haji Ja’far lalu Haji Jaid dilanjutkan putranya ( Haji Ahmad Safyan Jaid) malang melintang ditanggap (sampai disiarkan di radio) membawakan Sohibul Hikayat.

Salah satu judul Sohibul Hikayat yang sering dibawakan oleh Haji Jaid dan Haji Sofyan Jadi adalah Ma’rup Tukang Sol Sepatu. Namun Cerita ini pun sudah ditulis ulang oleh Umar Djamil (PT. Dunia Pustaka Jaya, Tahun 1978), Selamat membaca.

Bagian 4 – Makruf kembali ke kedainya yang telah kosong, tak ada perkakas sebuah pun. Ia duduk termenung memikirkan kejahatan yang menimpa dirinya. Dia bingung memikirkan bagaimana harus bekerja untuk memperoleh uang pembeli apam dan madu yang telah dijanjikan kepada istrinya. Dalam keadaan seperti itu datang pulalah dua orang laki-laki masuk ke kedainya dan dengan pandangan bengis keduanya berkata, “Ikuti kami menghadap hakim, karena istrimu telah mengadukan bahwa engkau telah menyiksanya!”

Dia sangat kaget mendengar perkataan orang-orang itu, lantas menjawab, “Bukankah hakim baru saja mendamaikan kami?”

“Kami datang dari hakim yang lain,” jawab kedua orang itu. “Jika engkau tak mau datang dengan baik maka terpaksa engkau akan kami seret dengan kekerasan!”

Maka terpaksalah ia ikut dengan meninggalkan kedainya terbuka karena tak ada suatupun yang dikuatirkannya akan hilang. Setelah tiba di hadapan hakim, dijumpainya pula di situ istrinya sedang menangis dan meratap. Dengan segera ia berkata, “Bukankah kita telah didamaikan, hai istriku?”

Perempuan itu menjawab, “Tak mungkin ada perdamaian antara kau dengan aku untuk selama-lamanya.” Maka Makruf menceritakan kepada hakim apa yang telah terjadi, dari permulaan sampai akhirnya dan ia minta saksi pula kepada tetangga-tetangganya, penjual apam dan kepada hakim yang pertama. Mendengar perkataannya itu maka hakim itu menoleh kepada istrinya sambil berkata, “Mengapa engkau datang pula mengadu ke mari, padahal engkau telah didamaikan?”

Perempuan itu menjawab seraya menangis, “Dia telah memukulku setelah kami didamaikan; dan dirampasnya pula uang yang telah diberikan hakim pertama dariku.”

Makruf menjawab, “Demi Allah, aku tak pernah mengambilnya karena aku sendirilah yang minta kepada hakim itu supaya uang itu langsung diberikan kepadanya. Bahkan sesudah itu datang kepadaku dua orang laki-laki yang telah menjemputku meminta upah jerih payahnya. Setelah mereka tak menjumpai padaku sepeser pun juga, mereka memukuli aku serta mereka jual semua perkakasku.”

Tatkala hakim itu mendengarkan ceritanya maka ia berkata, “Perdamaian bagi kamu berdua adalah lebih baik daripada segalanya.”

Kemudian hakim itu menyuruh kedua orang yang berselisih itu pulang ke rumahnya.

Baru saja Makruf keluar dari rumah hakim itu maka datanglah kedua orang laki-laki yang memukuli tadi minta pula kepadanya. Maka diberikannyalah satu dirham, yaitu satu-satunya uang yang dimilikinya. Tetapi keduanya tak mau menerima dan karena tak ada sesuatu pun yang mereka dapati maka mereka memukuli tukang sol sepatu itu sehingga jatuh pingsan. Mereka tinggalkan orang itu terhantar di tanah setelah terlebih dahulu mereka merampas sorban dan pakaiannya. (Bersambung)

Check Also

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Oleh Yahya Andi Saputra   Tukang sulap menjadi kalap, Jalan gelap pasang pelita, Mohon maaf …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *